Makalah Agama Islam Dan Dunia Kontemporer
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia Islam ketika ini mempunyai dua tantangan: tantangan dari dalam diri sendiri (internal) dan tantangan yang tiba dari luar (eksternal). Namun mengatasi tantangan internal lebih krusial, lantaran kita kalah sebetulnya bukan lantaran musuh kuat, tetapi lantaran kita lemah. Meskipun musuh kita kuat (dan amat masuk akal jikalau musuh senantiasa berusaha menguatkan dirinya), namun jikalau kita lebih kuat pasti kita tidak akan bisa dikalahkan. Jadi, problem terbesar umat ini yakni mengatasi tantangan yang ada dalam dirinya sendiri.
Sekarang ini era global. Setiap negara di muka bumi ini pasti dipengaruhi secara kuat oleh kekuatan global, atau lebih tepatnya konspirasi global. Tidak terkecuali dunia Islam. Yang menjadi kasus yakni bahwa kekuatan global ketika ini tidak berada di tangan kita. Dan yang lebih parah lagi yakni ketika kekuatan global yang ada ketika ini memaksakan jadwal “globalisasi” ke dunia Islam. Program ini tidak lain tujuannya yakni untuk semakin menggencet, menekan, dan melemahkan dunia Islam.
Islam yang dibawa diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW mempunyai kiprah strategis untuk menaburkan rahmat di seluruh alam ini (Q.S. al-Anbiya’/21:107). Peran strategis Islam itu dibarengi dengan titah-Nya kepada kelompok orang beriman untuk menjadi pihak yang memimpin dan memakmurkan dunia (Q.S. al-Baqarah/2:30) sekaligus sebagai umat terbaik (Q.S. Ali Imran/3: 110). Umat terbaik saja tidak cukup untuk menciptakan Islam berperan sentral dalam kehidupan dunia ini, maka Allah juga memerintahkan kepada umat terbaik itu untuk senantiasa berjuang tiada henti menancapkan pilar-pilar kebenaran Islam yang berlaku universal (Q.S. al-Baqarah/2: 218; Ali Imran/3:142; al-Maidah/5:35; al-Anfal/8: 72; at-Taubah/9: 41, 86; al-Hajj/22: 78).
Akan tetapi, jikalau dilihat dari perspektif historis umat Islam, sungguh sangat memprihatinkan. Jumlah pemeluk yang cukup besar, tidak dibarengai dengan kiprah yang signifikan dalam memilih arah peradaban dunia. Bandingkan dengan jumlah Yahudi yang konon hanya sekitar 50 juta-an di seluruh muka bumi ini, tetapi kemajuan ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan tidak ada bandingannya dengan negeri Muslim di manapun.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara dunia islam dan kontemporer.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa itu dunia kontemporer?
2. Bagaimana kaitannya dengan agama islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
Adopsi peradaban dan kebudayaan Barat yakni sesuatu yang lumrah. Faktanya, ilmuwan banyak terkooptasi oleh peradaban Barat. Bahkan memaksakannya sebagai pandangan hidup. Suatu hal lumrah jikalau kebudayaan yang mundur akan berguru dari kebudayaan yang maju. Dan yakni alami jikalau suatu kebudayaan yang udik mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan sanggup mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan mempunyai identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).
Suatu kebudayaan sanggup meminjam konsep-konsep kebudayaan lain lantaran mempunyai pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak sanggup meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, alasannya dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya. Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang memilih diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep gila ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.
Di era modern dan post-modern kini ini, pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses “adopsi”, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat, tanpa proses penyesuaian atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan.
Dalam konteks pembangunan peradaban Islam kini ini, proses penyesuaian pemikiran merupakan sesuatu yang tidak sanggup dielakkan. Namun sebelum melaksanakan hal itu dibutuhkan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian, seorang cendekiawan sanggup berlaku adil terhadap keduanya.
Adil, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkan pada perkiraan bahwa konsep-konsep dalam peradaban gila (baca: Barat) yakni pesan tersirat Islam yang hilang, makaseseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mempelajari tempat asal pesan tersirat tersebut dan tempat dimana pesan tersirat itu hilang, sebelum mengambilnya kembali.
Esensi Kebudayaan Barat
Kebudayaan Barat (Western Civilization) berkembang mewarisi unsur-unsur kebudayaan Yunani Kuno, Romawi, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropa, khususnya Jerman, Inggris, dan Prancis. Sebagian penulis, menyerupai Samuel Huntington, memasukkan agama (religion)–dalam hal ini Kristen–sebagai unsur penting yang membentuk kebudayaan Barat. Demikian ditulis dalam buku populernya The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (1996).
Barat dengan filsafat dan kebudayaannya mempunyai karakternya tersendiri. Menurut Profesor Naquib al-Attas, peradaban Barat mempunyai sejumlah ciri. Pertama,berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat itu berubah menjadi menjadi humanisme yang meneriakkan dengan lantang prinsip dikotomi sebagai nilai dan kebenaran. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Artinya, insan yakni tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya yakni tokoh-tokoh yang bernasib tragis.
Prinsip bencana ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001).
Itulah Barat yang filsafat, sainstek, dan ekonominya sedang merajai pentas sejarah dunia. Budayanya menyebar bagai gelombang melalui aneka macam gerakan kultural; filsafatnya dipahami secara luas melalui pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia; sains dan teknologinya dikagumi dan ditiru bagi pembangunan sarana dan prasarana kehidupan manusia.
Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja bisa mengubah konsep sejarah secara agressif, tapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai suatu bentuk “narasi besar” (grand narrative) yang kering, profan, dan sanggup dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan realitas dan fantasi. Post modernisme bahwasanya tidak lain dari sekularisme yang tampil dengan wajah gres yang “pusat gravitasinya” yakni pandangan hidup Barat (Western worldview).*
Tantangan Islam Global
a. Neo-Imperialisme
Inilah penjajahan di alam modern yang dialami oleh bangsa Muslim pasca penajahan fisik yang di kenal dengan neo-imperaialisme. Penjajahan model ini jauh lebih dahsyat dampak negatifnya bagi bangsa-bangsa Muslim ketimbang penjajahan pada era kolonialisme fisik masa 18-19 M. Kedaulatan ekonomi dan politik menjadi ketergantungan ekonomi dan politik terhadap Barat yang berbasis pada kapitalisme dan liberalisme. Tidak hanya itu, dampak lebih luas dari neo-imperalisme yakni terkikisnya nilai-nilai luhur kebudayaan lokal, identitas bangsa yang semuanya berbasis fatwa agama. Dengan kata lain, fatwa Islam dalam kehidupan Mulim telah digeser oleh nilai-nilai universal Barat semisal demokrasi, Hak Asasi Manusia, liberalisasi, civil sosiety dan sebagainya.
Neo-Imperialisme mengusung aktivitas yang sebagian besar umat Islam menerimanya secara wajar, tanpa sedikitpun mewaspadai bahwa di dalamnya tersimpan aktivitas dan ideologi tersembunyi yang akan membunuh ideologi Islam. Agenda noe-imperialisme itu antara lain yakni kapitalisasi, liberalisasi, dan globalisasi.
b. Clash of Civilization (Benturan Peradaban)
Tokoh yang pertama mencetuskan teori clash of civilization yakni Samuel P. Huntington. Dalam goresan pena kontroversialnya The Clash of Civilization yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam. Tesis Huntington bahwasanya cuilan dari rekomendasi bagi pemerintahan Amerika Serikat untuk menciptakan peta tata dunia gres di planet bumi. Huntington dalam hal ini ingin mengingatkan pemerintah AS untuk waspada terhadap ancaman gres pasca perang masbodoh dan runtuhnya negara Uni Soviet.
Clash of civilization yakni tindak lanjut Perang Salib yang terjadi di masa 11-12 M. Barat (terutama AS) memposisikan Islam sebagai musuh utama yang harus dilumpuhkan dengan aneka macam cara. Kepentingan global Barat dalam Clash of civilization sesungguhnya yakni dominasi ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan kepentinganya itu, Barat menggunakan banyak cara, dari yang paling halus hingga yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang. Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi biro dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat terang ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar membuatkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat menyerupai demokrasi, civil society, hak asasi manusia. Semua yang tiba dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti.
c. Isu Terorisme
Aktualiasi paling kontemporer dari clash of civilization yakni informasi terorisme yang sedang gencar-gencarnya dipropagandakan Barat untuk menyudutkan dan mendiskreditkan Islam. Dipicu oleh serangan 11 September atas World Trade Cantre (WTC), AS dan sekutunya seakan mempunyai mandat penuh untuk menyerang kelompok-kelompok Islam yang dinilai radikal dengan dalih memberantas terorisme. Agresi AS di Afganistan dan Irak yakni cuilan dari perang melawan terorisme yang dilakukan AS dan Barat.
Perang melawan terorisme hanyalah sekadar dalih dari ambisi AS dan Barat untuk menguasai negara-negara Muslim yang selama ini potensial untuk melaksanakan perlawanan terhadap Barat. Dan yang lebih menyedihkan, aktivitas perang melawan terorisme itu diterima oleh mayoritas negara-negara Muslim sebagai aktivitas bersama. Bahkan pemerintah RI pribadi meresponnya dengan mengeluarkan UU anti-terorisme yang menjadikan kontroversi itu serta tidakan-tindakan lain yang menyudutkan umat Islam menyerupai rencana menciptakan sidik jari santri dan lain-lain.
Dampak informasi terorisme yang dialami oleh umat Islam yang tinggal di Barat sungguh besar. Gerakan mereka selalu dicurigai dan yang lebih menyakitkan yakni stigma sebagai kelompok teroris yang besar lengan berkuasa terhadap kekerabatan sosial mereka.
Problematika Kontemporer:
Masa yang kami maksudkan di sini dimulai dari semenjak jatuhnya Dinasti Usmani di dunia Islam dimana dibagi dalam dua bagian:
1- Masa sebelum Kebangkitan Islam:
Dunia Salib Barat, pasca runtuhnya Dinasti Usmani lantaran kasus internal yang kala itu disebut dengan "kematian orang yang sakit", yakin sekali bahwa tidak ada lagi kekuatan di dunia Islam yang secara militer bisa berhadapan dengan Barat. Kemudian mereka menyusun jadwal "pelucutan Islam" dari kancah social masyarakat Islam. Program musuh ini bertujuan untuk mengubah identitas dan menetapkan tali korelasi umat Islam dengan latar belakang peradaban dan budaya masa lalunya. Sebab, musuh-musuh Islam sadar benar bahwa komitmen umat Islam terhadap keyakinan dan ikatan-ikatan keagamaan serta moral yakni hal yang selalu berpotensi mendatangkan lampu merah alias ancaman bagi mereka. Dan berikut ini kami akan menyebutkan beberapa alasannya dan factor kasus ini.
Alhasil, untuk mencapai tujuannya di era ini dan mengkikis kekuatan kaum Muslimin, musuh menetapkan aksi-aksi di bawah ini sebagai cuilan dari aktivitas dan jadwal mereka:
a. Membagi daerah Islam menjadi beberapa negara-negara kecil.
b. Mengangkat penguasa-penguasa yang menjadi boneka mereka.
c. Mengeksploitasi para penulis bayaran untuk tujuan-tujuan berikut:
- Memunculkan instabilitas keyakinan masyarakat.
- Menyebarkan pemikiran-pemikiran asing.
- Mengubah identitas budaya dan agama Islam.
Memecah dunia Islam menjadi beberapa negara kecil dari satu sisi dan mengangkat penguasa-penguasa boneka untuk mengaktualisasikan jadwal pengaburan/pengkikisan identitas dari satu sisi yang lain termasuk aktivitas musuh yang sukses dijalankan dengan baik di era ini.
Dalam bidang ini, kiprah para pemikir yang kebarat-baratan dan para penulis yang secara sadar atau tidak kadang kala bergerak sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diprogram oleh musuh tidak kalah daripada kiprah para penguasa boneka mereka. Para penulis yang telah terkotori dengan aroma weternisasi, menyerupai Toha Husein dan Salam Musa di Mesir dan dunia Arab, Diya’ Kuk Old di Turki, Sayid Ahmad Khan di India, dan Qasim Amin dan Taqi Zodeh di Iran, dan tentu masih banyak lagi para penulis dan kolomnis koran dan majalah lainnya yang nama mereka sanggup disebut, menilai bahwa jalan kemajuan sanggup dicapai dengan membebek dan mengikuti pola hidup ala Barat. Mereka menekankan kasus ini dalam pelbagai tulisan, orasi dan konferen-konferensi yang mereka ikuti.
Qasim Amin yakni pendukung keras anti jilbab, lantaran menurutnya fenomena religius, menyerupai jilbab kaum perempuan mencegah kemajuan umat Islam. Sebagian dari mereka menganggap bahwa mengubah goresan pena ke latin yakni salah satu cara lain untuk mendekatkan umat Islam ke kafilah peradaban manusia. Sebagaimana hal ini dipraktekkan secara resmi di Turki. Akibatnya, korelasi masyarakat dengan goresan pena Al Qur'an pun terputus.
Meskipun permusuhan ini secara lahiriah menandai adanya peperangan antara tradisi dan modernitas, dan para pemikir ini mengklaim bahwa mereka berusaha untuk mengantarkan masyarakat pada kafilah peradaban manusia, namun sejatinya mereka hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh musuh dalam pertarungan ini; pertarungan yang esensinya yakni permusuhan peradaban dan budaya yang bertujuan untuk menetapkan umat Islam dari latarbelakang peradabannya.
Musuh sangat memahami bahwa selama korelasi masyarakat Islam dengan budaya dan peradaban masa kemudian mereka terbangun dengan baik, maka hal itu berpotensi mendatangkan ancaman dan sewaktu-waktu sanggup menggerakkan perlawanan dan resisitensi masyarakat terhadap serangan bangsa asing. Musuh mengetahui bahwa budaya ini mempunyai benteng yang kokoh yang bisa memperlihatkan pertahanan dan daya tahan khusus di hadapan serangan membabi-buta mereka, dan benteng yang dimaksud yakni keyakinan (keyakinan). Oleh lantaran itu, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan dan merancang seni administrasi yang kiranya sanggup melemahkan faktor-faktor, yang, menciptakan umat Islam terikat dengan keyakinan dan kepercayaan keagamaan mereka.
Berkaitan dengan hal ini, ada suatu fenomena menarik yang kiranya sanggup menjadi materi renungan kita bersama, yaitu pada tahun 1920 M dan selanjutnya di daerah yang paling strategis di beberapa daerah dunia Islam yang notabene berbeda secara bahasa, geografi dan mazhab, namun uniknya para pemimpin di pelbagai daerah ini secara serempak menyatakan perang dan protes keras terhadap pelbagai symbol dan identitas keagamaan dan budaya masyarakat mereka sendiri. ‘Di Turki, pasca tumbangnya Pemerintahan Usmani, Musthafa Kamal Atatruk mengambil tampuk kepemimpinan pada tahun 1923 M, di Iran dikuasai oleh Reza Pahlavi pada tahun 1925 M dan di Afganistan dingklik kekuasaan diduduki oleh Amanullah Khan pada tahun 1919 M.
Yang menarik, di tiga daerah strategis Islam tersebut semua penguasanya melaksanakan gerakan yang nyaris sama dimana mereka semua berusaha merusak budaya lokal dan mengajak masyarakat untuk mengikuti gaya hidup ala Barat serta memerangi dengan serius segala bentuk fenomena keagamaan, menyerupai jilbab, masjid, shalat, para alim ulama, goresan pena Arab, dan pelbagai fenomena religius dan budaya masyarakat lainnya.
Tak syak lagi, fenomena ini bukanlah suatu kebetulan semata dan juga tidak apat dikatakan bahwa mereka bahwasanya berusaha untuk memerangi kemunduran dan berpikir untuk kemajuan bangsa mereka. Para pemimpin boneka ini dengan sadar sedang memainkan scenario penjajah di negara-negara yang mereka ditugaskan di situ. Oleh lantaran itu, di era tersebut para penguasa inilah yang menandatangani kontrak/perjanjian politik dan militer yang paling merugikan.
Di seluruh negara dan daerah Islam lainnya juga terjadi keadaan yang serupa. Termasuk jadwal dan aktivitas yang diterapkan dengan serius dan sistematis di era ini di pelbagai negeri Islam lainnya yakni mensosialisasikan pelbagai pemikiran dan "isme" yang diimpor dari Timur dan Barat dan membuatkan paham nasionalisme serta menghidupkan kembali pelbagai adat istiadat dan tradisi kaum Jahiliya dengan perkiraan bahwa hal tersebut merupakan latarbelakang nasional.
Kendatipun aneka macam konspirasi ini mendapat perlawanan kuat dan reaksi keras serta efektif para ulama Islam, khususnya ulama Syiah di Iraq dan Iran, namun lemahnya sarana dan alat dakwah dibandingkan dengan sarana yang dipakai pihak musuh dan perjuangan biadab dan tak manusiawi pihak penguasa dalam mengkikis kiprah ulama dan menghentikan gerakan-gerakan Islam, menimbulkan budaya impor ini berhasil melaksanakan penetrasi secara mendalam di banyak dari masyarakat Islam.
Di banyak negara Arab faham nasionalisme berkolaborasi dengan sosialisme. Kolaborasi ini begitu penting lantaran meskipun nasionalisme Arab mempunyai daya tarik kebangsaan, namun ia sendiri tidak cukup untuk mengisi kekosongan pada jadwal dan pedoman kehidupan. Karena itu, sosialisme disosialisasikan sebagai system politik-sosial yang berdampingan dengan nasionalisme Arab.
Dan dengan penggabungan ini, sesudah mensosialisasikan penon-aktifan agama dari panggung social, mereka berusaha untuk mengisi kekosongan ideologi. Di zaman itu, ideologi Sosialisme-Marxsisme yang berseberangan dengan sistem Kapitalisme yang menjadi penguasa dunia tampil sebagai sistem politik revolusioner gres yang mempunyai daya tarik tersendiri di kalangan belum dewasa muda dan para mahasiswa. Karena alasan ini, di banyak negara Arab, nasionalisme Arab yang mempunyai karakter sosialisme berhasil mengait pengikut dan simpatisan,khususnya di kalangan cendekiawan dan generasi muda. Di Iraq, kelompok Komunis—karena proteksi dan lampu hijau dari pemerintah—secara terang-terangan bergabung dengan Materialisme-Marxsisme yang dasar pemikirannya berhaluan pada pengingkaran terhadap metafisik dan Pencipta alam. Dengan kata lain, mereka mengajak masyarakat kepada kekufuran dan ketidakberimanan kepada Tuhan. Masalah ini memunculkan kecaman dan protes keras kalangan agamis, sehingga Ayatullah al-‘Udzma Sayid Muhammad Hakim mengeluarkan fatwa bersejarah yang berlebel “Komunisme yakni kafir dan tak kenal Tuhan” . Fatwa ini berhasil menghentikan kesesatan tersebut. Sebab, dengan keluarnya fatwa ini masyarakat termotivasi untuk melaksanakan kebangkitan kolektif dimana mereka menyerang pusat kelompok sesat ini, sehingga menciptakan pemerintah mengubah sikapnya dan menarik dukungannya terhadap gerakan Komunis ini.
Oleh lantaran itu, dengan gampang sanggup dikatakan bahwa tujuan dan aktivitas musuh di era ini dan di masa sebelum dimulainya kebangkitan Islam secara utama terpusat dan terfokus pada perjuangan menyingkirkan kiprah agama dan menumbuhkan pemikiran Materialisme.
Keimanan yang kuat dan kokoh masyarakat terhadap Islam dan pelbagai fatwa infinit Al Qur'an menjadi penghalang melemahnya keterikatan mereka pada Islam, meskipun serangan musuh di era ini kolam ombak besar yang menerjang masyarakat Islam dari pelbagai arah, dan kendatipun sekolah, dan universitas, koran, majalah, pena-pena bayaran, proteksi para pengusa boneka berhasil membuatkan budaya impor dan gaya hidup Barat dan pelbagai asesorisnya di tengah masyarakat. Tetapi, mereka sama sekali tidak bisa mengubah identitas orisinil Islam masyarakat dan korelasi mereka dengan Islam. Sebagai contoh, di Turki, meskipun sesudah jatuhnya Kerajaan Usmani, penguasa boneka Barat berhasil menjalankan pemerintahan sekularis dan menggunakan pendekatan kekerasan dalam rangka menerapkan jadwal "menyingkirkan Islam", menyerupai mengubah abjad Arab, melarang perempuan menggunakan jilbab, dan bahkan mengubah model pakaian dan membuatkan Nasionalisme Turki dst… dll. Namun, sesudah beberapa decade berlalu; dengan hanya tersedianya kebebasan untuk menampakkan keyakinan dan terciptanya kondisi untuk mewujudkan keinginan masyarakat, maka hanya satu kelompok politik yang menang, yaitu yang kendaraan politiknya bernamakan Islam.
Berkaitan dengan kasus Palestina juga demikian halnya. Meskipun para pemimpin bayaran dan para tokoh negara Arab yang pro-Barat dalam beberapa tahun yang kemudian berusaha melihat kasus Palestina dari beling mata non-Islam dan memperlihatkan warna Nasionalisme Arab padanya, namun kini kita menyaksikan di Palestina bahwa gerakan politik dan ormas yang berhasil menarik mayoritas bunyi rakyat yakni gerakan politik dan ormas yang memperkenalkan dirinya dengan syiar jihad.
2. Era Kebangkitan Islam:
Kebangkitan Islam yakni nama dari suatu tahapan dimana kaum Muslimin—setelah berabad-abad terlelap dalam tidur dan kelalaiannya—mengharapkan hegemoni Islam di tengah masyarakat mereka. Era ini identik dengan kembalinya orang-orang Islam pada peradaban terdahulunya dengan tujuan menghidupkannya kembali. Tahapan ini bisa disebut era percaya diri dan penolakan terhadap semua solusi politik-sosial yang diimpor dari Timur dan Barat, dan kembali pada kekuasaan politik Islam. Keberhasilan kebangkitan Islam ini yang bisa mengubah secara luas wajah dunia dimotori oleh para reformis, pembaharu, gerakan-gerakan Islam, pusat-pusat pencerahan yang dipimpin oleh para ulama dan hauzah (sentral-sentral pendidikan tradisional agama) di Irak dan Iran. Tak diragukan lagi, terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan ini, dan kami akan mengisyaratkan sebagiannya di bawah ini:
a. Telah tampak dengan terang ketidakberdayaan semua pemikiran dan "isme" yang diimpor dari Timur dan Barat.
b. Telah terbongkar kedok para penguasa boneka dan para pengklaim gerakan modernisme sebagai antek-antek penjajah dan masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kinerja mereka pada sejarah kontemporer.
c. Tindakan zalim para penguasa boneka yang sangat keterlaluan dan mereka dengan sengaja mengunakan aset dan kekayaan nasional untuk kepentingan penjajah.
Dengan kemenangan Revolusi Islam Iran, seolah ruh dan nyawa gres ditiupkan pada kebangkitan ini. Revolusi Islam Iran menjadi pola bagi pelbagai gerakan kebebasan untuk semua orang-orang tertindas didunia. Revolusi Islam Iran dengan kepemimpinan Imam Khomaini yakni kolam ledakan cahaya di tengah dunia gelap yang melanda orang-orang tertindas.
Musuh awalnya berada dalam kebingungan di hadapan ombak dan perubahan besar ini dan mereka berada dalam ketakutan yang luar biasa. Dan akhirnya, mereka pelan-pelan mulai memikirkan bagaimana menemukan cara dan seni administrasi untuk menghadapi gelombang ombak ini.
Pertama, mereka memaksakan perang melalui partai Ba’ts, Iraq yang dipimpim oleh Saddam Husein Takriti. Kekuatan Adi Daya mendukung Saddam secara penuh (media, logistic, alat militer) untuk menghancurkan Revolusi Islam yang gres berlangsung di Iran. Dengan hancurnya Iran yang jelas-jelas mengangkat bendera Islam maka harapan rakyat terhadap pemerintahan dan kemuliaan Islam di dunia akan sirna. Di samping perang yang dipaksakan, Saddam juga menyiapkan pelbagai ambisi pribadi jahatnya, namun gelombang ombak ini bukan hanya tidak berhenti, tapi justru semakin tumbuh subur dan akarnya semakin kuat. Gaung kebangkitan Islam di Iran justru—hari demi hari—semakin menyebar kemana-mana dan gerakan Islam di Iran semakin matang dan mantap dalam menghadapi pelbagai konspirasi musuh eksternal dan internal.
Sampai kini tekad dan perlawanan yang tumbuh dari kekuatan keyakinan masyarakat Muslim Iran menjadi faktor utama yang bisa menjaga harapan Imam Khomeini dan pemerintahan Islam dan juga menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi pelbagai konspirasi yang disusun semenjak awal Revolusi Islam Iran.
Hari demi hari dunia Islam terus menghadapi pelbagai konspirasi yang dilancarkan para musuh untuk menghambat laju kebangkitan Islam. Konspirasi ini bukan hanya tidak berhenti, bahkan hari demi hari lebih dalam, lebih luas dan lebih sulit.
Untuk generasi yang hidup di era kebangkitan Islam dan Revolusi Islam, sangat penting bagi mereka untuk mengetahui problematika kontemporer dunia Islam dan tujuan jelek segi tiga kejahatan, yaitu kekuatan kekufuran, Zionisme, dan kaum Salibisme internasional. Di samping pengetahuan ini, memahami potensi dan kekuatan perlawanan serta unsur kemenangan di hadapan musuh-musuh bersama akan menjamin basirah (ketajaman mata hati) dan menciptakan kita yang berada di barisan kebenaran mengenal bagaimana caranya menghadapi front kebatilan dalam peperangan panjang yang sangat memilih ini.
Adapun seni administrasi yang disusun Barat untuk menghadapi dunia Islam pada era kebangkitan Islam adalah:
a. Mengkikis kiprah Islam dari percaturan masyarakat dunia.
b. Menghapus kiprah Islam di antara masyarakat Islami sendiri.
c. Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam.
Sekarang, kami akan menjabarkan ketiga seni administrasi tersebut di bawah ini:
a. Mengkikis kiprah Islam dari percaturan masyarakat dunia
1. Meragukan keberadaan Islam sebagai agama samawi.
2. Meragukan keotentikan Al Qur'an.
3. Mendistorsi sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad saw yang jelas-jelas diakui kebenarannya oleh seluruh umat Islam.
4. Memberikan citra yang tidak benar berkenaan dengan fatwa Islam dan Al Qur'an, dan mengenalkannya sebagai sumber kekerasan.
5. Mewujudkan kebencian dan ketegangan di antara kaum Muslimin dan para pengikut agama lainnya, khususnya umat Kristen.
6. Mengadakan pelbagai seminar ilmiah dan mendirikan pusat penelitian untuk mengenal Islam dengan tujuan untuk mempelajari kelemahan dan kekurangan agama Islam.
b. Menghapus kiprah Islam di antara masyarakat Islam sendiri dan membuatkan pemikiran Liberalisme
1. Menolak kemampuan Islam dalam mengatur kehidupan insan kontemporer.
2. Kontradiksi antara aturan social Islam dan modernitas.
3. Meragukan kembali hal-hal yang sudah pasti dan disepakati dalam Islam, menyerupai jilbab, aturan waris, aturan peradilan Islam, dan menganggap hokum-hukum tersebut hanya berlaku dan cocok pada masa tertentu.
4. Melawan otoritas para ulama.
5. Menolak ijtihad dan taklid dan tidak baiklah kepada keharusan spesialisasi dalam aturan Islam.
6. Menyebarkan penghalalan apa saja dengan dalih kebebasan.
1. Menanamkan keraguan pada keyakinan beragama para cowok berkaitan dengan kasus dasar-dasar epistimologi Islam.
2. Mensosialisasikan pemahaman yang dimpor dari pusat perguruan Barat dan menerapkannya pada prinsip-prinsip epistimologi Islam, seperti; pluralisme agama, hermeneutic, menolak kebenaran makna lahiriah Al Qur'an dan hadis dan pembahasan-pembahasan yang serupa dengan ini.
3. Memerangi prinsip dan nilai tabiat yang mendominasi masyarakat Islam dengan memanfaatkan konvensi internasional dengan judul hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, kebebasan dan lain-lain dan kemudian memaksa negara-negara Islam untuk menjalankan keputusan ini.
c. Melucuti infrastruktur dan potensi yang dimiliki negara-negara Islam
1. Menyalakan konflik antar pelbagai kaum dan mazhab di dalam negara-negara Islam.
2. Mendalangi terjadinya krisis dan ketegangan politik di negara-negara Islam melalui antek-antek bayaran mereka.
3. Mengembangbiakkan teroris dan mewujudkan instabilitas di tengah masyarakat Islam.
4. Memecah belah di antara negara-negara Islam untuk mencegah persatuan dan keharmonisan korelasi sesama mereka dan menghalangi kemungkinan tercapainya satu kata atau satu sikap di pelbagai forum dan organisasi internasional.
1. Menghancurkan pondasi perekonomian negara-negara Islam dan menghabiskan kekayaan alam anegerah Ilahi pelbagai negara ini dengan tujuan menahan potensi pertumbuhan masyarakat Islam. Strategi ini menggunakan beberapa kiat di bawah ini:
- Menciptakan musuh imajiner dengan maksud memaksa suatu negara untuk membeli senjata dangan modal besar.
- Membuat pelbagai negara sibuk dengan masalah-masalah dalam negeri dan menjadikan mereka terpaksa menaggung biaya yang sangat besar untuk mengontrol keadaan dalam negerinya.
- Memunculkan krisis dengan tujuan untuk menahan laju perkembangan ekonomi.
1. Melemahkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Islam dan menanamkan rasa frustasi di antara mereka dengan tujuan menghilangkan spirit perlawanan dan rasa percaya diri. Dan mematikan segala perjuangan di bidang independensi unsur bersama pada seluruh tema yang telah kami paparkan di atas, politik, dan mendesain pelbagai problema dan fitnah ini dalam kemasan perang budaya dan peradaban. Sebab, sebagaimana yang telah kami singgung bahwa fenomena kebangkitan Islam tidak akan pernah dicegah oleh musuh melalui pendekatan dan agresi militer.
C. Kondisi Umat Islam
a. Terpecah belah dan diskonsolidasi
Adanya hadis yang menyebut bahwa umat Islam akan terbagi menjadi tujuh puluh tiga golongan dan yang selamat hanya satu, seolah menjadi alasan normatif bagi umat umat Islam untuk tidak bersatu. Realitas umat yang majemuk, terdiri dari beragai aliran pemikiran dan golongan serta aneka macam kelompok gerakan tidak disikapi secara bijak oleh umat Islam sebagai sebuah keniscayaan sejarah, tetapi malah dijadikan alasan untuk mengutuk, menyesatkan, menafikan dan menyerang kelompok lain.
Suasana tidak serasi antar umat Islam tidak saja terjadi di level bawah, tetapi pada level antar negara Islam. Arab Saudi, misalnya, tampak tidak begitu simpati apalagi tergerak secara kongret untuk melaksanakan pembelaan terhadap Hizbulloh yang diserang Israel, gara-gara Hizbulloh berpaham Syi’ah.
Belum lagi “pertarungan” antara kelompok konservatif salafi dengan gerakan-gerakan Islam modernis internasional, menyerupai Ikhwan al-Muslimin dan Hizb at-Tahrir, antara kelompok Islam pro pemerintah dengan kelompok Islam radikal di Mesir, Aljazair, Sudan, Somalia, Pakistan dan sebagainya. Aneka konfilk itu sangat terang melemahkan kekuatan Islam dan menguntungkan kelompok Barat yang selama ini sedang giat-giatnya menciptakan Islam lemah melalui politik berkelahi domba.
Di level nasional Indonesia, sanggup disaksikan betapa umat Islam tidak mempunyai satu ritme gerakan untuk melaksanakan aktivitas umat melawan musuh bersama Islam. Atau jangan-jangan musuh bersama (common enemy) itu tidak pernah terpikirkan oleh umat Islam sehingga justru yang menjadi musuh yakni kelompok Islam lain. Sinergitas antar gerakan Islam tidak tampak dan yang muncul yakni egoisme kelompok, seolah hanya dengan kelompoknya sendiri seluruh duduk masalah umat Islam sanggup dipecahkan.
b. Terpenjara oleh kesadaran magic (tahayul)
Salah satu akhir yang dimunculkan oleh kesadaran macam ini yakni mejadikan umat Islam anti terhadap ilmu pengetahuan. Padahal, kemajuan yang dicapai Barat dan yang lantas digunakannya untuk menyerang Islam yakni melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dunia Islam terlena dengan kesadaran magic, dan menganggap seakan-akan semua duduk masalah umat sanggup diselesaikan dengan sikap yang bersumber dari kasadaran macam itu. Ketika Allah mengingatkan bahwa setan yakni musuh yang nyata, maka banyangan umat wacana sosok setan yakni makhluk halus yang suka menciptakan orang kesurupan atau hantu di malam hari semata. Umat tidak sadar bahwa insan pun bisa menjadi setan yang tingkah polahnya bisa jauh lebih dahyat efeknya bagi kehidupan. Amerika dan Barat, yang diktatorial terhadap Islam apa bukan setan namanya? Majikan yang suka memeras buruhnya, apa tidak bisa digolongkan menjadi kelompok setan? Penguasa yang dzalim dan korup apa bukan kelompok setan? Jika mereka yakni sosok setan, lantas apa bisa melawannya hanya dengan kekuatan-kekuatan magic? Kalau umat Islam mau menggandakan Iran, dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologinya, mengantarkan Iran menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang paling ditakuti Barat. Bahkan konon, Iran termasuk salah satu dari tiga negara di muka bumi ini yang bebas dari intervensi Amerika.
c. Stategi gerakan yang lemah
Di samping gerakan Islam lemah dalam konsolidasi, mereka juga lemah dalam menyusun seni administrasi gerakan sehingga tidak efektif dalam mengusung aktivitas Islam. Gerakan Islam lebih tertarik dengan menciptakan jadwal yang bisa memperbesar anggota ketimbang jadwal yang pribadi menyentuh duduk masalah umat. Sehingga jadwal pemberdayaan masyarakat, advokasi terhadap mereka yang tertindas atau membangun kekuatan ekonomi serta politik umat Islam menjadi terlupakan.
Pola-pola gerakan yang dilakukan umat Islam masih bertahan dalam pola konvensional yang tradisionalis dan anti kemajuan. Sarana-sarana modern belum dimanfaatkan secara maksimal oleh gerakan Islam, kecuali hanya beberapa saja. Kondisi ini yang menciptakan umat Islam sering gamang dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang pola gerakannya demikian canggih.
Gerakan Islam juga lebih cenderung hanya bisa menciptakan gerombolan dan kerumunan ketimbang gerakan efektif yang pribadi bisa menembak target dengan tepat. Akibatnya, beberapa aktivitas gerakan Islam itu hanya efektif di tingkat informasi tetapi tidak terasa di tingkat aplikasi kongkretnya. Gerakan anti pornografi dan pornoaksi di Indonesia misalnya, bisa dijadikan cermin wacana hal ini.
D. Pengaruhnya di Level Nasional dan Lokal
a. Mayoritas jumlah tetapi miskin peran
Kalau boleh bertanya jujur, siapa yang mengendalikan negeri ini? Umat Islamkah, atau umat Islam hanya menjadi sekadar komoditi untuk diperjual belikan. Dalam bidang politik, siapa yang berkuasa? Mereka memang beragama Islam, tetapi apakah mereka dengan serius melaksanakan aktivitas gerakan Islam? Dalam bidang ekonomi sudah terang yang berkuasa yakni kelompok kapitalis. Mereka memang kemudian ramai-ramai melaksanakan Islamisasi ekonomi dengan membuka akomodasi ekonomi syari’ah, tetapi upaya ini bisa ditebak hanya menguntungkan kelompok mereka dan umat Islam hanya menjadi komoditi.
Dalam bidang pendidikan, sekolah mana, atau perguruan tinggi mana yang lebih unggul? Padalah ini yakni bidang strategis untuk mempersiapkan generasi masa depan Islam yang siap bersaing dengan mereka.
b. Gamang dalam menghadapi deislamisasi
Proses deislamisasi khususnya di kalangan generasi umat Islam terasa kian gencar. Tidak hanya Kristenisasi, tetapi demoralisasi juga sedang dilancarkan dengan dahsyat ke dalam badan umat Islam. Dan sayangnya, kondisi semacam ini dihadapi oleh umat Islam dengan tidak serius dan tidak efektif. Kristenisasi yang demikian canggih dan multi approach (dengan aneka macam cara dan pendekatan) lebih banyak dihadapi umat Islam dengan mengeluh dan mengutuk.
Gelombang liberalisasi moral ditengah-tengah generasi muda Islam juga sering dihadapi secara fregmented (terpilah-pilah) dan tidak komprehensif (menyeluruh). Akibatnya, generasi muda Islam kian hari kian menjauh dari fatwa Islam. Ini yakni problem budaya yang harus dihadapi dengan counter hegemonic culture(melawan budaya dominan), dan tidak semata-mata duduk masalah split personality (ketidak shalihan individu).
c. Berkubang dalam konflik
Akibat dari politik pecah belah yang dilakukan Barat, terasa hingga di tingkat lokal dan akar rumput (grassroot). Umat Islam menjadi saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok lain bahkan hingga terjadi konflik yang berdarah-darah.
Saking curiganya dengan kelompok lain, hal-hal yang semestinya bukan ajang konflik menjadi media efektif untuk menyulut konflik. Perbedaan furuiyah, manhaj gerakan, manhaj dahwah dan tarbiyah menjadi lahan subur untuk saling menafikan bahkan mengkafirkan.
Apalagi jikalau sudah memasuki wilayah politik, sungguh sangat sulit untuk tidak terjadi konflik. Kerusuhan yang terjadi di Madura beberapa tahun silam diakibatkan oleh berbedaan aspirasi politik walaupun mereka sama-sama Islam dan sama-sama NU. Nu dan Muhammadiyah juga pernah hampir terjadi kerusuhan besar hanya ketika berbeda dalam sikap politik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dunia kebarat-baratan atau dunia kontemporer pada ketika ini mulai memasuki agama islam, banyak cara yang harus dilakukan