Skripsi Perkembangan Akuntansi Syariah

PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH

Skripsi
Disusun Dalam Rangka Pengembangan Profesi Keguruan



Oleh
Mursidin Hamidin Aliundin Ahmadi, S.Pd.
NIP. 131 651 191



Universitas Jaya Batu Agung
Porong-Jawa Timur
2008





LEMBAR PENGESAHAN
PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH


Oleh
Mursidin Hamidin Aliundin Ahmadi, S.Pd.
NIP. 131 651 191

PORONG,   Mei 2008



KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah, penulis pada kesempatan ini selesai menyusun penuliusan makalah yang berjudul “Perkembangan Akuntansi Syariah”. Makalah ini disusun guna menyebarkan profesi keguruan.
Berbagai media dan terbatasnya sumber pemaparan perihal kajian akuntansi syari’ah sedikit banyaknya cukup menyulitkan penulis guna melengkapi kajian ini. Oleh alasannya yaitu itu kritik dan saran yang membangun akan penulis tampung demi menunjang literature yang bermutu pada penulisan selanjutnya.
Akhir kata, hanya kepada Allah-lah penulis berserah diri dan semoga kajian ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan umumnya bagi institusi pendidikan dan para pembaca.

Porong,    Mei 2008

Penyusun



A. Perkembangan Umum Akuntansi
Hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diubahsuaikan tanpa perubahan berarti. Hal ini sanggup dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia yaitu akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI).
Perkembangan terbaru, ketika ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi hingga standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010.
Dunia bisnis tak kalah, semua kegiatan dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk menggunakan pola akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi kini menjadi menara gading dan sulit sekali menuntaskan dilema lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak sanggup menuntaskan dilema akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Hal ini sesungguhnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia.
Padahal jikalau kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis ketika ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bab dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga menghipnotis lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006). Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang ketika ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka abjad akuntansi niscaya kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi mempunyai kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk acara neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, terang berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula.
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak mempunyai sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak sanggup mengakomodasi akuntansi dengan tetap melaksanakan adaptasi sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
B. Akuntansi Syariah: Antara Aliran Pragmatis dan Idealis
Perkembangan akuntansi syariah ketika ini berdasarkan Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama bekerjasama dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara pedoman akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi syariah pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional sanggup dipakai dengan beberapa modifikasi (lihat juga contohnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya).
Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis menyerupai penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terencana dalam kebijakan akuntansi menyerupai Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia.
Hal ini sanggup dilihat contohnya dalam tujuan akuntansi syariah pedoman pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan adaptasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan keuntungan rugi dan laporan pedoman kas) juga menetapkan beberapa laporan lain menyerupai analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dihentikan berdasarkan syariah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya insan untuk bank syari’ah.
Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syariah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syariah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris menyerupai dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syariah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping menciptakan laporan keuangan, juga diminta melaksanakan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) memperlihatkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melaksanakan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syariah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syariah (maqasid syariah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syariah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah.
Pertama, hampir seluruh negara muslim yaitu bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syariah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan harapan Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syariah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis.
Pola yang establish ini menghipnotis pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syariah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan jago syariah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya jago syariah mempunyai sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan mekanisme di lapangan.


2. Akuntansi Syariah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syariah Idealis di sisi lain melihat fasilitas yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak sanggup diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan keuntungan (lihat contohnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a).
Landasan filosofis menyerupai itu terang besar lengan berkuasa terhadap konsep dasar teoritis hingga bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan pedoman idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan keuntungan rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syariah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi aksesori berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syariah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang erat dengan nilai dan tujuan syariah berdasarkan akuntansi syariah pedoman idealis yaitu Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), alasannya yaitu menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syariah, menyerupai dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak eksklusif menawarkan bantuan ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum sanggup dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak mendapatkan pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders yaitu pihak yang terkait eksklusif dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders yaitu pihak yang tidak terkait eksklusif dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
3. Komparasi Antara Akuntansi Syariah Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang sanggup ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara pedoman akuntansi syariah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syariah pragmatis menentukan melaksanakan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya yaitu digunakannya bentuk laporan keuangan menyerupai neraca, laporan keuntungan rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syariah idealis menentukan melaksanakan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya yaitu penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diharapkan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan klarifikasi perbedaan akuntansi syariah pedoman pragmatis dan idealis,

C. Proyek Implementasi Shari’ate Enterprise Theory
Proses pencarian bentuk teknologis pedoman idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi keuntungan yaitu nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA semoga bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melaksanakan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA yaitu pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS yaitu salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menimbulkan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bab atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bab bawah SVAS (distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat kegiatan perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak sanggup dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak sanggup dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.

REFERENSI

Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syariah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syariah. Simposium Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli

Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syariah Berbasis Maal: Kontekstualisasi “Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syariah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.

Mulawarman. 2006. Proses rekonstruksi sinergis VAS dan EVAS untuk membentuk SVAS.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel