Kekeliruan- Kekeliruan Bulan Ramadhan
1. Mengkhususkan ziarah kubur menjelang Ramadhan
Tidaklah sempurna ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan ialah waktu utama untuk menziarahi kubur orang bau tanah atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap ketika melaksanakan ziarah kubur semoga hati kita semakin lembut lantaran mengingat kematian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah ziarah kubur lantaran hal itu lebih mengingatkan kalian pada darul abadi (kematian).”266
266 HR. Muslim no. 976, Ibnu Majah no. 1569, dan Ahmad 1/145.
267 HR. Abu Daud no. 2335, An Nasai no. 2173, Tirmidzi no. 687 dan Ahmad 2/234. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih.
268 HR. An Nasai no. 2188 dan Tirmidzi no. 686. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih.
Namun masalahnya ialah jikalau seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan ialah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan lantaran tidak ada dasar dari anutan Islam yang menuntunkan hal ini.
2. Padusan, mandi besar, atau keramasan menyambut Ramadhan
Tidaklah sempurna amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan ibarat ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Puasa pun tetap sah jikalau tidak lakukan keramasan. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”), ada juga yang melakukannya campur baur pria dan wanita (baca: ikhtilath) dalam satu daerah pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar lantaran tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang sanggup mendatangkan marah Allah?!
3. Mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.”267
Pada hari tersebut juga tidak boleh untuk berpuasa lantaran hari tersebut ialah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).”268
4. Melafazhkan niat “Nawaitu shouma ghodin ...”
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini lantaran tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat bahwasanya ialah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam madzhab Syafi’i- mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah
dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”269
269 Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
270 Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy menyampaikan dalam Majma’ Zawa’id (1/181) bahwa para perowinya ialah perawi yang shohih.
271 Lihat pembahasan “at tashiir” dalam Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336.
272 HR. Tirmidzi no. 705 dan Abu Daud. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini hasan shahih.
273 Yang dimaksudkan dengan adzan di sini ialah adzan kedua yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum, sebagai tanda masuk waktu shubuh atau terbit fajar (shodiq). (Lihat Fathul Bari, 2/54)
274 HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097.
5. Membangunkan sahur ... sahur
Sebenarnya Islam sudah mempunyai tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh ialah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak sempurna jikalau membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur ... sahur ....” baik melalui speaker atau pun tiba ke rumah-rumah dengan mengetuk pintu. Cara membangunkan ibarat ini tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan ialah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberi nasehat, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah menciptakan bid’ah (ajaran yang tidak ada dasarnya). Karena (sunnah atau anutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah cukup bagi kalian270”.271
6. Pensyariatan waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.”272 Hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) ialah semenjak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa usang jarak antara adzan Shubuh273 dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”.274 Lihatlah berapa usang jarak antara sahur dan adzan? Apakah satu jam? Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat erat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekadar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).
7. Dzikir jama’ah dengan dikomandoi dalam shalat Tarawih atau shalat lima waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan dzikir sesudah shalat, ia berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang sempurna ialah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) ialah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.”275
275 Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/190.
276 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/12.
277 Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
278 Perowi hadits ini ialah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia ialah perowi yang dho’if (lemah). Juga dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan.
Dalam riwayat lain, perowinya ialah ‘Abdullah bin ‘Amr. Haditsnya dibawakan oleh Al ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya’ (1/310) dengan sanad hadits yang dho’if (lemah).
8. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.276
9. Tidak mau mengembalikan keputusan penetapan Ramadhan dan hari raya kepada pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa Saudi Arabia mengatakan, “Jika di suatu negeri terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut menentukan suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.”277
10. Banyak tidur ketika berpuasa
Sebagian orang termotivasi dengan hadits berikut untuk banyak tidur di bulan Ramadhan,
“Tidurnya orang yang berpuasa ialah ibadah. Diamnya ialah tasbih. Do’anya ialah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”278 Perlu diketahui bahwa hadits ini ialah hadits yang dho’if. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 menyampaikan bahwa hadits ini ialah hadits yang dho’if (lemah).
Ibnu Rajab menerangkan, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan tubuh semoga berpengaruh ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka ibarat inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula
apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya semoga berpengaruh dalam beramal, maka tidur ibarat ini bernilai ibadah.”279
279 Latho-if Al Ma’arif, 279-280.
280 HR. Muslim no. 82.
281 HR. An Nasa’i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih.
282 Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi (no. 2622) dari ‘Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy, seorang tabi’in. Hakim menyampaikan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Sanad (periwayat) hadits ini ialah shohih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52.
283 Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/62.
Intinya, semuanya ialah tergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya sanggup seharian dari pagi sampai sore, maka tidur ibarat ini ialah tidur yang sia-sia. Namun jikalau tidurnya ialah tidur dengan niat semoga berpengaruh dalam melaksanakan shalat malam dan berpengaruh melaksanakan amalan lainnya, tidur ibarat inilah yang bernilai ibadah.
11. Puasa Tetapi Tidak Shalat
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Apa aturan orang yang berpuasa namun meninggalkan shalat?” Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima lantaran orang yang meninggalkan shalat berarti kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran ialah firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) ialah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah: 11)
Alasan lain ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran ialah meninggalkan shalat.”280 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) ialah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”281
Pendapat yang menyampaikan bahwa meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran ialah pendapat lebih banyak didominasi sahabat Nabi bahkan sanggup dikatakan pendapat tersebut termasuk ijma’ (kesepakatan) para sahabat.
‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menimbulkan dia kafir selain masalah shalat.”282 Oleh lantaran itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari simpulan zaman nanti.
Kami katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jikalau engkau puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak lantaran orang kafir (sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah darinya.283
Amalan keliru lainnya dan klarifikasi secara lebih detail telah kami bahas dalam bab-bab sebelumnya.