Pendidikan Kurikulum Dan Pendidikan Huruf Dalam Pembelajaran
BAB I PENDAHULUAN
Secara historis maupun filosofis pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan variabel yang tidak sanggup diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak.
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima didik semoga manjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap,kreatif, inovatif,cerdas, disiplin, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Semua kegiatan pendidikan di aneka macam jenjang dan jenis pendidikan dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Rancangan kegiatan pendidikan di setiap jenjang dan jenis pendidikan disebut dengan istilah kurikulum. Kurikulum ialah niat dan impian yang dituangkan dalam bentuk planning atau kegiatan pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah.Kurikulum merupakan salah satu alat untuk membina dan mengembangkan siswa menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis bertanggung jawab serta berbudi pekerti.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan tabiat dan budi pekerti generasi muda bangsa mempunyai landasan yuridis yang kuat. Kini upaya tersebut mulai dirintis melalui pendidikan huruf bangsa.
BAB II PEMBAHASAN
A. Program Kurikulum Pendidikan
Kurikulum ialah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu forum penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada penerima pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk sanggup mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
Berbagai kurikulum yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia :
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan menggunakan istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya planning pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 gres dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan insiden sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya terperinci sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak ialah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung masa Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan insan Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pelatihan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, semoga pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi ialah imbas konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang populer dikala itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu planning pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, sampai melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 ialah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — kini Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan cantik hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi dikala diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang bisa menafsirkan CBSA. Yang terlihat ialah suasana gaduh di ruang kelas karena siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, karena beban berguru siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional sampai lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan tempat masing-masing, contohnya bahasa tempat kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan semoga isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 berubah menjadi menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian tamat sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila sasaran kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang bisa mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski gres diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa bekerjsama kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian sasaran kompetensi pelajaran oleh siswa sampai teknis penilaian tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol ialah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Makara pengambangan perangkat pembelajaran, menyerupai silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).
B. Ragam Pendidikan Karakter
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan huruf penerima didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan adakala dipakai secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan huruf juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan huruf tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik menyerupai dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, menyerupai Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan huruf (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen penilaian pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan huruf antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz. Pendidikan huruf berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu huruf merupakan cerminan dari nilai apa yang menempel dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya ialah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar duduk kasus apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan huruf akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, menyerupai kejujuran. Pendidikan huruf sebagai pendidikan nilai menyebabkan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan huruf semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, huruf merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan huruf semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran perihal tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menyebabkan pendidikan huruf semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku kasatmata perihal bagaimana seseorang sanggup disebut berkepribadian baik atau tidak baik menurut norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Bagaimana pendidikan huruf yang ideal? Dari klarifikasi sederhana di atas, pendidikan huruf hendaknya meliputi aspek pembentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan huruf bisa membuat kesadaran transendental individu bisa terejawantah dalam sikap yang konstruktif menurut konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global, namun bisa bertindak sesuai konteks lokal.
C. Perpektif Pendidikan Karakter
Pendidikan huruf sebagai sebuah kegiatan kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk huruf terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan huruf menurut nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
“to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).”
Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak semoga berkembang sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta semoga anak bisa merefleksikan, peka, dan bisa menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan huruf tidak bisa berjalan sendirian. Dalam masalah di Inggris, review penelitian perihal pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan huruf yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan kegiatan lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya menyerupai Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) memperlihatkan bahwa pembentukan huruf warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan huruf warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara penggalan Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan huruf bahu-membahu pendidikan huruf melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di masa Orde Baru pembentukan huruf warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran menyerupai Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di masa pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan huruf pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun huruf yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris (terutama di masa Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya:
• Sejarah sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
• Bahasa Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain
• Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
• Matematika sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
• Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
• Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai multikultural dan anti-rasis
• Ekspresi Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas mendasar kemanusiaan dan jawaban spiritual terhadap kehidupan
• Pendidikan Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan huruf bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000: 173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan huruf merupakan kegiatan agresi lintas kurikulum. Dengan demikian, pendidikan huruf sanggup diselenggarakan sebagai kegiatan kurikuler yang berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject). Namun, pendidikan huruf juga sanggup dilaksanakan semata-mata sebagai penggalan dari kegiatan ekstra-kurikuler menyerupai dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun kegiatan civic voluntary dalam tindakan insidental menyerupai relawan dalam mitigasi tragedi alam.
Pendidikan huruf sebagai sebuah kegiatan kurikuler sanggup didekati dari perspektif programatik maupun teoritis.
a. Perspektif programatik
1. Habit versus Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan daypikir dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan sikap kebajikan sampai menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal penting.
2. ”Hard” versus ”Soft” virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas) sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan tersebut.
3. Focus on the individual versus on the environment or community. Apakah huruf yang tersimpan pada individu ataukah huruf yang tersimpan dalam norma-norma dan pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, menentukan kedua-duanya (Schaps & Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
b. Perspektif Teoritis
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic approach (Lickona)
5. traditional perspective (Ryan) (the National Commission on Character Education dalam Williams, 2000: 36)
D. Instrumen Efektivitas Pendidikan Karakter
Character Education Partnership (2003) telah mengembangkan standar mutu Pendidikan Karakter sebagai alat penilaian diri terutama bagi forum (sekolah/kampus) itu sendiri. Instrumen berupa skala Likert (0 – 4) dengan memuat 11 prinsip sebagai berikut:
1. Effective character education promotes core ethical values as the basis of good character.
2. Effective character education defines “character” comprehensively to include thinking, feeling and behavior.
3. Effective character education uses a comprehensive, intentional, and proactive approach to character development.
4. Effective character education creates a caring school community.
5. Effective character education provides students with opportunities for moral action.
6. Effective character education includes a meaningful and challenging academic curriculum that respects all learners, develops their character, and helps them succeed.
7. Effective character education strives to develop students’ self-motivation.
8. Effective character education engages the school staff as a learning and moral community that shares responsibility for character education and attempts to adhere to the same core values that guide the education of students.
9. Effective character education fosters shared moral leadership and long-range support of the character education initiative.
10. Effective character education engages families and community members as partners in the character-building effort.
11. Effective character education assesses the character of the school, the school staff’s functioning as character educators, and the extent to which students manifest good character. (Character Education Partnership, 2003:5-15)
Jika ke-11 prinsip tersebut diadaptasikan sebagai cara mengukur efektivitas pendidikan huruf , maka pendidikan huruf telah diupayakan untuk:
1. mempromosikan inti nilai-nilai etis sebagai dasar huruf yang baik (nilai-nilai etis yang pokok sanggup berasal dari anutan agama, kearifan lokal, maupun falsafah bangsa).
2. mengartikan “karakter” secara utuh termasuk pemikiran, perasaan dan sikap (cipta, rasa, karsa dan karya dalam slogan pendidikan di UNY).
3. menggunakan pendekatan yang komprehensif, bertujuan dan proaktif untuk perkembangan karakter.
4. membuat suatu kepedulian pada masyarakat kampus.
5. memperlihatkan para mahasiswa peluang untuk melaksanakan tindakan moral.
6. memasukkan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang dengan menghormati semua penerima didik, mengembangkan kepribadiannya, dan membantu mereka berhasil.
7. mendorong pengembangan motivasi diri mahasiswa.
8. melibatkan staf/karyawan kampus sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang menyebarkan tanggungjawab untuk pendidikan huruf serta berupaya untuk mengikuti nilai-nilai inti yang sama yang memandu pendidikan para mahasiswa.
9. memupuk kepemimpinan moral dan proteksi jangka-panjang terhadap inisiatif pendidikan karakter.
10. melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai kawan dalam upaya pembangunan karakter.
11. menilai huruf kampus, fungsi staf kampus sebagai pendidik karakter, dan memperluas kesempatan para mahasiswa untuk menampilkan huruf yang baik.
Efektivitas implementasi kegiatan juga dipengaruhi oleh bagaimana strategi-strategi pembelajarannya dilakukan. Ada beberapa model dan seni administrasi pembelajaran pendidikan huruf yang sanggup dipergunkan, antara lain:
1. Consensus building (Berkowitz, Lickona)
2. Cooperative learning (Lickona, Watson, DeVries, Berkowitz)
3. Literature (Watson, DeVries, Lickona)
4. Conflict resolution (Lickona, Watson, DeVries, Ryan)
5. Discussing and Engaging students in moral reasoning.
6. Service learning (Watson, Ryan, Lickona, Berkowitz) (Williams, 2000: 37)
Di luar model pembelajaran huruf tersebut, ada beberapa model penting lainnya sehingga pendidikan huruf sanggup efektif. Mengikuti Halstead dan Taylor (2000), pertama, ialah pendidikan huruf melalui kehidupan sekolah/kampus; Visi-misi sekolah/kampus; teladan guru/dosen, dan penegakan aturan-aturan dan disiplin. Model ini menekankan pentingnya dibangun kultur sekolah/kampus yang aman untuk penciptaan iklim moral yang diharapkan sebagai direct instruction, dengan melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan. Ini bekerjsama menyerupai dengan kesebelas instrumen efektivitas pendidikan huruf yang dirumuskan oleh Character Education Partnership (2003) di atas.
Kedua, penggunaan metode di dalam pembelajaran itu sendiri. Metode-metode yang sanggup diterapkan antara lain dengan problem solving, cooperative learning dan experience-based projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajika ke dalam praktek kehidupan, sebagai sebuah pengajaran bersifat formal (Halstead dan Taylor, 2000: 181). Metode bercerita, Collective Worship (Beribadah secara Berjamaah), Circle Time (Waktu lingkaran), Cerita Pengalaman Perorangan, Mediasi Teman Sebaya, atau pun Falsafah untuk Anak (Philosophy for Children) sanggup dipakai sebagai alternatif pendidikan huruf (Halstead dan Taylor, 2000)
Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran dan prinsip-prinsip tersebut maka sanggup dimengerti bahwa pendidikan huruf bangsa menghendaki keterpaduan dalam pembelajarannya dengan semua mata pelajaran. Pendidikan huruf bangsa diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, dengan demikian akan menghindarkan adanya "mata pelajaran gres , alat kepentingan politik, dan pelajaran hafalan yang membosankan."
E. Pendidikan Karakter Bangsa dalam Keterpaduan Pembelajaran
Pendidikan huruf bangsa dalam keterpaduan pembelajaran dengan semua mata pelajaran sasaran integrasinya ialah materi pelajaran, mekanisme penyampaian, serta pemaknaan pengalaman berguru para siswa. Konsekuensi dari pembelajaran terpadu, maka modus berguru para siswa harus bervariasi sesuai dengan huruf masing-masing siswa Variasi berguru itu sanggup berupa membaca materi rujukan, melaksanakan pengamatan, melaksanakan percobaan, mewawancarai nara sumber, dan sebagainya dengan cara kelompok maupun individual.
Terselenggaranya variasi modus berguru para siswa perlu ditunjang oleh variasi modus penyampaian pelajaran oleh para guru. Kebiasaan penyampaian pelajaran secara langsung dan pendekatan ekspositorik hendaknya dikembangkan kepada pendekatan yang lebih bermacam-macam menyerupai diskoveri dan inkuiri. Kegiatan penyampaian informasi, pemantapan konsep, pengungkapan pengalaman para siswa melalui monolog oleh guru perlu diganti dengan modus penyampaian yang ditandai oleh pelibatan aktif para siswa baik secara intelektual (bermakna) maupun secara emosional (dihayati kemanfaatannya) sehingga lebih responsif terhadap upaya mewujudkan tujuan utuh pendidikan. Dengan bekal varisai modus pembelajaran tersebut, maka skenario pembelajaran yang di dalamnya terkait pendidikan huruf bangsa menyerupai rujukan berikut ini sanggup dilaksanakan lebih bermakna.
Penempatan Pendidikan huruf bangsa diintegrasikan dengan semua mata pelajaran tidak berarti tidak mempunyai konsekuensi. Oleh karena itu, perlu ada komitmen untuk disepakati dan disikapi dengan saksama sebagai kosekuensi logisnya. Komitmen tersebut antara lain sebagai berikut. Pendidikan huruf bangsa (sebagai penggalan dari kurikulum) yang terintegrasikan dalam semua mata pelajaran, dalam proses pengembangannya haruslah mencakupi tiga dimensi yaitu kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai dokumen, dan kurikulum sebagai proses (Hasan, 2000) terhadap semua mata pelajaran yang dimuati pendidikan huruf bangsa.
Dalam pembelajaran terpadu semoga pembelajaran efektif dan berjalan sesuai impian ada persyaratan yang harus dimiliki yaitu (a) kejelian profesional para guru dalam mengantisipasi pemanfaatan aneka macam kemungkinan instruksi pengait yang harus dikerjakan para siswa untuk menggiring terwujudnya kaitan-kaitan koseptual intra atau antarmata bidang studi dan (b) penguasaan material terhadap bidang-bidang studi yang perlu dikaitkan (Joni, 1996). Berkaitan dengan Pendidikan huruf bangsa sebagai pembelajaran yang terpadu dengan semua mata pelajaran instruksi pengait yang dimaksudkan sanggup berupa pertanyaan yang harus dijawab atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh para siswa yang mengarah kepada perkembangan pendidikan huruf bangsa dan pengembangan kualitas kemanusiaan.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan landasan teori dan pembahasan yang terurai ditas maka sanggup disimpulkan sebagai berikut :
1. Cukup beralasan bila Pendidikan huruf bangsa dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan-alasan itu ialah karena meningkatkan moral luhur para siswa ialah tanggung jawab semua guru, semua guru harus menjadi teladan yang berwibawa, tujuan utuh pendidikan ialah membentuk sosok siswa secara utuh, pencapaian pendidikan harus mencakupi dampak instruksional dan dampak pengiring.
2. Implementasi Pendidikan huruf bangsa terintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan center core pada mata pelajaran yang akan dibelajarkan.
3. Proses pengembangan Pendidikan huruf bangsa sebagai pembelajaran terpadu harus diproses menyerupai kuriklum lainya yaitu sebagai ide, dokumen, dan proses; kejelian profesional dan penguasaan materi; proteksi pendidikan luar sekolah; instruksi impulsif dan penguatan segera; penilaian beragam; difusi, penemuan dan sosialisasi ialah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam pencanangan pembelajaran terpadu Pendidikan huruf bangsa.
Saran-Saran
1. Keterpaduan pendidikan huruf ialah kegiatan pendidikan. Pendidikan huruf diharapk menjadi kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan aneka macam kegiatan sekolah untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya
2. Lingkungan sekolah yang positif membantu membangun karakter. Untuk itu benahi lingkungan sekolah semoga menjadi lingkungan yang positif.
3. Guru harus disiplin lebih dulu siswa niscaya akan mengikuti disiplin
Daftar Rujukan
Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7
Degeng, S Nyoman,1989,Taksonomi Variabel , Jakarta, Depdikbud.
Depdiknas, 2003, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.depdiknas.go.id
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Di Indonesia _ infodiknas.com.htm
makalah-kurikulum-pendidikan-agama.html
Character Education Partnership. (2003). Character Education Quality Standards. Washington: Character Education Partnership
Samsuri. (2007). “Civic Education Berbasis Pendidikan Moral di China.” Acta Civicus, Vol. 1 No. 1, Oktober.