Makalah Macam-Macam Metode Kritik Sastra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia akademik, istilah kritik sering sekali bersandingan dengan seni baik itu seni sastra, seni rupa, seni pertunjukan dan seni film. Kritik sastra khususnya berfungsi sebagai penilai atau judgement dalam menentukan nilai (baik, cukup, kurang) sebuah karya sastra. Kritik sastra juga memperbanyak pengetahuan dan pemahaman publik terhadap karya sastra.
Bagi pembaca, kritik sastra berfungsi tiga hal, yaitu sebagai berikut:
1. Membantu pembaca yang kesulitan memahami karya sastra.
2. Membantu pembaca menentukan yang terbaik dari sejumlah alternatif bacaan.
3. Membantu pembaca menilai sebuah karya sastra.
Kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial sangat dibutuhkan untuk memahami sebuah karya sastra. Dengan kedua hal itu, kita sanggup menyadari bahwa hidup itu sangatlah kompleks sehingga kita semakin menghargai terhadap perbedaan.
Dengan demikian, kritik sastra sangat dibutuhkan untuk membantu perkembangan sastra itu sendiri. Namun, dalam dunia sastra terdapat banyak sekali karya yang berbeda jenis ataupun bentuknya, menyerupai puisi, sajak, cerpen, novel, drama, dan yang lain sebagainya membutuhkan media kritik yang berbeda-beda. Tidak hanya di setiap jenis atau bentuk karya sastra, dalam satu jenis karya sastra pun dibutuhkan beberapa metode kritik. Ini dimaksudkan untuk mengetahui secara benar nilai sastra tersebut.
Di dalam makalah ini, penulis akan memaparkan secara ringkas wacana macam-macam metode kritk sastra. Seluruh metode ini sangat bermanfaat bagi perkembangan sastra itu sendiri, untuk mengetahui mutu dan nilai sastra, dan untuk mendorong semangat emosional sastrawan, dalam hal ini pembuat karya sastra untuk menciptakan karya yang lebih baik lagi.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu interpretasi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab dalam mendapatkan mata kuliah Naqd Adab II (Kritik Sastra). Selain itu, klarifikasi ringkas wacana macam-macam metode kritik sastra ini berusaha memperlihatkan dorongan kepada peminat dan penikmat sastra untuk mengetahui sebebarapa banyak pendekatan yang dilakukan kritik untuk meningkatkan nilai sebuah karya sastra.
Untuk mengetahui nilai sebuah karya sastra dan legalisasi masyarakat peminat sastra terhadap karya sastra itu, sangatlah dibutuhkan bebarapa metode atau pendekatan kritik. Dalam karya sastra, sebagai teladan puisi, yang mempunyai bahasa fiksi yang sangat kuat sehingga tidak cukup dimengerti dengan pemikiran kecerdikan yang sederhana. Dibutuhkan daya imajinasi atau daya khayal untuk menembus bahasa yang disampaikan para pujangga dan atau penyair dan alhasil sanggup menyentuh makna yang sesungguhnya meskipun makna itu hanya bersifat subjektif.
BAB II
MACAM-MACAM METODE KRITIK SASTRA
Sebagaimana uraian pada penggalan pertama, pakar kritik sastra membagi kritik sastara menjadi lima metode pendekatan, dan metode pendekatan itu didasari oleh subjektivitas kritikus sastra (minat, latar belakang, dan kepakaran), adapun pendekatan kritik sastra yang lima itu yaitu, metode kritik sastra formalis, metode kritik respon pembaca, metode kritik feminis, metode kritik sosiologis, dan mentode kritik psikoanalisis.
A. Metode Pendekatan Kritik Sastra Formalis
Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) yaitu aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme masa ke-19 khususnya yang bekerjasama erat dengan puisi moderen Rusia yang beraliran futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola suara dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi target ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka yaitu perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan perjuangan membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, contohnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
Gerakan formalis, memang tidak sanggup disangkal, secara tidak pribadi telah menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang bahwasanya juga termasuk dalam studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga pengertian mengenai fiksi yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi atas bahasa sehari-hari. Hal demikian sanggup dipahami lantaran semenjak timbulnya pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia, bahasa yang terdapat dalam prosa menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling efektif untuk menciptakan massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para Formalis, bahasa demikian terang menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus terbuka.
Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang tertulis) sudah teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para poststrukturalis menyerupai Barthes atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai sebuah teks yang berjejak bukan hanya dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa momen, tetapi juga bahkan dari sisi diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan sebuah fakta yang juga terbentuk dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau kebiasaan.
B. Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca
Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari huruf pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
1. Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah yaitu publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing wacana sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir yaitu penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra supaya karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra yaitu studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel menyerupai halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar mempunyai satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan aneka macam interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
2. Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang supaya tertarik pada sastra yaitu panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah sempurna siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) yaitu medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra bekerjasama dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak sanggup dipisahkan lantaran masing-masing mempunyai kiprah dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) menyampaikan cakrawala keinginan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) kontradiksi antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya wacana kehidupan
Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra sanggup dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini sanggup diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini sanggup dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
1. The Real Rreader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan aneka macam sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang bahwasanya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi problem yaitu apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca bahwasanya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan kiprah pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
2. Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
a. Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer mempunyai tiga tipe, yaitu ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan kiprah pembaca yang tersimpan dalam teks.
b. Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit memperlihatkan secara sempurna dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang sanggup dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus mempunyai sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan sanggup memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan lantaran seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit menciptakan pernyatan apa pun wacana dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk wacana maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, diubahsuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan kini ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.
1. Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bantu-membantu aba-aba dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi komplemen terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memperlihatkan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
2. Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader yaitu (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang mempunyai pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang mempunyai kompetensi kesastraan.
3. Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan kiprah pembaca.
4. Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini mempunyai konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak sanggup diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang akseptor tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi problem siapa pembaca itu, tetapi yang terang pembaca tipe ini diberi proposal sebuah kiprah utama untuk dimainkan, yakni kiprah pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan kiprah pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur.
C. Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Abad 20, menyerupai pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era gres bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di aneka macam belahan dunia, perempuan mulai bangun mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di aneka macam bidang. Termasuk di bidang sastra.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan aneka macam pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melaksanakan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh lantaran itu, menyerupai dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama yaitu pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah usang diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan wacana sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan wacana tabiat serta pengalaman insan yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka supaya bisa mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.
Akan tetapi, perlu dicatat, menyerupai gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas aneka macam aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing mempunyai perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.
Hal ini kuat pula di dalam cara memandang, menilai, dan tetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh menyerupai Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf yaitu seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu sanggup saling mengisi, tapi sanggup bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.
Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, dll. Gynocritics melaksanakan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur goresan pena perempuan yang lebih menekanan perbedaannya dengan goresan pena laki-laki. kritik sastra feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji yaitu citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, menyerupai kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).
Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di aneka macam wilayah, berkat perjuangan para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, sesudah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris yaitu salah satu contohnya.
Angin segar itu contohnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara pria dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga ketika ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra.
Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal berdasarkan sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya pria untuk melihat bagaimana pria mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga ketika ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini gres sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini sepertinya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya dipakai sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
D. Metode Pendekatan Kritik Sastra Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra menerima imbas dari masyarakat dan memberi imbas terhadap masyarakat.
a. Konsep dan kriteria
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar badan karya sastra menyerupai latar belakang pengarang, imbas sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:
1. Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam tanda-tanda sosial tersebut.
2. Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.
3. Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang bisa merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya.
4. Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
b. Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melaksanakan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.
E. Metode Pendekatan Pisikologis
Pendekatan pisikologis yaitu pendekatan yang bertolak dari perkiraan bahwa karya sastra selalu membahas wacana kejadian kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami insan lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, insan mempunyai konflik kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang alhasil kuat dalam kehidupannya.
Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk menetahui lebih dalam wacana seluk beluk insan yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang berusaha mendalami problem pisikologi seiring dengan itu banyak penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan santunan pisikologi. Memang benar setiap permasalahan kehidupan insan sanggup dikembalikan kedalam teori-teori pisikologis.
Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah pendekatan Pisikologis dalam telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka menyerupai Jung, Adler, freud, dan Brill memperlihatkan infirasi yang cukup banyak wacana pemecahan masalah misrteri tingkah laris insan melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara pribadi berbicara wacana proses penciptaan seni sebagai tanggapan dari tekanan dan tinbunan problem dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
a. Konsepsi dan Kriteria Pisikoanalisis
Kritik psikoanalisis dilakukan berdasarkan psikologi yang ada dalam diri manusia. Dalam dirinya terdapat id, ego, dan super-ego yang mengakibatkan insan selalu berada dalam keadaan berperang dalam dirinya apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiganya. Akan tetapi ketiganya bekerjasama seimbang dan melahirkan tabiat yang wajar. Dalam metode pendekatan psikoanalisis kajian sastra yang diambil hanya bagian-bagian yang sesuai dengan teori psikoanalasis.
Berikut ini beberapa konsepsi dasar kriteria yang dipakai dalam metode pendekatan psikoanalisis:
1. Karya sastra merupakan produk dari jiwa dan pemikiran pengarang yang berada dalam setengah sadar atau subconcius sesudah menerima bentuk yang terang secara sadar atau concious dalam bentuk penciptaan karya sastra.
2. Kualitas karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama, yaitu keadaan setengah sadar di bawah alam sadar kepada tingkat kedua, yaitu dibawah keadaan sadar.
3. Menurut metode psikoanalisis, karya yang berkualitas yaitu karya sastra yang bisa menyajikan simbol, wawasan, kepercayaan, tradisi, moral, budaya dan lain-lain.
4. Karya sastra berdasarkan metode psikoanalisis yaitu karya sastra yang bisa menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia.
5. Kebebasan sastrawan atau pembuat karya sastra sangat dihargai. Dia mempunyai kebebasan yang istimewa, yaitu berupaya mengkongkritkan gejolak batin yang ada dalam dirinya.
b. Metode atau Langkah
Freud menyampaikan dalam teori psikoanalisisnya bahwa dalam mengarang, sastrawan diserang oleh penyakit jiwa yang disebut ‘neurosis’ bahkan hingga ‘psikosis’ menyerupai sakit mental. Berikut ini digambarkan metode atau langkah kerja pendekatan atau metode psikologis.
1. Metode psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi intrinsik maupun segi ekstrinsik. Namun metode ini lebih ditekankan pada segi intrinsik sesuai dengan penokohan atau perwatakan.
2. Segi ekstrinsik perlu dibahas yang menyangkut dengan permasalah jiwanya. Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam huruf dongeng atau karya sastra yang ditulisnya.
3. Di samping menganalisis perwatakan dalam segi psikologis, mengurai wacana tema karya sastra itu sendiri juga perlu dilakukan.
4. Analisis sanggup diteruskan kepada analisis kesan pembaca, lantaran karya sastra sangat kuat dalam respon pembaca yang menjadikan kesan pada pembaca dan berdampak didaktis bagi dirinya.
c. Kekuatan dan Kelemahan Metode Psikoanalisis.
Melalui pendekatan psikologi, sanggup menjadikan kesan bahwa pendekatan ini menjurus pada pemanfaatan ilmu jiwa yang rumit, abnormal dan kompleks. Sungguh meskipun begitu, metode psikoanalisis ini mempunyai kekuatan, yaitu:
1. Sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan.
2. Metode ini memberi timbal balik kepada penulis atau sastrawan wacana problem perwatakan yang dikembangkannya.
3. Sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, atau abnormal dan alhasil sanggup membantu pembaca memahami karya sastra semacam itu.
Metode ini juga mempunyai kelemahan dalam menerapkannya dalam kritik sastra. Kelemahan tersebut sanggup digarisbesarkan sebagai berikut:
1. Mengharuskan kritikus untuk mengetahui ilmu kejiwaan.
2. Banyak hal yang abnormal yang sukar dipecahkan wacana sikap dan motif tindakan.
3. Sukar diketahui kaitan tindakan yang satu dengan yang lain, lantaran dalam dongeng kadang tokoh itu ‘mati’.
4. Tidak gampang mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh itu merupakan pengalaman pengarang pribadi atau bukan.
5. Metode ini lebih gampang kalau seorang pengarang menulis jujur sesuai dengan penglaman hidup dan karakternya, lantaran kalau pengarang tidak jujur dalam menciptakan karyanya, maka kajian wacana riwayat hidup pengarang pun tidak ada gunanya.
6. Sampai ketika ini teori yang dikemukakan Freud belum sanggup dibuktikan secara saintifik dan masih banyak hal yang bersifat metafor dan merupakan misteri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kritik sastra sangat bermanfaat dalam dunia sastra. Kritik sastra menjadi perantara komunikasi dan apresisasi antara pengarang dan pembaca. Dari semua itu, landasan yang diambil pun kemudian menjadi sebuah penentu, dimana dalam mencari nilai karya sastra haruslah ada satu alat yang secara menentu dan mendetail menguak semua unsur yang ada di dalam karya sastra dan unsur yang ada di luar karya sastra.
Para andal kritik membagi beberapa metode atau pendekatan kritik sastra menjadi lima, yaitu pendekatan formalis, respon pembaca, feminis, sosiologis, dan psikoanalisis.
B. Saran
Demikianlah makalah ini diususn dengan kemampuan yang terbatas. Namun tak ada salahnya kalau kita mempelajari teori pendekatan ini lebih mendalam dan melaksanakan uji coba terhadap karya sastra di sekeliling kita.
DAFTAR ISI
Atar Semi, M. Pror. Drs. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit ANGKASA Bandung.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustakan Utama.
Hardiyana, Andre. 1994. Kritk Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Purtaka Utama.
Yusuf, Suhendra. Drs. MA. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia akademik, istilah kritik sering sekali bersandingan dengan seni baik itu seni sastra, seni rupa, seni pertunjukan dan seni film. Kritik sastra khususnya berfungsi sebagai penilai atau judgement dalam menentukan nilai (baik, cukup, kurang) sebuah karya sastra. Kritik sastra juga memperbanyak pengetahuan dan pemahaman publik terhadap karya sastra.
Bagi pembaca, kritik sastra berfungsi tiga hal, yaitu sebagai berikut:
1. Membantu pembaca yang kesulitan memahami karya sastra.
2. Membantu pembaca menentukan yang terbaik dari sejumlah alternatif bacaan.
3. Membantu pembaca menilai sebuah karya sastra.
Kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial sangat dibutuhkan untuk memahami sebuah karya sastra. Dengan kedua hal itu, kita sanggup menyadari bahwa hidup itu sangatlah kompleks sehingga kita semakin menghargai terhadap perbedaan.
Dengan demikian, kritik sastra sangat dibutuhkan untuk membantu perkembangan sastra itu sendiri. Namun, dalam dunia sastra terdapat banyak sekali karya yang berbeda jenis ataupun bentuknya, menyerupai puisi, sajak, cerpen, novel, drama, dan yang lain sebagainya membutuhkan media kritik yang berbeda-beda. Tidak hanya di setiap jenis atau bentuk karya sastra, dalam satu jenis karya sastra pun dibutuhkan beberapa metode kritik. Ini dimaksudkan untuk mengetahui secara benar nilai sastra tersebut.
Di dalam makalah ini, penulis akan memaparkan secara ringkas wacana macam-macam metode kritk sastra. Seluruh metode ini sangat bermanfaat bagi perkembangan sastra itu sendiri, untuk mengetahui mutu dan nilai sastra, dan untuk mendorong semangat emosional sastrawan, dalam hal ini pembuat karya sastra untuk menciptakan karya yang lebih baik lagi.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu interpretasi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab dalam mendapatkan mata kuliah Naqd Adab II (Kritik Sastra). Selain itu, klarifikasi ringkas wacana macam-macam metode kritik sastra ini berusaha memperlihatkan dorongan kepada peminat dan penikmat sastra untuk mengetahui sebebarapa banyak pendekatan yang dilakukan kritik untuk meningkatkan nilai sebuah karya sastra.
Untuk mengetahui nilai sebuah karya sastra dan legalisasi masyarakat peminat sastra terhadap karya sastra itu, sangatlah dibutuhkan bebarapa metode atau pendekatan kritik. Dalam karya sastra, sebagai teladan puisi, yang mempunyai bahasa fiksi yang sangat kuat sehingga tidak cukup dimengerti dengan pemikiran kecerdikan yang sederhana. Dibutuhkan daya imajinasi atau daya khayal untuk menembus bahasa yang disampaikan para pujangga dan atau penyair dan alhasil sanggup menyentuh makna yang sesungguhnya meskipun makna itu hanya bersifat subjektif.
BAB II
MACAM-MACAM METODE KRITIK SASTRA
Sebagaimana uraian pada penggalan pertama, pakar kritik sastra membagi kritik sastara menjadi lima metode pendekatan, dan metode pendekatan itu didasari oleh subjektivitas kritikus sastra (minat, latar belakang, dan kepakaran), adapun pendekatan kritik sastra yang lima itu yaitu, metode kritik sastra formalis, metode kritik respon pembaca, metode kritik feminis, metode kritik sosiologis, dan mentode kritik psikoanalisis.
A. Metode Pendekatan Kritik Sastra Formalis
Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) yaitu aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme masa ke-19 khususnya yang bekerjasama erat dengan puisi moderen Rusia yang beraliran futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola suara dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi target ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka yaitu perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan perjuangan membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, contohnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
Gerakan formalis, memang tidak sanggup disangkal, secara tidak pribadi telah menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang bahwasanya juga termasuk dalam studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga pengertian mengenai fiksi yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi atas bahasa sehari-hari. Hal demikian sanggup dipahami lantaran semenjak timbulnya pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia, bahasa yang terdapat dalam prosa menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling efektif untuk menciptakan massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para Formalis, bahasa demikian terang menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus terbuka.
Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang tertulis) sudah teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para poststrukturalis menyerupai Barthes atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai sebuah teks yang berjejak bukan hanya dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa momen, tetapi juga bahkan dari sisi diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan sebuah fakta yang juga terbentuk dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau kebiasaan.
B. Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca
Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari huruf pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
1. Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah yaitu publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing wacana sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir yaitu penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra supaya karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra yaitu studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel menyerupai halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar mempunyai satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan aneka macam interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
2. Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang supaya tertarik pada sastra yaitu panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah sempurna siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) yaitu medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra bekerjasama dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak sanggup dipisahkan lantaran masing-masing mempunyai kiprah dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) menyampaikan cakrawala keinginan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) kontradiksi antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya wacana kehidupan
Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra sanggup dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini sanggup diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini sanggup dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
1. The Real Rreader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan aneka macam sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang bahwasanya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi problem yaitu apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca bahwasanya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan kiprah pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
2. Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
a. Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer mempunyai tiga tipe, yaitu ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan kiprah pembaca yang tersimpan dalam teks.
b. Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit memperlihatkan secara sempurna dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang sanggup dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus mempunyai sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan sanggup memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan lantaran seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit menciptakan pernyatan apa pun wacana dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk wacana maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, diubahsuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan kini ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.
1. Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bantu-membantu aba-aba dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi komplemen terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memperlihatkan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
2. Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader yaitu (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang mempunyai pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang mempunyai kompetensi kesastraan.
3. Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan kiprah pembaca.
4. Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini mempunyai konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak sanggup diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang akseptor tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi problem siapa pembaca itu, tetapi yang terang pembaca tipe ini diberi proposal sebuah kiprah utama untuk dimainkan, yakni kiprah pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan kiprah pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur.
C. Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Abad 20, menyerupai pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari Amerika, sebagai era gres bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di aneka macam belahan dunia, perempuan mulai bangun mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di aneka macam bidang. Termasuk di bidang sastra.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan aneka macam pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melaksanakan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh lantaran itu, menyerupai dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama yaitu pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah usang diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan wacana sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan wacana tabiat serta pengalaman insan yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka supaya bisa mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.
Akan tetapi, perlu dicatat, menyerupai gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas aneka macam aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing mempunyai perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.
Hal ini kuat pula di dalam cara memandang, menilai, dan tetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh menyerupai Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf yaitu seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu sanggup saling mengisi, tapi sanggup bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.
Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, dll. Gynocritics melaksanakan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur goresan pena perempuan yang lebih menekanan perbedaannya dengan goresan pena laki-laki. kritik sastra feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji yaitu citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, menyerupai kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).
Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di aneka macam wilayah, berkat perjuangan para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, sesudah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris yaitu salah satu contohnya.
Angin segar itu contohnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara pria dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga ketika ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra.
Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal berdasarkan sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya pria untuk melihat bagaimana pria mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga ketika ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini gres sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini sepertinya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya dipakai sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
D. Metode Pendekatan Kritik Sastra Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra menerima imbas dari masyarakat dan memberi imbas terhadap masyarakat.
a. Konsep dan kriteria
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar badan karya sastra menyerupai latar belakang pengarang, imbas sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:
1. Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam tanda-tanda sosial tersebut.
2. Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.
3. Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang bisa merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya.
4. Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
b. Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melaksanakan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.
E. Metode Pendekatan Pisikologis
Pendekatan pisikologis yaitu pendekatan yang bertolak dari perkiraan bahwa karya sastra selalu membahas wacana kejadian kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami insan lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, insan mempunyai konflik kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang alhasil kuat dalam kehidupannya.
Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk menetahui lebih dalam wacana seluk beluk insan yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang berusaha mendalami problem pisikologi seiring dengan itu banyak penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan santunan pisikologi. Memang benar setiap permasalahan kehidupan insan sanggup dikembalikan kedalam teori-teori pisikologis.
Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah pendekatan Pisikologis dalam telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka menyerupai Jung, Adler, freud, dan Brill memperlihatkan infirasi yang cukup banyak wacana pemecahan masalah misrteri tingkah laris insan melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara pribadi berbicara wacana proses penciptaan seni sebagai tanggapan dari tekanan dan tinbunan problem dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
a. Konsepsi dan Kriteria Pisikoanalisis
Kritik psikoanalisis dilakukan berdasarkan psikologi yang ada dalam diri manusia. Dalam dirinya terdapat id, ego, dan super-ego yang mengakibatkan insan selalu berada dalam keadaan berperang dalam dirinya apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiganya. Akan tetapi ketiganya bekerjasama seimbang dan melahirkan tabiat yang wajar. Dalam metode pendekatan psikoanalisis kajian sastra yang diambil hanya bagian-bagian yang sesuai dengan teori psikoanalasis.
Berikut ini beberapa konsepsi dasar kriteria yang dipakai dalam metode pendekatan psikoanalisis:
1. Karya sastra merupakan produk dari jiwa dan pemikiran pengarang yang berada dalam setengah sadar atau subconcius sesudah menerima bentuk yang terang secara sadar atau concious dalam bentuk penciptaan karya sastra.
2. Kualitas karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama, yaitu keadaan setengah sadar di bawah alam sadar kepada tingkat kedua, yaitu dibawah keadaan sadar.
3. Menurut metode psikoanalisis, karya yang berkualitas yaitu karya sastra yang bisa menyajikan simbol, wawasan, kepercayaan, tradisi, moral, budaya dan lain-lain.
4. Karya sastra berdasarkan metode psikoanalisis yaitu karya sastra yang bisa menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia.
5. Kebebasan sastrawan atau pembuat karya sastra sangat dihargai. Dia mempunyai kebebasan yang istimewa, yaitu berupaya mengkongkritkan gejolak batin yang ada dalam dirinya.
b. Metode atau Langkah
Freud menyampaikan dalam teori psikoanalisisnya bahwa dalam mengarang, sastrawan diserang oleh penyakit jiwa yang disebut ‘neurosis’ bahkan hingga ‘psikosis’ menyerupai sakit mental. Berikut ini digambarkan metode atau langkah kerja pendekatan atau metode psikologis.
1. Metode psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi intrinsik maupun segi ekstrinsik. Namun metode ini lebih ditekankan pada segi intrinsik sesuai dengan penokohan atau perwatakan.
2. Segi ekstrinsik perlu dibahas yang menyangkut dengan permasalah jiwanya. Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam huruf dongeng atau karya sastra yang ditulisnya.
3. Di samping menganalisis perwatakan dalam segi psikologis, mengurai wacana tema karya sastra itu sendiri juga perlu dilakukan.
4. Analisis sanggup diteruskan kepada analisis kesan pembaca, lantaran karya sastra sangat kuat dalam respon pembaca yang menjadikan kesan pada pembaca dan berdampak didaktis bagi dirinya.
c. Kekuatan dan Kelemahan Metode Psikoanalisis.
Melalui pendekatan psikologi, sanggup menjadikan kesan bahwa pendekatan ini menjurus pada pemanfaatan ilmu jiwa yang rumit, abnormal dan kompleks. Sungguh meskipun begitu, metode psikoanalisis ini mempunyai kekuatan, yaitu:
1. Sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan.
2. Metode ini memberi timbal balik kepada penulis atau sastrawan wacana problem perwatakan yang dikembangkannya.
3. Sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, atau abnormal dan alhasil sanggup membantu pembaca memahami karya sastra semacam itu.
Metode ini juga mempunyai kelemahan dalam menerapkannya dalam kritik sastra. Kelemahan tersebut sanggup digarisbesarkan sebagai berikut:
1. Mengharuskan kritikus untuk mengetahui ilmu kejiwaan.
2. Banyak hal yang abnormal yang sukar dipecahkan wacana sikap dan motif tindakan.
3. Sukar diketahui kaitan tindakan yang satu dengan yang lain, lantaran dalam dongeng kadang tokoh itu ‘mati’.
4. Tidak gampang mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh itu merupakan pengalaman pengarang pribadi atau bukan.
5. Metode ini lebih gampang kalau seorang pengarang menulis jujur sesuai dengan penglaman hidup dan karakternya, lantaran kalau pengarang tidak jujur dalam menciptakan karyanya, maka kajian wacana riwayat hidup pengarang pun tidak ada gunanya.
6. Sampai ketika ini teori yang dikemukakan Freud belum sanggup dibuktikan secara saintifik dan masih banyak hal yang bersifat metafor dan merupakan misteri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kritik sastra sangat bermanfaat dalam dunia sastra. Kritik sastra menjadi perantara komunikasi dan apresisasi antara pengarang dan pembaca. Dari semua itu, landasan yang diambil pun kemudian menjadi sebuah penentu, dimana dalam mencari nilai karya sastra haruslah ada satu alat yang secara menentu dan mendetail menguak semua unsur yang ada di dalam karya sastra dan unsur yang ada di luar karya sastra.
Para andal kritik membagi beberapa metode atau pendekatan kritik sastra menjadi lima, yaitu pendekatan formalis, respon pembaca, feminis, sosiologis, dan psikoanalisis.
B. Saran
Demikianlah makalah ini diususn dengan kemampuan yang terbatas. Namun tak ada salahnya kalau kita mempelajari teori pendekatan ini lebih mendalam dan melaksanakan uji coba terhadap karya sastra di sekeliling kita.
DAFTAR ISI
Atar Semi, M. Pror. Drs. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit ANGKASA Bandung.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustakan Utama.
Hardiyana, Andre. 1994. Kritk Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Purtaka Utama.
Yusuf, Suhendra. Drs. MA. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.