Indonesia Sebagai Masyarakat Majemuk
TUGAS MANDIRI
“INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT MAJEMUK”
Oleh:
Nama : Achmad Muhammad Hambali
NPM : C02212088
Kelas : B
Prodi : Pendidikan Ekonomi
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2010
“INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT MAJEMUK”
Oleh:
Nama : Achmad Muhammad Hambali
NPM : C02212088
Kelas : B
Prodi : Pendidikan Ekonomi
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Sulit dipungkiri, Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Ini terlebih bila dikontrakan dengan bangsa-bangsa lain menyerupai Jepang, Korea, Thailand, ataupun Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak dalam manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak “satu”. Budaya Indonesia sanggup dengan gampang dipecah kedalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, atau pun Toraja, sebagai misal.
Kemajemukan juga termanifestasi dalam persoalan agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi ataupun perbedaan-perbedaan perilaku dalam politik. Sikap politik, secara khusus, paling gampang menampakkan diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang di bumi Indonesia.
Ciri dari masyarakat beragam ialah secara atruktural mempunyai sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau konsesur yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pola ditandari oleh berkembanganya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan peranggotanya masing-masing secara tegar dalam tebentuknya yang relative murni serta sering timbulnya konflik-konflik sosial. Masyarakat beragam biasanya tersegmentasi kedalam kelompok yang punyai sub kebudayaan yang berbeda.
Sebab itu, merupakan suatu kajian menarik guna melihat menyerupai apa manifestasi kemajemukan struktur masyarakat Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan dilakukan seputar kelebihan serta keemahan dari struktur beragam masyarakat Indonesia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Keanekaragaman kultur Indonesia
Selaku pisau nalisa, perlu terlebih dahulu dibedah pengertian dari Keanekaragaman kultur “Mutukultur”. Kajian ini mengenai masyarakat beragam signifikan terutama didalam masyarakat yang memang terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya yang satu sama lain saling berbeda. Indonesia, alasannya itu, menyebarkan slogan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan ini bersifat filosofis politis. Oleh alasannya itu tanpa adanya unsur pemersatu, akan gampang kiranya memecah belah kohesi politik masyarakat yang mendalami sekujur kepulauan nusantara ini.
Mengenai keanekaragaman kultur ini, Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu : (1) Keanekaragaman Subkultural, (2) Keanekaragaman Perspektif, dan (3) Keanekaragaman Komunal. Ketiga pengertian mengnai keanekaragaman ini mempunyai pengaruh berbedanya titik analisis atas kajian keanekaragaman atau multikultur yang dilakukan.
1. Keanekaragaman Subkultural
Menurut Parekh, Keanekaragaman subkultural ialah sutu kondisi dimana para anggota masyarakat mempunyai satu kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa diantara mereka menyakinkan keyakinan dan praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah kehidupan tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat berbeda.
Kini, kelompok-kelompok miskin urban, “pun” kaum waria, gay, lesbian, dan kelompok-kelompok yang oleh masyarakat umum disebut “menyimpang” merupakan wujud dari keanekaragaman subkultural ini. Termasuk ke dalam contoh ini ialah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok ‘sempalann” agama mainstream.
2. Keanekaragaman Perspektif
Manurut Parekh, Keanekaragaman perspektif ialah suatu kondisi dimana beberapa anggota masyatakat sangat krisis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali disempanjang garis kelompok yang sesuai. Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi wanita merupakan perwakilan dari keanekaragaman perspektif. Kemudian isu-isu pembentukan masyarakat madani di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu pembentukan Negara Islam atau Negara Pancasila, mewakili Keanekaragaman Perspektif ini.
3. Keanekaragaman Manual
Terakhir, Keanekaragaman Kamunal ialah suatu kondisi sebagian besar masyarakat yang meliputi beberapa komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik. Mereka menjalankan dan hidup dengan sistem kayakinan dan praktek yang berlainan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Misal dari Keanekaragaman Komunal ini ialah para imigran yang gres tiba, komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish, kelompok-kelompok cultural yang berkumpul secara territorial menyerupai kaum Basque di Spanyol. Di Indonesia asuk ke dalam kelompok ini contohnya kawasan-kawasan Perinan (hunian komunitas Cina), wilayah-wilayah yang dihuni suku-suku bangsa di luar daerahnya (komunitas Batak di Jakarta dan Bandung, misalnya).
Bahasa atas tiga pengertian keanekaragaman ini membawa kita pada pertanyaan, kearah mana keanekaragaman Indonesia hendak dialamatkan? Asumsi penelitian akan keanekaragaman Indonesia biasanya pribadi ditunjukan pada hal-hal menyerupai keragaman agama, bahasa, suku bangsa, dan wilayah domisili berdasar kepulauan tempat tinggal. Namun, ketika diperhadapkan pada pembagian pengertian keanekaraman berdasarkan Parekh ini, perlu dilakukan suatu pemilahan yang sempurna atas kajian kemajemukan Indonesia selanjutnya.
Kemajemukan di Indonesia
Berdasar argumentasi Parekh, multikulturalisme di Indonesia bergotong-royong lebih kompleks ketimbang Cuma membedakan aspek kesukubangsaan saja. Masalah kesukubangsaan ini lambat-laun mengalami perubahan makna. Sebagai missal, Yusuf Kalla (saat goresan pena dibentuk ialah Wakil Presiden RI) yang orang Makassar menikah dengan Mufidah Kalla yang berasal dari Sumatera Barat. Kemungkinan, Yusuf Kalla relative gampang mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar” yang mempraktekkan budaya “Makassar.” Demikian pula istrinya, mengidentifikasi diri dan mempraktekkan budaya Sumatera Barat. Namun, bagaimana halnya dengan keturunan mereka? Apakah mereka mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar”, “orang Sumatera Barat”, ataukah “orang baru” yang mengidentifikasi diri selaku orang setengah Makassar dan setengah Sumatera Barat.
Terkadang, guna memutus kebingungan identifikasi, seseorang yang merupakan keturunan perkawinan “campur” aneka suku bangsa mengidentifikasi diri selaku “orang Indonesia”. Ditinjau dari sisi ini, konsep integrasi nasional mempunyai kekuatannya sendiri sebagai basis identitas mereka yang sulit mengidentifikasi diri dengan suku bangsa tertentu. Terlebih, bila keturunan dari dari perkawinan antar suku bangsa tersebut memperoleh keturunan dari suku bangsa lain yang berbeda dengan asal kedua orang tuanya. Masalah identifikasi akan semakin kompleks, dan ke-Indonesia-an semakin memperoleh signifikansi selaku basis identitas mereka.
Kembali kepada pengertian multikultur berdasarkan Parekh. Subkultur, Perspektif, dan Komunal ketiganya sekaligus merupakan varian keanekaragaman yang sanggup saja diterapkan terhadap kajian sistem sosial dan budaya Indonesia. Masuknya aneka budaya baru, perkembangan teknologi, industrialisasi, dan percampuran penduduk menciptakan kategorisasi keragaman hanya sekadar suku bangsa sebagai analisis sistem sosial dan budaya Indonesia terlihat berkurang signifikansinya.
Aneka subkultur sekarang pun tengah berkembang di Indonesia. Budaya-budaya Punk, kaum urban miskin kota, penduduk wilayah perbatasan, kelompok-kelompok buruh, lalu membangun sistem nilai dan cara hidup tersendiri yang kemungkinan berbeda dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kendati berbeda, dalam satu dan lain aspek, mereka masih sanggup bersepakatan dengan aturan dan sistem aturan yang berkembang di Indonesia. Ini dengan tidak melupakan fakta, keragaman yang bersifat subkultur ini tetap merupakan “minoritas” dan sulit berubah menjadi “mayoritas”.
Selain itu, kelompok-kelompok gres yang sanggup dianggap selaku representasi dari keanekaragaman perspektif ialah kelompok-kelompok perempuan, kelompok-kelompok keagamaan tertentu, kelompok-kelompok pakar ilmiah, yang kendati tetap hidup dalam budaya mainstream tetapi mempunyai sejumlah kritik atas praktek kebudayaan yang berlangsung. Bersama kelompok-kelompok ini hidup, tetapi mereka terus mengupayakan perubahan atas beberapa aspek kebudayaan tertentu yang dipraktekkan.
Keanekaragaman Komunal paling gampang dikenali lantaran sejumlah manifestasi fisik yang gampang dicerap panca indera semisal bahasa, tata cara berpakaian, warna kulit, dan tata cara hidup. Orang Batak gampang dibedakan dengan Orang Sunda. Orang Papua gampang dibedakan dengan Orang Minangkabau, dan seterusnya. Suku-suku bangsa ini sanggup saja hidup kendati berada di luar wilayah domisilinya. Misalnya, orang Batak hidup di perantauan di daerah Cimahi, Bandung. Orang-orang Batak ini kemungkinan menerbitkan suatu “perspektif” yang absurd bagi orang Sunda jawaban beberapa perbedaan tata budayanya. Namun, kerap kali orang-orang Batak akan mengadopsi beberapa komponen budaya Sunda (bahasa, makanan, cara bergaul) demi mengintegrasikan diri mereka.
Parsudi Suparlan secara tegas menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Hal yang mencolok dari kemajemukan masyarakat Indonesia ialah pementingan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai pola utama bagi jati diri bangsa.2 Suparlan menandaskan bahwa masyarakat beragam ini mempunyai kesulitan tersendiri dalam melaksanakan integrasi nasional.
Sebagai contoh sanggup diambil Afrika Selatan tatkala di bawah rezim Apartheid. Kulit putih Eropa (Belanda, Belgia) yang menguasai Afrika Selatan muncul selaku pemerintah dan melaksanakan tindak diskriminasi sosial terhadap kaum kulit hitam. Pembedaan tidak hanya terjadi di sector politik, tetapi juga meliputi sector sosial dan ekonomi yang dibatasi garis-garis rasial, keyakinan agama, dan jenjang sosial feodalisme.3 Begitu pula, terdapat kesulitan bagi Suriname yang beragam dalam menerapkan demokrasi jawaban konflik kepentingan antara 2 suku bangsa mayoritas di Negara tersebut. Akibatnya, Suriname kerap mengalami Military-Dictatorship demi pengembangan stabilitas nasionalnya.
Namun, ini bukan berarti multikulturalisme menjadi preseden terbentuknya consensus nasional berbangsa. Amerika Serikat, sebagai contoh, pada awal berdirinya ialah cukup “rasis” dengan konsep WASP-nya (White Anglo Saxon Protestant). Pemerintah Amerika Serikat hanya berhak dianggotai oleh orang-orang kulit putih asal Inggris yang beragama Protestan. Kini konsep tersebut lambat-laut mencair dan bahkan, orang keturunan kulit gelap menyerupai Barack Husein Obama bisa muncul sebagai orang nomor 1 di Negara tersebut.
J.S. Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia selaku bangsa majemuk. Masyarakat beragam ialah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh banyak sekali kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya ialah sedfemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang mempunyai loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang mempunyai homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang mempunyai dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.4
Ciri dari masyarakat beragam ialah secara structural mempunyai sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau consensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pula ditandai oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relative murni serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan sailng ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam masyarakat beragam dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai aturan ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominant yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindi Belanda, pemerintahan nasional atau penjajahan mempunyai kekuatan militer dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan aturan untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur korelasi kekuatan yang berlaku secara nasional, dalam penjajahan hindia belanda terdapat golongan yang paling dominant yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih disusul oleh orag Cina, Arab, dan Timur asing lainnyam dan kemulian yang terbawah ialah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan mereka mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur korelasi kekuatan dominant-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks korelasi dan kepentingan yang berlaku.