Makalah Pendidikan Agama Islam
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Masyarakat modern yakni suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu daerah dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mukhtahir. Mereka mempunyai ciri-ciri antara lain: 1) bersifat rasional, mengutamakan logika pikiran daripada emosi. 2) berpikir untuk masa depan yang lebih jauh. 3) menghargai waktu. 4) bersikap terbuka, mendapatkan saran/masukan baik kritik, gagasan, dan perbaikan. 5) berfikir obyektif, melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya.
Manusia-manusia modern mempunyai sifat yang kebanyakan hanya mencondongkan dirinya pada segala sesuatu yang sifatnya yakni kebendaan atau duniawi. Sehingga, pada gilirannya mereka akan dilanda kegersangan mental atau krisis spiritualitas. Mereka pada akhirnya mulai mencari jatidirinya sebagai insan yang hidup di muka bumi. Karena apakah mereka ada di dunia? Untuk apakah mereka hidup di dunia? Apakah yang akan terjadi pada mereka sesudah mereka meninggalkan dunia, atau tak lagi sanggup menikmati dunia?
Berbagai spekulasi kemudian mulai bermunculan menaggapi pertanyaan-pertanyaan di atas. Para penganut paham Darwinisme, yaitu orang-orang yang berkiblat pada Teori Evolusi Darwin, menganggap bahwa manusia, beserta segala alam semesta ini yakni terlahir dari suatu proses yang sepenuhnya terjadi secara kebetulan. Mereka beranggapan bahwa insan sendiri yakni suatu hasil evolusi dari makhluk sejenis kera, yang kemudian berkembang mencapai wujud yang lebih sempurna. Karena menganggap insan sejajar dengan hewan, maka bagi mereka yang terpenting bagi manuisa yakni terpenuhinya segala kebutuhan dan hawa nafsu. Norma dan kesusilaan tidak diperlukan, bahkan menganggap agama sebagai suatu kebodohan.
Mereka yang tidak oke dengan anggapan ini, mulai mencari-cari kebenaran yang sejati, yang mana benar-benar mengantarkan mereka untuk mengetahui bagaimana hakekat insan yang sebenarnya. Mereka pun berbondong-bondong mencari kesegaran yang mengobati kegersangan hati mereka yang sudah akut, lantaran sudah menyadari pentingnya aspek spiritualisme dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, yang paling dibutuhkan mereka yakni suatu petunjuk yang bisa mengantarkan mereka menuju pemahaman akan hakekat dan kedudukan mereka di dunia.
Sesungguhnya, Islam yakni tanggapan dari segala pertanyaan di atas. Dengan petunjuk pribadi dari yang membuat insan itu sendiri, insan tidak hanya diberikan klarifikasi tuntas wacana asal-usul penciptaannya serta hakekat kedudukannya di muka bumi, tetapi juga petunjuk bagaimana menjalani kehidupan di muka bumi ini dan bagaimana mencapai kebahagiaan yang hakiki. Inilah agama yang Hak, satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan obat bagi krisis spiritualitas akut yang didamba-dambakan oleh mereka yang terjebak dalam kehidupan materialisme dan hedonisme.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah hakekat insan dalam pandangan Islam?
2. Bagaimanakah keberadaan dan martabat insan di hadapan Allah SWT?
3. Bagaimanakah tanggung jawab insan di dunia sebagai khalifah dan sekaligus sebagai hamba Allah SWT?
I.3 TUJUAN MAKALAH
1. Memahami hakekat insan berdasarkan fitrahnya, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an.
2. Memahami sifat-sifat insan serta kedudukannya di sisi Tuhan.
3. Memahami peran-peran insan sebagai khalifah di bumi, sekaligus kewajibannya menghamba kapada Allah SWT, serta bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
• Penciptaan Manusia Dari Dua Unsur
Manusia dalam pandangan kebendaan (materialis) hanyalah merupakan sekepal tanah di bumi. Dari bumi asal kejadiannya, di bumi dia berjalan, dari bumi dia makan dan ke dalam bumi dia kembali. Dari tanah, kembali menjadi tanah. Manusia dalam pandangan kaum materialism, tidak lebih dari kumpulan daging, darah, urat, tulang, urat-urat darah dan alat pencernaan. Akal dan pikiran, dianggapnya barang benda yang dihasilkan oleh otak. Pandangan mereka hanya hingga benda, dan hanya mempercayai benda-benda yang sanggup diraba. Maka oleh lantaran itu dalam anggapan mereka, tidak ada keistimewaan insan dibandingkan dengan makhluk lain yang hidup di muka bumi ini, bahkan dimasukannya ke dalam bangsa kera, yang sesudah melalui masa panjang, menjelma insan sebagaimana kita lihat kini ini. Ini yakni Teori Evolusi atau Teori Desendesi, bahwa hayat berasal dari makhluk satu sel. Dia berevolusi ke dua arah, yaitu binatang dan tanaman. Evolusi itu berlangsung setingkat demi setingkat membentuk sejuta jenis binatang dan sepertiga juta jenis tanaman. Binatang satu sel sebagai awal evolusi dan insan selesai (sementara) evolusi
Dalam pandangan orang yang beriman, insan itu makhluk yang mulia dan terhormat pada sisi Tuhan. Manusia diciptakan tuhan dalam bentuk yang amat baik. Sesudah ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya, para malaikat disuruh sujud (memberi hormat) kepadanya. Sebagaimana Allah S.W.T telah berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 28-29:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan membuat seorang insan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,”(28)
“maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kau padanya dengan bersujud’,”(29)
Dari proses kejadian dan asal insan berdasarkan Al-Qur’an itu, Ali Syari’ati, sejarawan dan jago sosiolog Islam, yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali, mengemukakan pendapatnya berupa interpretasi wacana hakekat penciptaan manusia. Menurut dia ada simbolisme dalam penciptaan dari tanah dan ruh (ciptaan) Allah. Maka simbolisnya yakni insan mempunyai dua dimensi (bi-dimensional): dimensi ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan. Makhluk lain hanya memppunayi satu dimensi saja (uni-dimensional).
Dalam pengertian simbolis, lumpur (tanah) hitam menunjuk pada keburukan, kehinaan yang tercermin pada dimensi kerendahan. Di samping itu, dimensi lain yang dimiliki insan yakni dimensi keIlahian yang tercermin dari perkataan ruh (ciptaan)-Nya itu. Dimensi ini memberikan pada kecenderungan insan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mencapai asal ruh (ciptaan) Allah dan atau Allah sendiri.
Karena hakekat penciptaan inilah maka insan pada suatu ketika sanggup mencapai derajat yang tinggi, tetapi pada ketika yang lain sanggup meluncur ke lembah yang dalam, hina dan rendah. Fungsi kebebasan insan untuk memilih, terbuka baik ke jalan Tuhan maupun sebaliknya, ke jalan kehinaan. Kehormatan dan arti penting manusia, dalam hubungan ini, terletak dalam kehendak bebasnya untuk menentukan arah hidupnya.
• Naluri Ketuhanan Manusia
Sifat insan tersebut, yang mana mempunyai kecenderungan untuk berTuhan telah dijelaskan oleh Allah S.W.T dalam surat Al-A’raf ayat 176:
“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang sedemikian itu) biar di hari selesai zaman kau tidak menyampaikan “sesungguhnya kami (bani Adam) yakni orang-oprang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Marilah kita berkaca pada cerita Nabiyullah Ibrahim sebagai cerminan, bagaimana dia merenungi keberadaan alam sebagai bukti akan adanya Tuhan yang telah menciptakannya.
Nabi Ibrahim lahir di negeri Babilon yang dikuasai oleh raja Namrudz, yang mana memerintahkan rakyatnya untuk menyembah berhala. Ayah nabi Ibrahim sendiri, yang berjulukan Azar yakni seorang pembuat berhala. Pada suatu ketika, sang raja bermimpi seorang anak tiba dan mengambil mahkotanya kemudian menghancurkannya. Ahli nujumnya menafsirkan mimpi tersebut bahwa akan lahir seorang bayi pria yang akan menghancurkan kekuasaannya. Akhirnya, raja Namrudz memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh tiap bayi pria yang lahir.
Pada waktu itu, ibu nabi Ibrahim sedang mengandung beliau. Untuk menyelamatkan anaknya, sang ibu tetapkan untuk bersembunyi di dalam sebuah gua dan melahirkan di sana. Selama bertahun-tahun, Nabi Ibrahim muda dibesarkan di dalam gua untuk menghindari kekejaman raja Namrudz.
Pada ketika dia telah bakir balig cukup akal dan keluar dari dalam gua, Nabi Ibrahim melihat betapa menakjubkannya alam semesta. Beliau bertanya-tanya dalam hati bagaimanakah hal itu bisa tercipta. Beliau juga merenungkan mengapa ayahnya serta kaumnya menyembah berhala yang dibentuk sendiri oleh ayahnya, dan menganggap berhala tersebut sebagai Tuhan. Menurut beliau, mustahil berhala yang tidak sanggup berbuat apa-apa tersebut layak dijadikan sesembahan.
Pada ketika dia melihat bintang yang terang, dia beranggapan bahwa bintang itulah Tuhan, lantaran ketinggian dan keindahannya. Tetapi pada ketika bintang tersebut terbenam, maka dia sadar bahwa Tuhan mustahil tenggelam. Kemudian dia melihat bulan. Beliaupun beranggapan bahwa bulan itulah Tuhan, lantaran lebih terang dan lebih besar dari bintang yang dilihatnya tersebut. Tetapi tatkala bulan juga terbenam, maka beliaupun menyadari bahwa Tuhan yakni sesuatu yang kekal, yang mustahil terbenam atau mati. Kemudian, beliaupun melihat matahari terbit. Matahari tersebut memancarkan sinar yang hangat dan terang, yang mana jauh melampaui bintang dan bulan yang telah dilihatnya. Beliaupun menyangka bahwa matahari tersebutlah Tuhan yang sesungguhnya. Akan tetapi, tatkala matahari juga terbenam, maka beliaupun menyadari bahwa matahari itu bukanlah Tuhan. Matahari, bagaimanapun besarnya, yakni sama dengan makhluk-makhluk lainnya, yang akhirnya terbenam atau mati. Tuhan diyakininya yakni sesuatu yang terlepas dari sifat-sifat tersebut. Tuhan yakni Dzat yang mengandalikan jalannya alam semesta beserta isinya.
Demikian itulah cerita Nabiyullah Ibrahim AS yang menjadi citra bagi kita bahwa insan terlahir dengan fitrahnya sebagai makhluk yang berTuhan. Di samping itu, alam semesta beserta isinya yakni bukti akan adanya Sang Pencipta.
II.2. EKSISTENSI DAN MARTABAT MANUSIA
• Kemuliaan Manusia
Manusia intinya tidak akan sanggup memahami wacana dirinya secara pasti, lantaran ketidakmungkinan insan untuk sanggup berdiri netral dan memandang dirinya dari luar dirinya sendiri. Pencipta atau pembuat dalam hal apapun akan lebih memahami barang ciptaannya. Demikian pula dengan manusia. Yang lebih mengetahui yakni sang pencipta insan itu sendiri. Ini berarti bahwa jikalau insan ingin mengetahui secara niscaya mengenai hakekat dirinya secara benar, maka hendaklah ia menanyakannya kepada penciptanya sendiri, yaitu Tuhan, Allah SWT.
Allah SWT membuat insan sebagai mahkluk yang mulia, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al- Baqarah ayat 34 :
“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘sujudlah kau kepada Adam, ‘Maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan yakni ia termasuk golongan orang-orang kafir,”.
Perintah Allah SWT kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam As, memberikan keagungan dan kemuliaan insan di sisi Allah SWT sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna. Malikat dan insan sama-sama diperintahkan oleh Allah SWT untuk senantiasa menghambat kepada-Nya, senantiasa beriman dan bertakwa, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya. Akan tetaapi malaikat dan insan tidaklah sama. Malaikat diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya, serta di sucikan dari segala bentuk hawa nafsu duniawi. Sedangkan manusia, yang mana diciptakan dari dua unsur, yaitu tanah dan ruh, disamping sifat ketaatannya insan juga dibekali oleh Allah SWT dengan logika pikiran dan hawa nafsu. Denga ndi bekali oleh hawa nafsu, maka keimanan insan tidak sanggup stabil sebagaimana keimanan para malaikat, lantaran hawa nafsu akan mendorong insan untuk condong pada kehidupan duniawi. Akan tetapi, apabila insan tetap menjaga keimanannya, maka keimanan insan akan lebih mulia di hadapan Allah SWT.
Kesempurnan penciptaan insan tersebut, oleh Allah SWT difirmankan dalam surat At-Tiin ayat 4 :
“Sesungguhnya Kami telah membuat insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”.
• Kedudukan Manusia yang sanggup lebih rendah dari hewan
Kemuliaan insan yang diberikan Allah SWT mirip yang disebutkan diatas, hanya berlaku apabila insan tetap memelihara keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Apabila keimanan dan ketakwaan tersebut tidak sanggup dijaga, bahkan insan ingkar dan mendurhakai Tuhannya, maka kedudukannya di sisi Allah SWT yakni lebih rendah dari pada hewan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 179 :
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah ), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai pendengaran (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu mirip binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai, “.
II.3. TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DAN HAMBA ALLAH
• Besarnya Tanggung Jawab Manusia
Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya yakni makhluk yang bertanggung jawab. Kenapa demikian, lantaran insan selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia mempunyai tuntutan yang besar untuk hidup bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks individual, sosial ataupun teologis. Menjalani kehidupan ini merupakan kewajiban yang sifatnya mutlak.
Tanggung jawab yakni ciri insan beradab (berbudaya) insan berasa bertanggung jawab bhwa ia menyadari akhir baik ataupun buruk perbuatannya,dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengorbanan atau pengbdian untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu di tempuh memlalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa terhadap Allah SWT.
Manusia itu berjuang untuk memenuhi keperluannya sendiri atau keperluan pihak lain.Untuk itu ia menghadapi insan lain dalam masyarakat atau menghadapi linkungan alam.Dalam usahanya itu juga insan menyadari bahwa ada kekutan lain yang ikut menentukan yaitu kekusaan Tuhan.Oleh lantaran itu tanggung jawab harus di miliki dalam setiap insan biar merka men yadari apa-apa yang harus di lakukan harus mempertanggung jawabkan semua yang telah di kerjakan.
Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 72:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanta kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya insan itu amat dzolim dan amat bodoh, “.
Dalam ayat diatas, dijelaskan bahwa insan mempunyai tanggung jawab yang amat berat. Yang bahkan langit, bumi, dan gunung-gunung pun enggan memikulnya. Akan tetapi, insan sering sekali menganggap remeh amanah yang dibebankan oleh Allah SWT tersebut. Padahal setiap amanat akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT kelak.
• Manusia sebagai Khalifah di Bumi
Allah SWT berfirman bahwa fungsi dan kiprah insan yakni sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah Ayat 30:
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya saya hendak menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi”, mereka berkata : “Mengapa engkau hendak menimbulkan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”. Allah berfirman : “Sesungguhnya saya mengetahui apa yang tidak kau ketahui”.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, khalifah berarti pimpinan umat. Menjadi pemimpin yakni fitrah setiap manusia. Namun lantaran satu dan lain hal, fitrah ini tersembunyi, terkontaminasi bahkan mungkin telah usang hilang. Akibatnya, banyak orang yang merasa dirinya bukan pemimpin. Mereka telah usang menyerahkan kendali hidupnya pada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Mereka perlu “dibangunkan” dan disadarkan akan besarnya potensi yang mereka miliki.
Kepemimpinan yakni suatu amanah yang diberikan Allah yang suatu ketika nanti harus kita pertanggungjawabkan. Karena itu siapa pun anda, di mana pun anda berada, anda yakni seorang pemimpin, minimal memimpin diri sendiri. Kepemimpinan yakni mengenai diri sendiri. Kepemimpinan yakni sikap kita sehari-hari. Kepemimpinan berkaitan dengan hal-hal sederhana mirip berbakti kepada orang tua, tidak berbohong, mengunjungi mitra yang sakit, bersilahturahmi dengan tetangga, mendengar keluh kesah sahabat, dan sebagainya.
Kepemimpinan (Leadership) yakni kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mensugesti orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laris sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sanggup dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan, yang mengakibatkan gerak dari warga masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 58-59 yang artinya :
”Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kau memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kau apabila tetapkan suatu aturan diantara insan supaya kau tetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatlah Allah dan RasulNya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu, kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu maka kembalilah kepada Al-Qur’an dan Hadits. Jika kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik risikonya bagimu”.
Di dalam Surat An-Nisa ayat 58-59 tersebut dijelaskan kriteria pemerintahan (kepemimpinan) yang baik, yaitu :
a. Pemerintah yang pemimpinnya memberikan amanat kepada yang berhak dan berlaku adil.
b. Musyawarah pada setiap problem dan apabila terjadi perselisihan maka hendaklah kembali kepada sumber aturan Islam.
c. Pemerintahan yang mempunyai sifat kooperatif antara rakyat dan pemerintah, rakyat harus patuh dan taat pada peraturan yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini baik dan benar dan pemerintah harus benar-benar menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat.
Setiap orang sebetulnya pemimpin. Setiap orang dapt mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, banyak yang tidak sadar akan kemampuannya tersebut. Maka untuk menjadi sadar ada tiga hal yang perlu dilakukan biar kita semua sadar akan kemampuan kita sebagai pemimpin, yaitu :
a. Memahami diri sendiri (Self Understanding)
Proses ini kita harus memahami dan mengenal diri kita. Untuk menjadi pemimpin kita harus sadar siapakah kita sebenarnya. Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya"
tanpa mengenali diri kita dengan benar ,maka sulit untuk menemukan makna kehidupan hidup yakni sebuah perjalanan melingkar, kita harus tahu siapa kita dan bagaimana kita seharusnya?
b. Kesadaran diri (Self Awareness)
Kesadran diri berarti sadar akan perasaan kita . Untuk menjadi pemompim kita harus melek emosi dan kita harus bisa mengenali dan mengindentifikasi-kan perasaan apapun yang sedang kita rasakan.
c. Pengendaalian diri (self Control)
Pengendalian diri berarti sadar sepenuhnya akan apa yang akak kita lakukan Ini adalh hasil dari kecerdasan emosi yang tinggi. Pengendalian diri gres sanggup terlihat ketika situsi yang sulit dan melibatkan emosi, sebagai pemimpin kita harus bisa mengendalikannya. Pemimpin yang bisa mengendalikan diri tidak akan termakan untuk melakukan dan memgambil sesuatu yang bukan haknya. Pengendalian duru juga ditunjukkan oleh keberanian seseorang untuk membuat komitmen dan melaksanakan komitmen tersebut.
• Fasilitas Bagi Masnusia Selaku Khalifah
Dalam melaksanakan kekhalifahannya, untuk menjalankan ajaran-ajaran Allah mirip yang dicontohkan nabi dan rasul, insan mendapatkan kemudahan alam semesta yang terus berputar, bergerak, tumbuh, dan berproses secara niscaya di bawah takdir Allah. Kepastian proses itu menimbulkan insan tak ragu untuk melaksanakan sesuatu sesuai pilihan masing-masing. Alam menyediakan kepastian tumbuhnya padi bila insan menanam padi. Alam menyediakan kepastian proses terciptanya hujan yang tidak pernah berubah. Alam juga tidak pernah mengubah kejadian molekul uap air yang merupakan adonan 2 hidrogen dan 1 oksigen.
Fasilitas alam semesta yang merupakan karunia Allah SWT tersebut, telah dijelaskan dalam surat Al-Jatsiyah ayat 12-13:
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal sanggup berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kau sanggup mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kau bersyukur,”(12)
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya opada yang dsemikian itu benar-benar terdapat gejala (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(13)
Segala yang ada di muka Bumi diadakan untuk manusia. Mulai dari atmosfer, gunung gunung, hujan, angin, miliaran jenis flora dan binatang, semuanya diciptakan Allah untuk melayani manusia. Di sini kita mencicipi betapa ada 'kesengajaan' yang sangat besar untuk menimbulkan bumi ini sebagai panggung drama kehidupan kita. Maka, untuk mendukung terjadinya kehidupan di muka Bumi ini secara tepat Allah membuat banyak sekali kemudahan kepada manusia.
Mulai dari bentuk Bumi yang bulat, kemiringannya yang 23,5 derajat, atmosfer yang tujuh lapis sebagai pelindung kehidupan, Bumi yang berotasi (berputar pada diri sendiri) dengan kecepatan lebih dari 1.600 km per jam, mau pun kecepatan revolusi (mengitari Matahari) yang sangat tinggi.
Demikian pula, air hujan yang terukur kadarnya, komposisi udara yang sangat khas, dan miliaran kemudahan lainnya yang sangat kompleks, terdapat di alam sekitar kita, temasuk tanam flora dan seluruh binatang di permukaan planet ini.
Dari semua fasilitas-fasilitas tersebut merupakan anugerah dan karunia Allah SWT sebagaimana yang telah difirmankan dalam surat Luqman ayat 20:
“Tidakkah kau perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara insan ada yang membantah wacana Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
• Manusia Sebagai Hamba Allah
Dengan bekal Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi manusia, kita menemukan bahwa nama Tuhan yakni Allah SWT. Kita juga sanggup mentukan tanggapan atas pertanyaan besar manusia, yaitu untuk apa insan hidup di dunia? Yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT secara total dalam kehidupan ini. Firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzaariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku,”.
Inilah alasan satu-satunya insan hidup di dunia, dan alasan ini sangat masuk logika dan terjamin kebenarannya lantaran dinukil dari kitab yang menjadi manual instructions bagi insan yang juga telah dibuktikan kebenarannya menggunakan akalnya. Ketika logika telah membuktikan kebenaran Al-Qur’an maka fakta apapun yang diterangkan dan disampaikan yakni juga niscaya benar dan masuk akal. Allah menerangkan dalam ayat-Nya dengan menggunakan dua kata negasi dalam ayat di atas tersebut. Allah tidak menyampaikan “Aku menciptakan jin dan insan supaya mereka beribadah kepada-Ku” tetapi menggunakan dua kalimat negasi “tidak” dan “kecuali”. Ini berarti bahwa penciptaan insan benar-benar tidak mempunnyai tujuan selain beribadah kepada Allah dalam totalitas kehidupannya.
Ibadah dalam Islam dilarang diartikan sebagai sesuatu yang bersifat sempit yang hanya berkisar ibadah Mahdhah atau ibadah ritual. Namun, ibadah dalam arti sesungguhnya yakni setiap aktifitas insan yang diadaptasi dengan kehendak Allah SWT selama 24 jam lantaran Allah sudah menegaskan kepada insan bahwa satu-satunya alasan hidupnya yakni beribadah. Apabila ibadah hanya seputar sholat dan ritual yang lainnya maka bagaimana dengan segmen hidup insan lainnya, mirip ekonomi, politik, budaya, pergaulan dan lainnya, apakah itu bukan ibadah? Inilah yang disebut dengan Islam Kaffah, yaitu Islam secara keseluruhan, sebagai bentuk penghambaan total kepada Allah sesuai dengan yang disampaikan Allah dalam Al-Quran. Oleh lantaran itu sejatinya bagi seorang muslim, setiap aktifitasnya, baik sholat, zakat, puasa, haji, bekerja, berinteraksi dengan insan lain, berekonomi, berpolitik dan pemerintahan yakni ibadah yang harus diselesaikan berdasarkan solusi yang telah diberikan Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Tugas hidup insan sebagai ’Abdullah merupakan reali¬sasi dari mengemban amanah dalam arti: memelihara beban/tugas-tugas kewajiban dari Allah yang harus dipatuhi, kalimah La ilaaha illa Allah atau kalimat tauhid, dan atau ma’rifah kepadaNya. Sedangkan Khalifah Allah merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti: memelihara, memanfaatkan, atau mengoptimalkan penggunaan segala anggota badan, alat-alat potensial (termasuk indera, logika dan qalbu) atau potensi-potensi dasar manusia, guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup.
Mengapa insan bertugas sebagai ‘abdullah? Untuk menjawab perkara ini bisa dikaitkan dengan proses kejadian insan yang telah dikemukakan terdahulu. Dari uraian sebelumnya sanggup difahami bahwa intinya insan terdiri atas dua substansi, yaitu jasad/materi dan roh/immateri. Jasad insan berasal dari alam materi (saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya mesti tunduk kepada aturan-aturan atau aturan Allah yang berlaku di alam materi (Sunna¬tullah). Sedangkan roh-roh manusia, semenjak berada di alam arwah, sudah mengambil kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah sebagai Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya. Karena itulah, kalau insan mau konsisten terhadap keberadaan dirinya atau naturnya, maka salah satu kiprah hidup yang harus dilaksana¬kannya yakni ’abdullah (hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan dan KehendakNya serta hanya mengabdi kepadaNya). Hanya saja diri insan juga telah dianugerahi kemam¬puan dasar untuk menentukan atau mempunyai “kebebasan”, sehingga walaupun roh Ilahi yang menempel pada tubuh material insan telah melaksanakan perjanjian dengan Tuhannya (untuk bersedia tunduk dan taat kepadaNya), tetapi ketundukannya kepada Tuhan tidaklah terjadi secara otomatis dan niscaya sebagaimana robot, melainkan lantaran pilihan dan keputusannya sendiri. Dan insan itu dalam perkembangannya dari waktu ke waktu suka melupakan perjan¬jian tersebut, sehingga pilihannya ada yang mengarah kepada pilihan baiknya (jalan ketaqwaan) dan ada pula yang mengarah kepada pilihan buruknya (jalan kefasikan). Karena itu Allah selalu mengingatkan kepada manusia, melalui para Nabi atau Rasul-rasulNya hingga dengan Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi/rasul terakhir, biar insan senantiasa tetap berada pada naturnya sendiri, yaitu taat, patuh dan tunduk kepada Allah SWT. (’abdullah). Setelah rasulullah SAW. wafat, maka kiprah memperingatkan insan itu diteruskan oleh para shahabat, dan para pengikut Nabi SAW. (dulu hingga sekarang) yang setia terhadap ajaran-ajaran Allah dan rasulNya, termasuk di dalamnya yakni para pendidik muslim.
• Kebebasan Manusia Memilih Jalannya
“Hidup yakni pilihan” yakni sebuah kalimat yang mungkin sangat sederhana dan seringkali kita dengar dan baca. Namun, tidak banyak di antara kita yang benar-benar memahami kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya pembahasan wacana hal ini, ternyata belum juga berkolerasi dengan pelaksanaannya.
Hidup yakni pilihan, kita akan hidup berdasarkan pilihan-pilihan yang kita buat, kita akan dinilai dengan pilihan-pilihan yang kita buat, kita akan dihargai dengan pilihan-pilihan yang kita buat, kita akan menjadi mirip apa yang kita pilih dalam setiap segmen dari kehidupan kita.
-->PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Masyarakat modern yakni suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu daerah dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mukhtahir. Mereka mempunyai ciri-ciri antara lain: 1) bersifat rasional, mengutamakan logika pikiran daripada emosi. 2) berpikir untuk masa depan yang lebih jauh. 3) menghargai waktu. 4) bersikap terbuka, mendapatkan saran/masukan baik kritik, gagasan, dan perbaikan. 5) berfikir obyektif, melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya.
Manusia-manusia modern mempunyai sifat yang kebanyakan hanya mencondongkan dirinya pada segala sesuatu yang sifatnya yakni kebendaan atau duniawi. Sehingga, pada gilirannya mereka akan dilanda kegersangan mental atau krisis spiritualitas. Mereka pada akhirnya mulai mencari jatidirinya sebagai insan yang hidup di muka bumi. Karena apakah mereka ada di dunia? Untuk apakah mereka hidup di dunia? Apakah yang akan terjadi pada mereka sesudah mereka meninggalkan dunia, atau tak lagi sanggup menikmati dunia?
Berbagai spekulasi kemudian mulai bermunculan menaggapi pertanyaan-pertanyaan di atas. Para penganut paham Darwinisme, yaitu orang-orang yang berkiblat pada Teori Evolusi Darwin, menganggap bahwa manusia, beserta segala alam semesta ini yakni terlahir dari suatu proses yang sepenuhnya terjadi secara kebetulan. Mereka beranggapan bahwa insan sendiri yakni suatu hasil evolusi dari makhluk sejenis kera, yang kemudian berkembang mencapai wujud yang lebih sempurna. Karena menganggap insan sejajar dengan hewan, maka bagi mereka yang terpenting bagi manuisa yakni terpenuhinya segala kebutuhan dan hawa nafsu. Norma dan kesusilaan tidak diperlukan, bahkan menganggap agama sebagai suatu kebodohan.
Mereka yang tidak oke dengan anggapan ini, mulai mencari-cari kebenaran yang sejati, yang mana benar-benar mengantarkan mereka untuk mengetahui bagaimana hakekat insan yang sebenarnya. Mereka pun berbondong-bondong mencari kesegaran yang mengobati kegersangan hati mereka yang sudah akut, lantaran sudah menyadari pentingnya aspek spiritualisme dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini, yang paling dibutuhkan mereka yakni suatu petunjuk yang bisa mengantarkan mereka menuju pemahaman akan hakekat dan kedudukan mereka di dunia.
Sesungguhnya, Islam yakni tanggapan dari segala pertanyaan di atas. Dengan petunjuk pribadi dari yang membuat insan itu sendiri, insan tidak hanya diberikan klarifikasi tuntas wacana asal-usul penciptaannya serta hakekat kedudukannya di muka bumi, tetapi juga petunjuk bagaimana menjalani kehidupan di muka bumi ini dan bagaimana mencapai kebahagiaan yang hakiki. Inilah agama yang Hak, satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan obat bagi krisis spiritualitas akut yang didamba-dambakan oleh mereka yang terjebak dalam kehidupan materialisme dan hedonisme.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah hakekat insan dalam pandangan Islam?
2. Bagaimanakah keberadaan dan martabat insan di hadapan Allah SWT?
3. Bagaimanakah tanggung jawab insan di dunia sebagai khalifah dan sekaligus sebagai hamba Allah SWT?
I.3 TUJUAN MAKALAH
1. Memahami hakekat insan berdasarkan fitrahnya, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an.
2. Memahami sifat-sifat insan serta kedudukannya di sisi Tuhan.
3. Memahami peran-peran insan sebagai khalifah di bumi, sekaligus kewajibannya menghamba kapada Allah SWT, serta bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
• Penciptaan Manusia Dari Dua Unsur
Manusia dalam pandangan kebendaan (materialis) hanyalah merupakan sekepal tanah di bumi. Dari bumi asal kejadiannya, di bumi dia berjalan, dari bumi dia makan dan ke dalam bumi dia kembali. Dari tanah, kembali menjadi tanah. Manusia dalam pandangan kaum materialism, tidak lebih dari kumpulan daging, darah, urat, tulang, urat-urat darah dan alat pencernaan. Akal dan pikiran, dianggapnya barang benda yang dihasilkan oleh otak. Pandangan mereka hanya hingga benda, dan hanya mempercayai benda-benda yang sanggup diraba. Maka oleh lantaran itu dalam anggapan mereka, tidak ada keistimewaan insan dibandingkan dengan makhluk lain yang hidup di muka bumi ini, bahkan dimasukannya ke dalam bangsa kera, yang sesudah melalui masa panjang, menjelma insan sebagaimana kita lihat kini ini. Ini yakni Teori Evolusi atau Teori Desendesi, bahwa hayat berasal dari makhluk satu sel. Dia berevolusi ke dua arah, yaitu binatang dan tanaman. Evolusi itu berlangsung setingkat demi setingkat membentuk sejuta jenis binatang dan sepertiga juta jenis tanaman. Binatang satu sel sebagai awal evolusi dan insan selesai (sementara) evolusi
Dalam pandangan orang yang beriman, insan itu makhluk yang mulia dan terhormat pada sisi Tuhan. Manusia diciptakan tuhan dalam bentuk yang amat baik. Sesudah ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya, para malaikat disuruh sujud (memberi hormat) kepadanya. Sebagaimana Allah S.W.T telah berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 28-29:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan membuat seorang insan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,”(28)
“maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kau padanya dengan bersujud’,”(29)
Dari proses kejadian dan asal insan berdasarkan Al-Qur’an itu, Ali Syari’ati, sejarawan dan jago sosiolog Islam, yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali, mengemukakan pendapatnya berupa interpretasi wacana hakekat penciptaan manusia. Menurut dia ada simbolisme dalam penciptaan dari tanah dan ruh (ciptaan) Allah. Maka simbolisnya yakni insan mempunyai dua dimensi (bi-dimensional): dimensi ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan. Makhluk lain hanya memppunayi satu dimensi saja (uni-dimensional).
Dalam pengertian simbolis, lumpur (tanah) hitam menunjuk pada keburukan, kehinaan yang tercermin pada dimensi kerendahan. Di samping itu, dimensi lain yang dimiliki insan yakni dimensi keIlahian yang tercermin dari perkataan ruh (ciptaan)-Nya itu. Dimensi ini memberikan pada kecenderungan insan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mencapai asal ruh (ciptaan) Allah dan atau Allah sendiri.
Karena hakekat penciptaan inilah maka insan pada suatu ketika sanggup mencapai derajat yang tinggi, tetapi pada ketika yang lain sanggup meluncur ke lembah yang dalam, hina dan rendah. Fungsi kebebasan insan untuk memilih, terbuka baik ke jalan Tuhan maupun sebaliknya, ke jalan kehinaan. Kehormatan dan arti penting manusia, dalam hubungan ini, terletak dalam kehendak bebasnya untuk menentukan arah hidupnya.
• Naluri Ketuhanan Manusia
Sifat insan tersebut, yang mana mempunyai kecenderungan untuk berTuhan telah dijelaskan oleh Allah S.W.T dalam surat Al-A’raf ayat 176:
“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan belum dewasa Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang sedemikian itu) biar di hari selesai zaman kau tidak menyampaikan “sesungguhnya kami (bani Adam) yakni orang-oprang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Marilah kita berkaca pada cerita Nabiyullah Ibrahim sebagai cerminan, bagaimana dia merenungi keberadaan alam sebagai bukti akan adanya Tuhan yang telah menciptakannya.
Nabi Ibrahim lahir di negeri Babilon yang dikuasai oleh raja Namrudz, yang mana memerintahkan rakyatnya untuk menyembah berhala. Ayah nabi Ibrahim sendiri, yang berjulukan Azar yakni seorang pembuat berhala. Pada suatu ketika, sang raja bermimpi seorang anak tiba dan mengambil mahkotanya kemudian menghancurkannya. Ahli nujumnya menafsirkan mimpi tersebut bahwa akan lahir seorang bayi pria yang akan menghancurkan kekuasaannya. Akhirnya, raja Namrudz memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh tiap bayi pria yang lahir.
Pada waktu itu, ibu nabi Ibrahim sedang mengandung beliau. Untuk menyelamatkan anaknya, sang ibu tetapkan untuk bersembunyi di dalam sebuah gua dan melahirkan di sana. Selama bertahun-tahun, Nabi Ibrahim muda dibesarkan di dalam gua untuk menghindari kekejaman raja Namrudz.
Pada ketika dia telah bakir balig cukup akal dan keluar dari dalam gua, Nabi Ibrahim melihat betapa menakjubkannya alam semesta. Beliau bertanya-tanya dalam hati bagaimanakah hal itu bisa tercipta. Beliau juga merenungkan mengapa ayahnya serta kaumnya menyembah berhala yang dibentuk sendiri oleh ayahnya, dan menganggap berhala tersebut sebagai Tuhan. Menurut beliau, mustahil berhala yang tidak sanggup berbuat apa-apa tersebut layak dijadikan sesembahan.
Pada ketika dia melihat bintang yang terang, dia beranggapan bahwa bintang itulah Tuhan, lantaran ketinggian dan keindahannya. Tetapi pada ketika bintang tersebut terbenam, maka dia sadar bahwa Tuhan mustahil tenggelam. Kemudian dia melihat bulan. Beliaupun beranggapan bahwa bulan itulah Tuhan, lantaran lebih terang dan lebih besar dari bintang yang dilihatnya tersebut. Tetapi tatkala bulan juga terbenam, maka beliaupun menyadari bahwa Tuhan yakni sesuatu yang kekal, yang mustahil terbenam atau mati. Kemudian, beliaupun melihat matahari terbit. Matahari tersebut memancarkan sinar yang hangat dan terang, yang mana jauh melampaui bintang dan bulan yang telah dilihatnya. Beliaupun menyangka bahwa matahari tersebutlah Tuhan yang sesungguhnya. Akan tetapi, tatkala matahari juga terbenam, maka beliaupun menyadari bahwa matahari itu bukanlah Tuhan. Matahari, bagaimanapun besarnya, yakni sama dengan makhluk-makhluk lainnya, yang akhirnya terbenam atau mati. Tuhan diyakininya yakni sesuatu yang terlepas dari sifat-sifat tersebut. Tuhan yakni Dzat yang mengandalikan jalannya alam semesta beserta isinya.
Demikian itulah cerita Nabiyullah Ibrahim AS yang menjadi citra bagi kita bahwa insan terlahir dengan fitrahnya sebagai makhluk yang berTuhan. Di samping itu, alam semesta beserta isinya yakni bukti akan adanya Sang Pencipta.
II.2. EKSISTENSI DAN MARTABAT MANUSIA
• Kemuliaan Manusia
Manusia intinya tidak akan sanggup memahami wacana dirinya secara pasti, lantaran ketidakmungkinan insan untuk sanggup berdiri netral dan memandang dirinya dari luar dirinya sendiri. Pencipta atau pembuat dalam hal apapun akan lebih memahami barang ciptaannya. Demikian pula dengan manusia. Yang lebih mengetahui yakni sang pencipta insan itu sendiri. Ini berarti bahwa jikalau insan ingin mengetahui secara niscaya mengenai hakekat dirinya secara benar, maka hendaklah ia menanyakannya kepada penciptanya sendiri, yaitu Tuhan, Allah SWT.
Allah SWT membuat insan sebagai mahkluk yang mulia, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al- Baqarah ayat 34 :
“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ‘sujudlah kau kepada Adam, ‘Maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan yakni ia termasuk golongan orang-orang kafir,”.
Perintah Allah SWT kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam As, memberikan keagungan dan kemuliaan insan di sisi Allah SWT sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna. Malikat dan insan sama-sama diperintahkan oleh Allah SWT untuk senantiasa menghambat kepada-Nya, senantiasa beriman dan bertakwa, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya. Akan tetaapi malaikat dan insan tidaklah sama. Malaikat diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya, serta di sucikan dari segala bentuk hawa nafsu duniawi. Sedangkan manusia, yang mana diciptakan dari dua unsur, yaitu tanah dan ruh, disamping sifat ketaatannya insan juga dibekali oleh Allah SWT dengan logika pikiran dan hawa nafsu. Denga ndi bekali oleh hawa nafsu, maka keimanan insan tidak sanggup stabil sebagaimana keimanan para malaikat, lantaran hawa nafsu akan mendorong insan untuk condong pada kehidupan duniawi. Akan tetapi, apabila insan tetap menjaga keimanannya, maka keimanan insan akan lebih mulia di hadapan Allah SWT.
Kesempurnan penciptaan insan tersebut, oleh Allah SWT difirmankan dalam surat At-Tiin ayat 4 :
“Sesungguhnya Kami telah membuat insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”.
• Kedudukan Manusia yang sanggup lebih rendah dari hewan
Kemuliaan insan yang diberikan Allah SWT mirip yang disebutkan diatas, hanya berlaku apabila insan tetap memelihara keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Apabila keimanan dan ketakwaan tersebut tidak sanggup dijaga, bahkan insan ingkar dan mendurhakai Tuhannya, maka kedudukannya di sisi Allah SWT yakni lebih rendah dari pada hewan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 179 :
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah ), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai pendengaran (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu mirip binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai, “.
II.3. TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH DAN HAMBA ALLAH
• Besarnya Tanggung Jawab Manusia
Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya yakni makhluk yang bertanggung jawab. Kenapa demikian, lantaran insan selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga merupakan makhluk Tuhan. Manusia mempunyai tuntutan yang besar untuk hidup bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks individual, sosial ataupun teologis. Menjalani kehidupan ini merupakan kewajiban yang sifatnya mutlak.
Tanggung jawab yakni ciri insan beradab (berbudaya) insan berasa bertanggung jawab bhwa ia menyadari akhir baik ataupun buruk perbuatannya,dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengorbanan atau pengbdian untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu di tempuh memlalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa terhadap Allah SWT.
Manusia itu berjuang untuk memenuhi keperluannya sendiri atau keperluan pihak lain.Untuk itu ia menghadapi insan lain dalam masyarakat atau menghadapi linkungan alam.Dalam usahanya itu juga insan menyadari bahwa ada kekutan lain yang ikut menentukan yaitu kekusaan Tuhan.Oleh lantaran itu tanggung jawab harus di miliki dalam setiap insan biar merka men yadari apa-apa yang harus di lakukan harus mempertanggung jawabkan semua yang telah di kerjakan.
Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 72:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanta kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya insan itu amat dzolim dan amat bodoh, “.
Dalam ayat diatas, dijelaskan bahwa insan mempunyai tanggung jawab yang amat berat. Yang bahkan langit, bumi, dan gunung-gunung pun enggan memikulnya. Akan tetapi, insan sering sekali menganggap remeh amanah yang dibebankan oleh Allah SWT tersebut. Padahal setiap amanat akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT kelak.
• Manusia sebagai Khalifah di Bumi
Allah SWT berfirman bahwa fungsi dan kiprah insan yakni sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah Ayat 30:
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya saya hendak menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi”, mereka berkata : “Mengapa engkau hendak menimbulkan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”. Allah berfirman : “Sesungguhnya saya mengetahui apa yang tidak kau ketahui”.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, khalifah berarti pimpinan umat. Menjadi pemimpin yakni fitrah setiap manusia. Namun lantaran satu dan lain hal, fitrah ini tersembunyi, terkontaminasi bahkan mungkin telah usang hilang. Akibatnya, banyak orang yang merasa dirinya bukan pemimpin. Mereka telah usang menyerahkan kendali hidupnya pada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Mereka perlu “dibangunkan” dan disadarkan akan besarnya potensi yang mereka miliki.
Kepemimpinan yakni suatu amanah yang diberikan Allah yang suatu ketika nanti harus kita pertanggungjawabkan. Karena itu siapa pun anda, di mana pun anda berada, anda yakni seorang pemimpin, minimal memimpin diri sendiri. Kepemimpinan yakni mengenai diri sendiri. Kepemimpinan yakni sikap kita sehari-hari. Kepemimpinan berkaitan dengan hal-hal sederhana mirip berbakti kepada orang tua, tidak berbohong, mengunjungi mitra yang sakit, bersilahturahmi dengan tetangga, mendengar keluh kesah sahabat, dan sebagainya.
Kepemimpinan (Leadership) yakni kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mensugesti orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laris sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sanggup dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan, yang mengakibatkan gerak dari warga masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 58-59 yang artinya :
”Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kau memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kau apabila tetapkan suatu aturan diantara insan supaya kau tetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatlah Allah dan RasulNya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu, kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu maka kembalilah kepada Al-Qur’an dan Hadits. Jika kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik risikonya bagimu”.
Di dalam Surat An-Nisa ayat 58-59 tersebut dijelaskan kriteria pemerintahan (kepemimpinan) yang baik, yaitu :
a. Pemerintah yang pemimpinnya memberikan amanat kepada yang berhak dan berlaku adil.
b. Musyawarah pada setiap problem dan apabila terjadi perselisihan maka hendaklah kembali kepada sumber aturan Islam.
c. Pemerintahan yang mempunyai sifat kooperatif antara rakyat dan pemerintah, rakyat harus patuh dan taat pada peraturan yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini baik dan benar dan pemerintah harus benar-benar menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat.
Setiap orang sebetulnya pemimpin. Setiap orang dapt mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, banyak yang tidak sadar akan kemampuannya tersebut. Maka untuk menjadi sadar ada tiga hal yang perlu dilakukan biar kita semua sadar akan kemampuan kita sebagai pemimpin, yaitu :
a. Memahami diri sendiri (Self Understanding)
Proses ini kita harus memahami dan mengenal diri kita. Untuk menjadi pemimpin kita harus sadar siapakah kita sebenarnya. Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya"
tanpa mengenali diri kita dengan benar ,maka sulit untuk menemukan makna kehidupan hidup yakni sebuah perjalanan melingkar, kita harus tahu siapa kita dan bagaimana kita seharusnya?
b. Kesadaran diri (Self Awareness)
Kesadran diri berarti sadar akan perasaan kita . Untuk menjadi pemompim kita harus melek emosi dan kita harus bisa mengenali dan mengindentifikasi-kan perasaan apapun yang sedang kita rasakan.
c. Pengendaalian diri (self Control)
Pengendalian diri berarti sadar sepenuhnya akan apa yang akak kita lakukan Ini adalh hasil dari kecerdasan emosi yang tinggi. Pengendalian diri gres sanggup terlihat ketika situsi yang sulit dan melibatkan emosi, sebagai pemimpin kita harus bisa mengendalikannya. Pemimpin yang bisa mengendalikan diri tidak akan termakan untuk melakukan dan memgambil sesuatu yang bukan haknya. Pengendalian duru juga ditunjukkan oleh keberanian seseorang untuk membuat komitmen dan melaksanakan komitmen tersebut.
• Fasilitas Bagi Masnusia Selaku Khalifah
Dalam melaksanakan kekhalifahannya, untuk menjalankan ajaran-ajaran Allah mirip yang dicontohkan nabi dan rasul, insan mendapatkan kemudahan alam semesta yang terus berputar, bergerak, tumbuh, dan berproses secara niscaya di bawah takdir Allah. Kepastian proses itu menimbulkan insan tak ragu untuk melaksanakan sesuatu sesuai pilihan masing-masing. Alam menyediakan kepastian tumbuhnya padi bila insan menanam padi. Alam menyediakan kepastian proses terciptanya hujan yang tidak pernah berubah. Alam juga tidak pernah mengubah kejadian molekul uap air yang merupakan adonan 2 hidrogen dan 1 oksigen.
Fasilitas alam semesta yang merupakan karunia Allah SWT tersebut, telah dijelaskan dalam surat Al-Jatsiyah ayat 12-13:
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal sanggup berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kau sanggup mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kau bersyukur,”(12)
“Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya opada yang dsemikian itu benar-benar terdapat gejala (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(13)
Segala yang ada di muka Bumi diadakan untuk manusia. Mulai dari atmosfer, gunung gunung, hujan, angin, miliaran jenis flora dan binatang, semuanya diciptakan Allah untuk melayani manusia. Di sini kita mencicipi betapa ada 'kesengajaan' yang sangat besar untuk menimbulkan bumi ini sebagai panggung drama kehidupan kita. Maka, untuk mendukung terjadinya kehidupan di muka Bumi ini secara tepat Allah membuat banyak sekali kemudahan kepada manusia.
Mulai dari bentuk Bumi yang bulat, kemiringannya yang 23,5 derajat, atmosfer yang tujuh lapis sebagai pelindung kehidupan, Bumi yang berotasi (berputar pada diri sendiri) dengan kecepatan lebih dari 1.600 km per jam, mau pun kecepatan revolusi (mengitari Matahari) yang sangat tinggi.
Demikian pula, air hujan yang terukur kadarnya, komposisi udara yang sangat khas, dan miliaran kemudahan lainnya yang sangat kompleks, terdapat di alam sekitar kita, temasuk tanam flora dan seluruh binatang di permukaan planet ini.
Dari semua fasilitas-fasilitas tersebut merupakan anugerah dan karunia Allah SWT sebagaimana yang telah difirmankan dalam surat Luqman ayat 20:
“Tidakkah kau perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara insan ada yang membantah wacana Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
• Manusia Sebagai Hamba Allah
Dengan bekal Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi manusia, kita menemukan bahwa nama Tuhan yakni Allah SWT. Kita juga sanggup mentukan tanggapan atas pertanyaan besar manusia, yaitu untuk apa insan hidup di dunia? Yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT secara total dalam kehidupan ini. Firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzaariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku,”.
Inilah alasan satu-satunya insan hidup di dunia, dan alasan ini sangat masuk logika dan terjamin kebenarannya lantaran dinukil dari kitab yang menjadi manual instructions bagi insan yang juga telah dibuktikan kebenarannya menggunakan akalnya. Ketika logika telah membuktikan kebenaran Al-Qur’an maka fakta apapun yang diterangkan dan disampaikan yakni juga niscaya benar dan masuk akal. Allah menerangkan dalam ayat-Nya dengan menggunakan dua kata negasi dalam ayat di atas tersebut. Allah tidak menyampaikan “Aku menciptakan jin dan insan supaya mereka beribadah kepada-Ku” tetapi menggunakan dua kalimat negasi “tidak” dan “kecuali”. Ini berarti bahwa penciptaan insan benar-benar tidak mempunnyai tujuan selain beribadah kepada Allah dalam totalitas kehidupannya.
Ibadah dalam Islam dilarang diartikan sebagai sesuatu yang bersifat sempit yang hanya berkisar ibadah Mahdhah atau ibadah ritual. Namun, ibadah dalam arti sesungguhnya yakni setiap aktifitas insan yang diadaptasi dengan kehendak Allah SWT selama 24 jam lantaran Allah sudah menegaskan kepada insan bahwa satu-satunya alasan hidupnya yakni beribadah. Apabila ibadah hanya seputar sholat dan ritual yang lainnya maka bagaimana dengan segmen hidup insan lainnya, mirip ekonomi, politik, budaya, pergaulan dan lainnya, apakah itu bukan ibadah? Inilah yang disebut dengan Islam Kaffah, yaitu Islam secara keseluruhan, sebagai bentuk penghambaan total kepada Allah sesuai dengan yang disampaikan Allah dalam Al-Quran. Oleh lantaran itu sejatinya bagi seorang muslim, setiap aktifitasnya, baik sholat, zakat, puasa, haji, bekerja, berinteraksi dengan insan lain, berekonomi, berpolitik dan pemerintahan yakni ibadah yang harus diselesaikan berdasarkan solusi yang telah diberikan Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Tugas hidup insan sebagai ’Abdullah merupakan reali¬sasi dari mengemban amanah dalam arti: memelihara beban/tugas-tugas kewajiban dari Allah yang harus dipatuhi, kalimah La ilaaha illa Allah atau kalimat tauhid, dan atau ma’rifah kepadaNya. Sedangkan Khalifah Allah merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti: memelihara, memanfaatkan, atau mengoptimalkan penggunaan segala anggota badan, alat-alat potensial (termasuk indera, logika dan qalbu) atau potensi-potensi dasar manusia, guna menegakkan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup.
Mengapa insan bertugas sebagai ‘abdullah? Untuk menjawab perkara ini bisa dikaitkan dengan proses kejadian insan yang telah dikemukakan terdahulu. Dari uraian sebelumnya sanggup difahami bahwa intinya insan terdiri atas dua substansi, yaitu jasad/materi dan roh/immateri. Jasad insan berasal dari alam materi (saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya mesti tunduk kepada aturan-aturan atau aturan Allah yang berlaku di alam materi (Sunna¬tullah). Sedangkan roh-roh manusia, semenjak berada di alam arwah, sudah mengambil kesaksian di hadapan Tuhannya, bahwa mereka mengakui Allah sebagai Tuhannya dan bersedia tunduk dan patuh kepadaNya. Karena itulah, kalau insan mau konsisten terhadap keberadaan dirinya atau naturnya, maka salah satu kiprah hidup yang harus dilaksana¬kannya yakni ’abdullah (hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan dan KehendakNya serta hanya mengabdi kepadaNya). Hanya saja diri insan juga telah dianugerahi kemam¬puan dasar untuk menentukan atau mempunyai “kebebasan”, sehingga walaupun roh Ilahi yang menempel pada tubuh material insan telah melaksanakan perjanjian dengan Tuhannya (untuk bersedia tunduk dan taat kepadaNya), tetapi ketundukannya kepada Tuhan tidaklah terjadi secara otomatis dan niscaya sebagaimana robot, melainkan lantaran pilihan dan keputusannya sendiri. Dan insan itu dalam perkembangannya dari waktu ke waktu suka melupakan perjan¬jian tersebut, sehingga pilihannya ada yang mengarah kepada pilihan baiknya (jalan ketaqwaan) dan ada pula yang mengarah kepada pilihan buruknya (jalan kefasikan). Karena itu Allah selalu mengingatkan kepada manusia, melalui para Nabi atau Rasul-rasulNya hingga dengan Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi/rasul terakhir, biar insan senantiasa tetap berada pada naturnya sendiri, yaitu taat, patuh dan tunduk kepada Allah SWT. (’abdullah). Setelah rasulullah SAW. wafat, maka kiprah memperingatkan insan itu diteruskan oleh para shahabat, dan para pengikut Nabi SAW. (dulu hingga sekarang) yang setia terhadap ajaran-ajaran Allah dan rasulNya, termasuk di dalamnya yakni para pendidik muslim.
• Kebebasan Manusia Memilih Jalannya
“Hidup yakni pilihan” yakni sebuah kalimat yang mungkin sangat sederhana dan seringkali kita dengar dan baca. Namun, tidak banyak di antara kita yang benar-benar memahami kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya pembahasan wacana hal ini, ternyata belum juga berkolerasi dengan pelaksanaannya.
Hidup yakni pilihan, kita akan hidup berdasarkan pilihan-pilihan yang kita buat, kita akan dinilai dengan pilihan-pilihan yang kita buat, kita akan dihargai dengan pilihan-pilihan yang kita buat, kita akan menjadi mirip apa yang kita pilih dalam setiap segmen dari kehidupan kita.
Today is yesterday, tommorow is today
Apa yang kita lihat pada diri kita ketika ini, bisa jadi sebagian besar yakni pilihan kita sendiri, lebih tepatnya akumulasi dari seluruh pilihan kita pada masa lalu. Posisi kita dalam pekerjaan kita kini yakni hasil dari pilihan-pilihan hidup kita di masa lalu. Pendamping hidup kita yakni cerminan dari pilihan-pilihan hidup kita pada masa lalu.
Ketika kita melihat seseorang bisa membaca Al-Qur’an dengan mahir dan baik, itu mencerminkan akan usahanya yang kerasa dalam berguru membaca Al-Qur’an di masa lalu. Kitaa sanggup mengetahuinya dan sanggup memastikannya walaupun kita tidak menyaksikannya. Pun sama ketika kita melihat seseorang yang sukses dalam materi, ini mengambarkan betapa banyak dan luas usaha yang telah dia lakukan dalam meraih posisi mirip itu, terlepas usahanya halal atau haram, walaupun kita tidak menyaksikannya secara langsung.
Hidup yakni pilihan. Oleh lantaran itu, kita sesungguhnya sanggup menilai mirip apa pilihan-pilihan yang dibentuk pada masa kemudian seseorang cukup dengan hanya melihat keadaannya sekarang. Hal ini telah difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Asy-Syams ayat 7-8:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”
Karena hidup yakni pilihan, maka apa yang kita lihat pada diri kita hari ini, dan apa yang kita lihat pada diri orang lain hari ini yakni hasil dari pilihan-pilihan yang kita dan mereka buat di masa lalu. Keadaan hidup kita masa depan akan ditentukan oleh apa saja yang kita pilih ketika ini. Sekarang pun, sebetulnya kita sedang menulis cerita hidup kita sendiri di sebuah buku yang mempunyai judul dengan nama kita sendiri, dan ketika ini pun kita sedang menuliskannya, setiap hari lembar demi lembar. Anehnya, terkadang kita melihat orang-orang yang tidak menyesuaikan pilihan hidupnya dengan yang dia inginkan. Muda foya-foya, bau tanah kaya-raya, mati masuk syurga, sebuah slogan yang ngawur, yang mustahil akan terjadsi lantaran hidup yakni pilihan.
One time one choice
Hal yang sangat terang yakni bahwa insan tidak akan bisa membuat dua pilihan yang sama dalam waktu yang sama. Pilihan itu menyerupai fokus kamera, kita tidak akan bisa membuat dua fokus pada gambar yang sama. Ketika anda membaca makalah ini, berarti anda meninggalkan pilihan untuk melihat buku atau materi bacaan yang lain. Anda tidak sanggup menentukan dua hal secara bersamaan.
Tujuan seorang muslim yang sadar akan kehidupannya pastilah menuju syurga Allah, yang dalam jalan ini niscaya ada banyak penghalang dan kendala yang merintangi. Dia harus siap dimaki dengan kata-kata yang tidak pantas, siap dikucilkan lantaran mereka memegang teguh islamnnya, siap dituduh dengan tuduhan yang kejam dan sinis, siap untuk menanggung beban ekonomi lantaran banyaknya transaksi haram yang dilarang mereka lakukan, siap untuk beribadah kepada Allah degnan ibadah ibadah yang total. Bahkan, siap ketika nyawanya diancam lantaran dia menegakkan usaha dan menyeru jihad fii sabilillah. Ini yakni sebagian kendala yang dihadapi ketika seseorang ingin menuju syurga-Nya. Akan tetapi, ketika dia selalu mengingat tujuannya, mengingat kesepakatan Allah bahwa dia akan menganugerahi muslim dengan syurga-Nya maka dia akan selalu bersemangat daloam ibadahnya dan tidak menganggap semua perlakuan buruk kepadanya sebagai beban, melainkan suatu hal harus dijalani sebagai konsekuensi menuju syurga Allah. Dia tidak akan mengalah pada realitas dan kondisi yang mengahalanginya melainkan dia akan mengubah semua itu biar sesuai dengan tujuannya, yaitu Allah SWT.
“Sesungguhnay Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga pereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,”.(Ar-Ra’d:11)
Hidup yakni pilihan, kita tidak bisa menentukan dua hal pada ketika yang bersamaan. Tidak ada konsep win-win solution di dalam kebenaran dan kewajiban. Konsep Islam yakni konsep kebenaran yang sagat jelas, take it or leave it, winner takes all and looser loose all. Dalam Islam, hanya ada dua pilihan, Islam atau selain Islam. Haq atau bathil. Tidak ada pertengahan di antara keduanya.
With great choise comes great investment, consequences and risk
Setiap pilihan juga mempunyai investasi, konsekuensi dan resiko tertentu. Tidak satupun pilihan yang tidak mempunyai investasi, konsekuensi dan resiko. Investasi yakni sesuatu yang harus kita keluarkan dan lakukan utnuk memulai sesuatu pilihan, konsekuensi yang dimaksud di sini yakni dalam arti sesuatu yang akan tiba kepada kita ketika tetapkan suatu pilihan dan risiko yakni sesuatu yang akan tiba sesudah kita menentukan sebuah pilihan atau ketika kita melaksanakan sebuah pilihan. Apabila kita taat kepada Allah, risikonya yakni kita akan masuk ke syurga-Nya, bila kita tidak menaati-Nya maka risiko neraka telah menanti. Cerdas yakni risiko dari dari pilihan seseorang untuk selalu berfikir, dan prestasi yakni risiko dari pilihan berbuat yang terbaik dalam aktivitasnya. Semakin besar pilihan hidup seseorang maka semakin besar pula investasi yang harus dikeluarkan, konsekuensi yang harus ditanggung dan risiko yang kelak menantinya.
Seorang Muslim yang menentukan bahwa pilihannya yakni syurga Allah, selalu akan menginvestasikan setiap waktu, tenaga, harta, diri, keluarga, bahkan nyawanya di jalan Allah. Dia pun akan menjalani setiap konsekuensinya dengan penuh kesadaran, ketaatan dan keikhlasan debagai penggalan yang harus dia jalani. Dia tidak akan pernah jemu untuk menjalankan setiap perintah Allah sebagaimanapun sulitnya. Dia akan menghormati orangtuanya, menyayangi anak-anaknya dan menyayangi istrinya sebagaimana dia sangat memedulikan sesamanya. Dia tidak akan bosan dalam menolak segala bentuk kemaksiatan. Dia akan menolak riba dalam bentuk apapun, menjauhi zina dan khalwat, mencegah dirinya dari suap dan disuap, serta mengunjing dan mengghibah saudaranya.
Dia pun mengetahui risiko yang akan diterimanya ketika dia menempatkan dirinya di jalan Allah bahwa malapetaka, kengerian dan goncangan-goncangan akan selalu menyertainya. Orang-orang sinis akan sewlalu mengolok-oloknya. Bahkan, maut ataupun penyiksaan yang akan menjumpainya dalam usaha kebenaran ini. Renungkanlah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 214 berikut:
“Apakah kau menerka bahwa kau akan masuk syurga, padahal belum tiba kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan majemuk cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “bilakah datangnya dukungan Allah?” ingatlah, sesungguhnya dukungan Allah itu amat dekat”
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Manusia yakni makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, yang diciptanan dari dua unsur yang berbeda yaitu tanah dan ruh. Tanah mencerminkan sifat insan yang cenderung kepada kehidupan duniawi, sedangkan ruh mencerminkan kecondongan insan untuk taat kepada Allah SWT, penciptanya. Manusia pada fitrahnya memiliki naluri yang sanggup mengantarkannya untuk kepada Tuhannya yaitu Allah SWT.
Manusia mempunyai kedudukan yang mulia dihadapan Allah SWT, melampaui derajat malaikat-malaikat-Nya selama mereka menjalani kehidupannya sesuai dengan tuntunan dan fatwa dari Allah SWT. Akan tetapi, insan juga sanggup jatuh ke dalam derajat yang lebih hina daripada binatang apabila mereka durhaka kepada Allah SWT.
Dalam kehidupan di dunia, insan mempunyai dua kiprah utama. Peran tersebut yakni sebagai seorang khalifah dan sekaligus sebagai hamba Allah. Sebagai khalifah, insan berperan berbagi dan mendayagunakan segala aspek kehidupan di dunia. Sedangkan sebagai hamba Allah, insan berperan sebagai pengabdi yang senantiasa menghamba dan mencurahkan hidupnya guna memperoleh ridho dari Allah SWT.
Allah memberi kebebasan bagi insan untuk menentukan jalan hidup mirip apa yang akan dilaluinya dalam kehidupan di dunia. Manusia berhak mendapatkan ataupun menolak tanggungjawabnya baik sebagai khalifah maupun sebagai hamba Allah, dan pilihan tersebut akan dipertanggungjawabkan olehnya di hadapan Allah kelak.
III.2. SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari sempurna, dan oleh lantaran itu kami mengharapkan masukan-masukan dan kritik yang membangun dari Bapak Dosen Imam Ghazali, S.Ag serta dari teman-teman mahasiswa demi meningkatkan kualitas keilmuan dan keimanan kita selaku hamba Allah yang telah terpilih sebagai khalifah di muka bumi.
Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
Siauw, Felix Y.2003.Beyond The Inspiration.Khilafah Press.Jakarta.
Al-Qarni, A’idh bin Abdillah.2005.Manusia Bumi, Manusia Langit.Aqwam.Solo.
Marhijanto, Kholilah.Kisah Teladan 25 Nabi dan Rasul.1995.Arkola.Surabaya.