Dalam Kajian Ushul Al-Fiqh Dan Contohnya
a. Qiyas yaitu menyamakan aturan suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau al- Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) alasannya yaitu persamaan illat (penyebab atau alasan) nya.
b. Ihtisan yaitu cara memilih aturan dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial .
c. Maslahah mursalah yaitu cara memilih hokum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
d. Urf yaitu sopan santun istiadat yang tidak bertentangan dengan aturan Islam sanggup dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Cara mengaplikasikan konsep maslahah mursalah dalam pemecahan hukum, berdasarkan Al-Ghozali yaitu :
a. Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan aturan islam yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, harta, keturunan atau kehormatan.
b. Maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma’.
c. Maslahat tersebut menempati level daruriyah atau hajiyah yang setingkat dengan daruriyah.
d. Kemaslahatannya harus bersifat qath’i atau zann yang mendekati qath’i.
e. Dalam kasus-kasus tertentu diharapkan persyaratan, harus bersifat qathiyyah, daruriyah dan kulliyah.
Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber aturan Islam. Ruang lingkup operasional maslahah mursalah hanya berlaku di bidang muammalah saja dan tidak berlaku dalam bidang ibadah.
2. Konsep Thariq Istimbatul Hukm yaitu mengambil hokum dari dalil-dalil syara’. Kaidah itu biasa bersifat lafzhiyah, menyerupai dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh terhadap arti tertentu.
Cara operasionalisasi metode qiyas dalam pemecahan aturan yakni, dalam rukun dan syarat qiyas, telah disebutkan bagaimana cara pemecahan aturan memakai qiyas.
Rukun qiyas yaitu :
a. Al-ashlu atau objek qiyâs, dimana diartikan sebagai pokok, yaitu suatu insiden yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
b. Hukum orisinil yaitu aturan syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.
c. Al-far’u yaitu sesuatu yang dikiaskan, alasannya yaitu tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d. Al-‘illah yaitu sifat aturan yang terdapat dalam al-ashlu dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u.
Dari rukun qiyas diatas, sanggup disimpulkan bahwa cara operasionalisasi pengambilan dengan metode qiyas dilakukan dengan tahap-tahap diatas.
Setelah kita mengetahui rukun Qiyas itu terbagi empat potongan yaitu : Al-ashlu, hukmu al-ashli, Al- Far’u, dan ‘Illat, maka dengan demikian tentunya kita harus mengetahui pula syarat-syaratnya masing-masing semoga dalam melakukan tindakan aturan tidak tersesat dan atau menyesatkan, diantara syarat-syaratnya sebagai berikut :
a. Syarat asal atau pokok, Hukum Ashal harus masih tetap atau masih.
b. Syarat far’I, Hukum Far’i janganlah berwujud lebih dahulu daripada aturan ashal, ‘Ilat. Hendaknya menyamai ‘ilatnya Ashal/Pokok, aturan yang ada pada far’i itu menyamai aturan ashal/pokok.
c. Syarat ‘illat hendaknya “ilat itu berturut-turut. artinya kalau ‘illat itu ada , maka dengan sendirinya hukumpun ada, dan sebaliknya. “Illat jangan menyalahi Nash, alasannya yaitu “illat itu tidak sanggup mengalahkannya maka dengan demikian Nash lebih dahulu mengalahkan ‘illat.
Contohnya yaitu Qiyâs keharaman extasy atau pil koplo atau narkotika atau sabu-sabu. Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Mâidah ayat 90, Allah SWT berfirman: Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, gotong royong (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, alasannya yaitu itu hendaklah kau jauhi semoga kau menerima keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah mengambarkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs sanggup digunakan untuk memutuskan aturan mengkonsumsi extasy atau narkotika;
a. Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
b. aturan asli: haram
c. Al-far'u: extasy
d. Al-'illah: memabukkan
Disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illat, yaitu sama-sama memabukkan sehingga sanggup merusak akal. Makara sanggup disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.
3. Pendapat saya mengenai aturan bayi tabung (artificial infitro) adalah
a. Diperbolehkan, kalau bayi tabung tersebut berasal dari sel sperma dan ovum dari suami isteri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim perempuan lain (ibu titipan), kalau keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya. Dan status anak hasil bayi tabung macam ini sah berdasarkan Islam.
b. Tidak diperbolehkan (haram) kalau bayi tabung ini berasal dari sperma dan atau ovum donor diharamkan (dilarang keras) Islam. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Proses memakai bayi tabung ada tiga macam:
1) Proses bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri, status anak yang dilahirkan tersebut sanggup dipertalikan keturunannya dengan ayah beserta ibunya dan anak itu memiliki kedudukan yang sah berdasarkan syariat islam, ini diperbolehkan.
2) Proses bayi tabung yang memakai sperma donor. Ada larangan penggunaan sperma donor menyerupai terdapat dalam surat al-baqarah: 223 dan an-nur : 30-31. Dan di dalam hadist nabi disebutkan : “tidak ada suatu dosa yang lebih besar disisi Allah sehabis syirik dari pada seorang laki-laki yang meletakkan maninya ke dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya”. Maka status anak yang dilahirkan menyerupai anak zina, maka proses ini tidak diperbolehkan.
3) Proses bayi tabung yang memakai cara surrogate mother (rahim titipan). alam proses ini berdasarkan saya tetap saja tidak diperbolehkan alasannya yaitu meskipun hanya meminjam rahim namun perkembangan dan pertumbuhan si bayi tetap menerima nutrisi makanan dari ibu yang dititipi rahim tersebut dan ini juga sangat mempengaruhi perubahan pada si bayi dan percampuran nasab pada si bayi.
Bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madarat daripada maslahanya. Adapun madarat bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain: pencampuran nasab, bertentangan dengan sunnatullah atau hokum Islam, bayi tabung pada hakikatnya sama dengan zina, alasannya yaitu terjadi percampuran sperma dan ovum tanpa perkawinan yang sah, kehadiran anak hasil bayi tabung bias menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan derma donor, dan lain sebagaianya. Landasan hokum yang mengharamkan bayi tabung dengan donor ialah terdapat dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 dan At-Tin ayat 4.
4. “Taghyirul ahkam bi taghyirul azmanah wal amkanah”, artinya berubahnya hukum alasannya yaitu adanya perubahan zaman dan tempat. Relevansi kaidah tersebut dalam penerapan konsep aturan waris dalam logika feminisme adalah, dalam perkembangan dunia yang telah mengalami perubahan, setiap insan dituntut untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Tidak terkecuali dalam aturan waris Islam dalam pelaksanaannya harus sanggup pula menyesuaikan perkembangan dan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai keadilan berdasarkan aturan waris Islam kini tela pula mengalami pergeseran nilai. Dengan semakin marakanya informasi gender ini pula yang menciptakan tatanan aturan kewarisan Islam mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan fundamental ini terlihat dari aturan waris telah mengalami adaptasi dengan nilai-nilai keadilan. Nilai-nilai keadilan pada zaman kini menuntut adaptasi antara hak laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai mahluk yang memiliki kewajiban yang sama. Sudah sepantasnya menuntut hak yang sama pula. Oleh alasannya yaitu ini dalam pembagian warisan berdasarkan aturan waris Islam dituntut pula untuk memperhatikan hak laki-laki maupun hak perempuan yang sama kuatnya. Bahkan ada sebagian yang menuntut hak yang sebanding dengan hak laki-laki. Konsep inilah yang sedang tren disaat ini dikalangan masyarakat. Tren yang megganggap semua insan mempunyak hak yang sama dihadapan hukum. Maka masyarakat pun telah merespon keiginan ini dengan menyamakan laki-laki dan perempuan sebagai jago waris berkenaan dengan tanggung jawab yang diembannya.
Asas aturan dalam pewarisan Islam tidak memandang perbedaan antara laki-laki dengan perempuan semua jago waris baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama sebagai jago waris. Tetapi hanyalah perbandinganya saja yang berbeda. Memang didalam aturan waris Islam yang ditekankan keadilan yang berimbang dipakai, bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama jago waris. Karena prinsip inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang adakala menyebabkan persengketaan diantara para jago waris. Yang dahulu perempuan hanya sebagai pendamping pria dalam mencari nafkah kini telah mengalami pergeseran. Kini perempuan tidak sedikit malah menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Perubahan inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu perempuan merupakan sebagai mahluk kelas dua kini telah mensejajarkan kedudukanya dengan laki-laki begitu pula dalam tuntutan dalam pembagian terhadap harta warisan. Sebab didalam sistem aturan kewarisan Islam menempatkan pembagian yang tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Secara fundamental sanggup dikatakan bahwa perbedaan gender tidak memilih hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisa. Hal ini secara terperinci disebut dalam alp-Qur’an dalam surah al-Nisa ayat 7 yang menyamakan kededukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12.176 surah an-Nisa secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak mendapatkan warisan antara anak laki-laki, dan anak perempuan, ayah dan ibu(ayat 11), suami dan istri (ayat12) saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12dan 176). Ditinjau dari segi jumlah potongan ketika mendapatkan hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, alasannya yaitu keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat ketika mendapatkan hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam anutan Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah al-Nisa’ayat 34. Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab menyerupai disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.