Prinsip Produksi Dalam Islam
Pendahuluan
Produksi ialah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini sejak insan menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban insan dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya insan dengan alam.[1] Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka acara ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa acara produksi melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi menggambarkan korelasi antar jumlah input dengan output yang sanggup dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu.[2] Dalam teori produksi memperlihatkan klarifikasi wacana sikap produsen wacana sikap produsen dalam memaksimalkan manfaatnya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk[3] pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.
Prinsip-prinsip Produksi
Pada prinsipnya acara produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh acara produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan) demiian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah tersebut. Di bawah ini ada beberapa implikasi mendasar bagi acara produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain :
Seluruh acara produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami[4]
Sejak dari acara mengorganisisr faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992) menyampaikan ”perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan taktik pasarnya”. Produksi barag dan jasa yang sanggup merusak moralitas dan menjauhkan insan dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandng bermanfaat untuk mnecapai falah, yaitu : 1. kehidupan, 2. harta, 3. kebenaran, 4. ilmu pengetahuan dan 5. kelangsungan keturunan. Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (dharuriyah, hajjiyah dan tahsiniyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya.
Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan
Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga nerhak menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Kaprikornus produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen (staock holders) saja tapi juga masyarakat secara keseluruhan (stake holders). Pemerataan manfaat dan laba produksi bagi keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama acara ekonomi.
Permasalahan ekonomi muncul bukan saja lantaran kelangkaan tetapi lebih kompleks.[5]
Masalah ekonomi muncul bukan lantaran adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan insan saja, tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupunmanusia. Sikap terserbut dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai kezaliman atau pengingkaran terhadap nikmat Allah[6]. Hal ini akan membawa implikasi bahwa prinsip produksi bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas ialah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka dedikasi insan kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif Islam bersifat alturistik sehingga produsen tidak hanya mengejar keuntungan maksimum saja. Produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan anutan Islam yaitu falah didunia dan akhirat. Kegiatan produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat. Prinsip pokok produsen yang Islami yaitu : 1. mempunyai janji yang penuh terhadap keadilan, 2. mempunyai dorongan untuk melayani masyarakat sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini , 3. meningkatkan secara optimal laba diperkenankan dengan batasan kedua prinsip di atas.
Ayat Al-Qur’an wacana Prinsip Produksi
Ayat yang berkaitan dengan faktor produksi Tanah dalam Surat As-Sajdah : 2
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bergotong-royong kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, kemudian kami tumbuhkan dengan air hujan itu tumbuhan yang daripadanya makan binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?
Ayat diatas menjelaskan wacana tanah yang berfungsi sebagai penyerap air hujan dan akhirnya tumbuh tanaman-tanaman yang terdiri dari bermacam-macam jenis. Tanaman itu sanggup dimanfaatkan insan sebagai faktor produksi alam, dari tumbuhan tersebut juga dikonsumsi oleh binatang ternak yang pada akhirnya juga binatang ternak tersebut diambil manfaatnya (diproduksi) dengan berbgai bentuk menyerupai diambil dagingnya, susunya dan lain sebagaiya yang ada pada binatang ternak tersebut.
Ayat ini juga memperlihatkan kepada kita untuk berfikir dalam pemanfaatan sumber daya alam dan proses terjadinya hujan. Jelas sekali memperlihatkan adanya suatu siklus produksi dari proses turunnya hujan, tumbuh tanaman, menghasilkan dedunan dan buah-buahan yang segar sehabis di disiram dengan air hujan dan pada akhirnya diakan oleh insan dan binatang untuk konsumsi. Siklus rantai masakan yang berkesinambungan agaknya telah dijelskan secara baik dalam ayat ini. Tentunya puila harus disertai dengan prinsip efisiensi[7] dalam memanfaatkan seluruh batas kemungkinan produksinya.
Produksi ialah upaya atau acara untuk menambah nilai pada suatu barang. Arah acara ditujukan kepada upaya-upaya pengaturan yang sifatnya sanggup menambah atau membuat kegunaan (utility) dari suatu barang atau mungkin jasa. untuk melaksanakan acara produksi tersebut tentu saja perlu dibentuk suatu perencanaan yang menyangkut apa yang akan diproduksi, berapa anggarannya dan bagaimana pengendalian / pengawasannya. Bahkan harus perlu difikirkan, kemana hasil produksi akan didistribusikan, lantaran pendistribusian dalam bentuk penjualan hasil produksi pada akhirnya merupakan penunjang untuk kelanjutan produksi. Pada hakikatnya acara produksi akan sanggup dilaksanakan bila tersedia faktor-faktor produksi, antara lain yang paling pokok ialah berupa orang / tenaga kerja, uang / dana, bahan-bahan baik materi baku maupun materi pembantu dan metode.
Para andal ekonomi mendefinisikan produksi sebagai “menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi insan terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan” Atau bila kita artikan secara konvensional, produksi ialah proses menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan memakai sumber daya yang ada. Produksi tidak berarti membuat secara fisik sesuatu yang tidak ada, lantaran tidak seorang pun yang sanggup membuat benda. Oleh karenanya dalam pengertian andal ekonomi, yang sanggup dikerjakan insan hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut “dihasilkan”.
Kaprikornus dalam Islam, keberhasilan sebuah system ekonomi tidak hanya disandarkan pada segala sesuatu yang bersifat materi saja, tapi bagaimana semoga setiap aktifitas ekonomi termasuk produksi, bisa menerapkan nilai-nilai, norma, etika, atau dengan kata lain ialah tabiat yang baik dalam berproduksi. Sehingga tujuan kemaslahatan umum bisa tercapai dengan aktifitas produksi yang sempurna.
Ayat yang berkaitan dengan faktor produksi Tenaga Kerja dalam Surat Huud : 61
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. beliau Telah membuat kau dari bumi (tanah) dan mengakibatkan kau pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat erat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Kata kunci dari faktor produksi tenaga kerja terdapat dalam kata wasta’marakum yang berarti pemakmur. Manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini diperlukan oleh Allah untuk menjadi pemakmur bumi dalam pemanfaatan tanah dan alam yang ada. Kata pemakmur mengindikasikan untuk selalu menajdikan alam ini makmur dan tidak menjadi penghabis (aakiliin) atau perusak alam (faasidiin). Manusia dengan akalnya yang tepat telah diperintahkan oleh Allah untuk dpaat terus mengoleh alam ini bagi kesinambungan alam itu sendiri, dalam hal ini nampaklah segala macam acara produksi amat bergantung kepada siapa yang memproduksi (subyek) yang diperlukan dpat menjadi pengolah alam ini menuju kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ayat yang berkaitan dengan faktor produksi Modal dalam Surat Al-Baqarah : 272
Bukanlah kewajibanmu mengakibatkan mereka menerima petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kau nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kau sendiri. dan janganlah kau membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kau nafkahkan, pasti kau akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kau sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
Modal sangat penting dalam acara produksi baik yang bersifat tangible asset maupun intangible asset. Kata apa saja harta yang baik memperlihatkan bahwa insan diberi modal yang cukup oleh Allah untuk sanggup melaksanakan acara pemenuhan kebutuhannya secara materi. Modal sanggup pula memperlihatkan makna segala sesuatu yang dipakai dan tidak habis, untuk diputarkan secara ekonomi dengan cita-cita dari modal tersebut menghasilkan hasil yang lebih, dari hasil yang lebih tersebut terus diputar hingga pada pencapaian laba yang maksimal (profit) dari modal yang kita miliki yang pada akhirnya tercapailah suatu optimalisasi dari modal tersebut.
Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai dukungan dengan penuh kerelaan. Kemudian bila mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) dukungan itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Hadits yang berkaitan dengan prinsip produksi.
HR Bukhari Muslim – “Tidak ada yang lebih baik dari seseorang yang memakan makanan, kecuali bila masakan itu diperolehnya dari hasil jerih payahnya sendiri. Jika ada seseorang di antara kau mencari kayu bakar, kemudian mengumpulkan kayu itu dan mengikatnya dengan tali lantas memikulnya di punggungnya, sesungguhnya itu lebih baik ketimbang meminta-minta kepada orang lain.”
HR Thabrani dan Dailami – “Sesunggguhnya Allah sangat suka melihat hamba-Nya yang berusaha mencari rezeki yang halal”
HR Thabrani – “Berusaha mencari rezeki halal ialah wajib bagi setiap muslim”
Hadit diatas menjelaskan wacana prinsip produksi dalam Islam yang berusaha mengolah materi baku (dalam hal ini kayu bakar) untuk sanggup dipakai untuk penyulut api (kompor pemanas makanan) dan dari kompor yang dipanaskan oleh kayu bakar ini menghasilkan suatu masakan yang sanggup dikonsumsi. Nampaklah bahwa terjadi siklus produksi dari pemanfaatan input berupa kayu bakar yang melalui proses sedemikian rupa berupa pemanasan masakan yang pada akhirnya menghasilkan output berupa masakan yang sanggup dikonsumsi oleh manusia.
HR Bukhari – Nabi mengatakan, “Seseorang yang mempunyai sebidang tanah harus menggarap tanahnya sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, beliau harus memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila kedua-duanya tidak beliau lakukan – tidak digarap, tidak pula diberikan kepada orang lain untuk mengerjakannya – maka hendaknya dipelihara/dijaga sendiri. Namun kami tidak menyukai hal ini.”
Hadits tersebut memperlihatkan penjelasn wacana pemanfaatan faktor produksi berupa tanah yang merupakan faktor penting dalam produksi . Tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW lantaran tidak bermanfaat bagi sekelilingnya. Hendaklah tanah itu diagrap untuk sanggup ditanami flora dan tumbuhan yang sanggup dipetik hasilnya saat panen dan untuk pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, penggarapan bisa dilakukan oleh si empunya tanah atau diserahkan kepada orang lain.
Kesimpulan
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka acara ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa acara produksi melibatkan banyak faktor produksi. Beberapa implikasi mendasar bagi acara produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain : Seluruh acara produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami, acara produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul bukan saja lantaran kelangkaan tetapi lebih kompleks.
Prinsip mendasar yang harus diperhatikan produksi ialah prinsip kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sisitem ekonimi kapitalis terdapat ajakan untuk memproduksi barang dan jasa yang didasarkan pada asas kesejahteraan ekonomi. Dalam Islam kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa hal itu tidak sanggup mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut dilema moral, pendidikan, agama dan banyak hal lainnya. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dengan uang sebagaimana Profesor Pigou Kesejahteraan ekonomi kira-kira sanggup didefinisikan sebagai potongan kesejahteraan yang sanggup dikaitkan dengan alat pengukuran uang. Karena kesejahteraan Ekonomi modern bersifat materialisme.
Dalam sistem produksi Islam, kesejahteraan ekonomi dipakai dengan cara yang lebih luas. Kesejahteraan Ekonomi dalam Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang berfaedah melalui pemanfatan sumberdaya secara maksimum baik insan maupun benda. Dengan demikian perbaikan produksi ekonomi dalam islam tidak hanya meningkatnya pendapatan yang daopat diukur dari segi uang, tetapi perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan dengan perjuangan minimal tetapi tetap mempertahankan tuntutan dalam perintah Islam mengenai konsumsi.
Lebih spesifiknya sistem produksi dalam Islam baik dalam Negara Islam harus dikendalikan oleh criteria obyektif maupun subyektif, criteria obyektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang sanggup diukur dari segi uang dan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yamg sanggup diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah Allah dalam kitab suci Al Qur’an.
Ekonomi dalam Islam ialah ilmu yang mempelajari segala prilaku insan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian & kesejahteraan dunia-akhirat).
Kata Islam sehabis Ekonomi dalam ungkapan Ekonomi Islam berfungsi sebagai identitas tanpa menghipnotis makna atau definisi ekonomi itu sendiri. Karena definisinya lebih ditentukan oleh perspektif atau lebih tepat lagi worldview yang dipakai sebagai landasan nilai.
Pada tingkat tertentu info definisi Ekonomi Islam sangat terkait sekali dengan wacana Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) Science dalam Islam lebih dimaknakan sebagai segala pengetahuan yang terbukti kebenarannya secara ilmiah yang bisa mendekatkan insan kepada Allah SWT (revelation standard – kebenaran absolut). Sedangkan Science dikenal luas dalam dunia konvensional ialah segala ilmu yang memenuhi kaidah-kaidah metode ilmiah (human creation – kebenaran relatif).
Prilaku insan disini berkaitan dengan landasan-landasan syariat sebagai acuan berprilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Dan dalam ekonomi Islam, kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing hingga terbentuklah sebuah prosedur ekonomi yang khas dengan dasar-dasar nilai Ilahiyah.
[1] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada), 2007, hal.102
[2] A production function dewscribes the relationship between the quantity of output obtainable per period on time, lihat di Arthur Thompson and John, Formby, Economics of the Firm : Theory and practice, (New Jersey : Prentice Hall, 1993)
[3] Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Bangkit Daya Insana), 1995, hal. 4
[4] Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta : Jalasutra), 2003, hal. 156
[5] Ibid., hal. 157-158
[6] Lihat contohnya pada Al-Qur’an Surat Ibrahim 32-34 :32.Allah-lah yang Telah membuat langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian beliau mengeluarkan dengan air hujan itu aneka macam buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan beliau Telah menundukkan perahu bagimu supaya perahu itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan beliau Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.33. Dan beliau Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang. 34. Dan beliau Telah memperlihatkan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kau mohonkan kepadanya. dan bila kau menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kau menghinggakannya. Sesungguhnya insan itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
[7] Konsep efisiensi sanggup dirasakan secara intuitif. Contoh keadaan tidak efisien ialah masyarakat yang tidk memanfaatkan sepenuhnya batas kemungkinan produksinya. Misalnya orang membawa hasil produksinya ke pasar untuk ditukarkan dengan barang orang lain, setiap kali terjadi pertukaran maka nilai guna barang kedua pihak akan naik, bila semua kemungkinan pertukaran yang menguntungkan telah habis sehingga tidak ada lagi kenaikan nilai guna, maka sanggup dikatakan bahwa keadaan telah mencapai efisien.