Hukum Pelanggaran Pemilu Berdasarkan Undang-Undang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merpakan slah satu unsur yang harus ada dalam suatu pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di Negara-negara demokrasi dpat dipandang sebagai awal dari paradigm demokrasi. Di samping itu, Negara demokrasi juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan. Baik dari pihak legislative maupun eksekutif. Berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukkan sebagai serpihan dari suatu pemilihan umum. Namun, masyarakat umumnya mengartikan pemilu kepada pemilu legislative dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali.
Pemilu legislative yang terakhir dilaksanakan di Indonesia ialah pada tahun 2009. Sistem pemilu yang dipakai berbeda jauh dengan pemilu sebelum kurun reformasi, di mana kini yang menentukan wakil rakyat dan pemimpin ialah masyarakat sendiri secra langsung.
Dengan melihat pada system pemilu dikala ini, pemilahan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi alasannya ialah rakyat sanggup berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilhan umum ialah hal yang penting dalam kehidupan Negara. Pemilu selain merupakan prosedur bagi rakyat untuk menentukan para wakilnya, juga sanggup dilihat sebagai proses penilaian dan pembentukan kembali kontrak social. Pemilu menyediakan ruang untuk terjadinya proses diskusi antara pemilih dan calon-calon wakil rakyat, baik sendiri-sendiri maupun melalui partai politik.
Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi biar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain ialah : tersedianya aturan main yang terang dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya hukuman yang adil kepada semua pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan aturan menyerupai penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di tempat yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final.
Adanya problem menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran alasannya ialah peraturan yang ada tidak cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan mempunyai integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya ialah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, gampang diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi ialah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.
Tersedianya aturan yang konkrit penting untuk menjamin kepastian dan keadilan aturan sehingga pemilu mempunyai landasan legalitas dan legitimasi yang berpengaruh sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapat santunan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa saja bentuk-bentuk pelanggaran dalam pemilu di Indonesia yang terdapat pada buku undang-undang
b. Bagaimana tata cara penyelesaian pelanggaran pemilu tersebut berdasarkan hokum yang berlaku
1.3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui macam-macam bentuk pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu di Indonesia.
b. mengetahui prosedur penyelesaian pelanggaran pemlu berdasarkan aturan yang berlaku.
BAB II
LANDASAN TEORI
UU 10 Tahun 2008 wacana Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan pemanis bahaya atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain:
1. Penyelenggara Pemilu yang mencakup anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu menyerupai PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan tubuh lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang sanggup terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar Undang-Undang Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:
1. pelanggaran manajemen pemilu;
2. pelanggaran pidana pemilu; dan
3. perselisihan hasil pemilu.
1. Pelanggaran Administrasi Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran manajemen ialah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, memakai akomodasi pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
2. Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 UU Pemilu mengatur wacana tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan hukuman pidana. Sebagai teladan tindak pidana pemilu antara lain ialah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memperlihatkan hak bunyi dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh forum penegak aturan yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3. Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu berdasarkan pasal 258 UU Pemilu ialah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan bunyi hasil pemilu secara nasional. Perselisihan wacana hasil bunyi sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil bunyi yang sanggup memengaruhi perolehan dingklik peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan bunyi diselesaikan melalui peradilan konstitusi. Satu jenis pelanggaran yang berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 wacana Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya ialah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa ialah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban aturan dengan kewajiban aturan (konflik) yang dalam konteks pemilu sanggup terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003).
Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur prosedur penyelesaiannya. Sengketa juga sanggup terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akhir dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, alasannya ialah menyangkut banyak pihak, sanggup dinilai merugikan kepentingan pihak lain menyerupai peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, forum pemantau, pemilih maupun masyarakat.
Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memperlihatkan “ruang khusus” untuk menuntaskan ketidakpuasan tersebut.
Contoh KASUS yang telah faktual ada ialah :
1. Sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU wacana Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu.
2. Sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai registrasi calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
BAB III
PEMBAHASAN
Tata cara penyelesaian yang diatur dalam Undang-Undang hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran manajemen diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan bunyi telah diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusional.
a. Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling usang 3 hari semenjak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks aturan pidana, waktu bencana masalah (tempus delicti) terhitung semenjak suatu tindak pidana atau bencana dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada dikala selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses aturan terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai teladan pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses manajemen dan terkendala hari libur maka dana gres diterima sesudah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran ialah hari jumat sehingga pelanggaran tidak sanggup diproses.
b. Penanganan Laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 wacana Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memperlihatkan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih memperlihatkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu wacana penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail wacana tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.
c. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai dikala ini KPU belum menerbitkan Peraturan wacana Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran manajemen yang berbeda antara masalah satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memperlihatkan kepastian aturan dan sanggup mencederai rasa keadilan. Karena itu KPU harus segera menciptakan aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan wacana tata cara penyelesaian pelanggaran manajemen setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis hukuman yang sanggup dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
d. Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) karakter c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini mengakibatkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada komitmen antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian kiprah dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran manajemen pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan alasannya ialah bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e. Pengertian ”hari”. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan klarifikasi mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak aturan pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari ialah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari ialah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
f. Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara menyerupai anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk menilik anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut mempunyai resiko aturan tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM Tentara Nasional Indonesia untuk menilik masalah yang menyangkut anggota Tentara Nasional Indonesia sementara penyidik Kepolisian merasa tidak mempunyai wewenang untuk menilik anggota TNI.
g. Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan komitmen pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas masalah dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini sanggup dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memperlihatkan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan masalah yang hingga ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
h. Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas masalah banding dari PN ke PT sanggup dilakukan paling usang 3 hari yang dihitung semenjak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua problem yang berkelanjutan mengakibatkan waktu investigasi di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan investigasi yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.
i. Jumlah aparat. Khusus untuk menangani masalah pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah pegawanegeri tersebut sanggup mengakibatkan proses penanganan masalah terbengkalai apabila terjadi penumpukan masalah pada tahapan tertentu alasannya ialah batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang mempunyai hambatan geografis.
j. Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. kitab undang-undang hukum pidana membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang bahaya hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas). Dalam KUHAP pelanggaran memakai aturan program singkat dan kejahatan dengan aturan program biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada klarifikasi program apa yang akan dipakai untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan memakai program investigasi singkat atau dengan investigasi biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari masalah inklusif masalah dan barang bukti. Apabila program investigasi singkat maka meski berkas masalah telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa hingga proses persidangan. Tetapi apabila memakai program investigasi biasa, maka semenjak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan. Selain itu hukuman pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga sanggup memunculkan disparitas putusan.
k. Pelaksanaan Putusan. UU memerintahkan 3 hari semenjak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melaksanakan hukuman mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah hukuman tetap sanggup dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak sanggup melaksanakan penahanan menyerupai pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?
l. Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur prosedur untuk menuntaskan sengketa tersebut. Sementara prosedur somasi melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 karakter g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN ialah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di tempat mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut ialah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 wacana Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu, dalam aneka macam Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam masalah pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk menilik dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan aturan dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.