Makalah Ilmu Antropologi Dan Geografi
DINAMIKA DAN POTENSI KONFLIK PADA MASYARAKAT KOTA METROPOLITAN :
Antara Fakta Dan Solusi
Pendahuluan
Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dari para warganya, yang peranan-peran tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya.
Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat sebagai : (1) pemikiran bagi kehidupan masyarakat, yang secara bahu-membahu berlaku, tetapi penggunaannya sebagai contoh ialah berbeda-beda berdasarkan konteks lingkungan kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang merupakan hasil interpretasi atau pemikiran bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa, dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui aneka macam pranata yang tercakup dalam sistem nasional.
Kebudayaan kedua, ialah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan sukubangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasana-suasana sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan dalam aneka macam hubungan sosial dan pribadi yang suasananya ialah suasana sukubangsa.
Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota ialah kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu secara impulsif untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial. Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pemikiran bagi para pelaku dalam bertindak di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.
Suatu masyarakat sanggup bertahan dan berkembang bila ada produktifitas. Yaitu warganya sanggup menghasilkan sesuatu produk atau setidak-tidaknya sanggup menghidupi dirinya sendiri. Dan bagi yang tidak produktif akan menjadi parasit yang sanggup menghambat bahkan mematikan produktifitas tersebut. Dalam proses produktivitas tersebut ada aneka macam ancaman, gangguan yang sanggup mengganggu jalannya perjuangan dan bahkan mematikan produktivitas. Untuk melindungi atau menjaga warga masyarakat dalam melaksanakan produktivitasnya diharapkan adanya aturan, aturan maupun norma-norma. Dan untuk menegakkannya serta mengajak warga masyarakat untuk mentaatinya diharapkan institusi/pranata yang menanganinya salah satunya ialah polisi.
Masalah-masalah perkotaan begitu kompleks antara lain : penggunaan kekuatan sosial untuk menduduki tanah-tanah dalam wilayah kota yang bukan miliknya atau fasilitas-fasilitas lainnya, dan muncul wilayah-wilayah pemukiman liar dan kumuh di tempat perkotaan yang berfungsi sebagai kantong-kantong kemiskinan dan pensosialisasian kriminalitas, pelacuran, kenakalan dan kejahatan remaja, alkoholisme, narkoba dan aneka macam permasalahan sosial lainya. Secara keseluruhan masalah-masalah tersebut juga turut mendorong terwujudnya lingkungan hidup perkotaan yang tidak aman bahkan sanggup meresahkan akan terus muncul, berkembang, dan menjadi laten dalam kehidupan masyarakat.
KEAMANAN UMUM DI JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta ialah sebuah provinsi sekaligus ibu kota Indonesia. Karena Jakarta merupakan sebuah kota yang amat besar dan sekaligus ibu kota Indonesia, maka kota ini memiliki status yang sama dengan sebuah provinsi. Jakarta terletak di kepingan barat maritim pulau Jawa. Koordinatnya ialah 6°11′ LS 106°50′ BT. Hari jadi kota Jakarta ialah tanggal 22 Juni 1527, yang diperingati setiap tahunnya. Sedangkan luasnya ialah 661,62 km2 . Dengan jumlah penduduk 8.603.776 dengan kepadatan16.667/km2. Wilayah DKI terdiri dari 1 Kabupaten, 5Kodya/Kota, 44 Kecamatan dan 267 Kelurahan/Desa. Suku-suku yang tinggal di DKI ialah hampir semua suku yang ada di Indonesia. Yang menonjol antara lain: Betawi , Suku Jawa, Suku Sunda, Tionghoa (10%). Agama yang dianut Islam (86%), Protestan (6%), Nasrani (4%), Buddha (4%), sisanya Hindu dan lain-lain.
Jumlah penduduk di Jakarta sekitar 8.603.776 namun pada siang hari, angka tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit menyerupai Bekasi, Tangerang dan Depok akan menjadi kurang lebih 12 juta. Kota/kabupaten yang paling padat penduduknya ialah Jakarta Timur dengan 2.131.341 penduduk, sementara Kepulauan Seribu ialah kabupaten dengan paling sedikit penduduk, yaitu 19.545 jiwa.
JUMLAH PENDUDUK DKI & SEKITARNYA
PROVINSI/
KOTA/KABUPATEN
JUMLAH PENDUDUK
(JUTA JIWA) LUAS WILAYAH
(KM2)
Dki Jakarta 8.603.776 661,62
Kab. Bogor 3.798.212 2.237,09
Kota Bogor 816.860 108,98
Kota Depok 1.324.452 312,24
Kab. Tangerang 3.186,690 1.110,38
Kota Tangerang 1.466.884 164,31
Kab. Bekasi 1.797.900 1.065,36
Kota Bekasi 1.814.316 209.55
Total 21.190980 5769,53
SUMBER BPS PROP. DKI JAKARTA & BPS PROP. JABAR
Kota Jakarta juga merupakan salah satu kota di Asia yang banyak dibangun sentra perbelanjaan. Begitu juga dengan dibangunnya hypermarket menyerupai Carrefour, Matahari, Goro dan Makro yang belakangan ini menjadi tren belanja kalangan menengah di Jakarta.
Posisi DKI Jakarta sebagai sentra perekonomian telah mendorong orang-orang di luar Jakarta dan luar pulau Jawa untuk berbondong-bondong mencari rezeki di ibu kota Indonesia ini. Banyak dari orang-orang yang tiba ke Jakarta tidak dibekali dengan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga beberapa imbas sosial yang sering muncul ialah dilema pengangguran yang berkaitan bersahabat dengan dilema kemiskinan dan kriminalitas.
Jumlah pendatang di Jakarta (2002-2005)
Tahun Eksodus Influks Perbedaan
2002
2.643.273 2.874.801 231.528
2003
2.816.384 3.021.214 204.830
2004
2.213.812 2.404.168 190.356
2005
? 200.000-250.000*
Catatan: * perkiraan
Sumber: Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta
Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia ialah sentra politik, ekonomi, sosial budaya. Jakarta sebagai kota metropolitan yang sarat dengan aneka macam dilema yang kompleks sanggup menjadi tempat yang subur tumbuh dan berkembangnya aneka macam kejahatan.
Masalah kamtibmas di wilayah DKI dan sekitarnya yang terjadi semakin kompleks dan semakin meningkat. Dan ada yang sanggup dikategorikan sebagai dilema kontijensi, yaitu masalah-masalah kamtibmas yang kejadiannya sanggup terjadi kapan saja dan di mana saja serta sanggup mengenai siapa saja. Di samping itu juga berdampak luas dan juga sanggup mengakibatkan keresahan dan ketakutan bagi warga masyarakat serta kerusakan sosial yang besar. Penyebab dilema kontijensi tersebut sanggup dikategorikan antara lain yang disebabkan ulah manusia, disebabkan alam maupun lantaran kerusakan infrastruktur. Dampak dari dilema kontijensi tersebut ialah menghambat bahkan sanggup mematikan produktifitas warga masyarakat. Dan tentunya juga sanggup berdampak luas atau menyebar ke daerah-daerah lainya. Terhambatnya produktifitas warga masyarakat DKI dan sekitarnya sanggup mengganggu stabilitas negara.
Salah satu penyebab timbulnya permasalahan yang begitu kompleks tersebut antara lain adanya konflik. Sejalan dengan hal tersebut apa yang harus dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang sifatnya rutin (daily case) maupun untuk menangani aneka macam dilema yang sifatnya kontijensi?
Konflik dan Potensi Konflik
Konflik sanggup dilihat sebagai sebuah pcrjuangan antar individu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran pihak Iawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai. Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama ialah pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dan yang bersaing, maka dalam konflik tujuannya ialah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan ekspansi dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau perang antar dua kelompok atau Iebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan berulang.
Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara lantaran harus istirahat supaya sanggup melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain sehabis itu.
Para jago sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-tindakan sosial manusia, ialah sebagai hasil dan konflik. Menurut para jago sosiologi konflik, kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau kelompok berada di atas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan-kepentingan itu didorong oleh konflik-konflik antar individu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang biasa ada dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan model lain yang bertentangan tetapi relevan dengan model konflik ialah model ketaraturan yang digunakan untuk melihat aneka macam bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai sebuah bentuk keteraturan.
Dahrendorf, salah seorang tokoh yang menyebarkan model konflik, melihat bahwa kehidupan rnanusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi lantaran aneka macam aspek yang ada dalam masyarakat; Yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada warganya secara tidak merata. Oleh lantaran itu warga sebuah masyara.kat akan tergolong dalam mereka yang memiliki dan yang miskin dalam kaitannya dengan kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi aneka macam tindakan insan maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya sanggup dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang memiliki kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang memiliki kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang selalu ada dalam kehidupan insan bermasyarakat.
Bila kita mengikuti model Dahrendorf diatas, maka secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-ootensi konflik lantaran setiap warga masyarakat akan memiliki kepentingan yang harus dipenuhi yang dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan kepentingan seseorang lainnya sanggup merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, aturan adat, adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab. Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam aneka macam bentuk persaingan. Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan adanya perlakuan absolut dan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lawannya.
Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh adanya perasaan tertekan lantaran perbuatan pihak Iawan, yang dalam keadaan mana si pelaku tidak bisa untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak bisa untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku menyebarkan perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak Iawan, yang perasaan kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang merugikan dari pihak Iawannya. Kebencian yang mendaiam dari si pelaku yang selalu kalah biasanya terw’ujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak sanggup menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang sanggup dilihat dalam bentuk konflik fisik dan ekspresi diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut.
Konflik fisik yang menimbulkan kekalahannya oleh lawan akan menghentikan tindakan perlawanannya. Tidak berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak lawannya. Kebencian yang mendalam masih disimpan dalam hatinya, yang akan merupakan landasan semangat untuk menghancurkan pihak lawan. Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan maka ia akan berusaha untuk menghancurkannya. Yaitu, supaya merasa telah menang atau setidak-tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan tersebut.
Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang bersangkutan dalam kaitannya dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat, dan komuniti atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan sanggup diterima oleh seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku daiam masyarakat setempat, atau memang seharusnya demikian. Tetapi tidak sanggup diterima oleh yang bersangkutan bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hubungan antar sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan mayoritas dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai contoh untuk memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bahu-membahu menempati sebuah wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.
Perlakuan absolut oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak bisa diatasi dalam bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan absolut akan membekas dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya tragedi tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, lantaran tidak berani atau tidak bisa untuk melawannya, atau lantaran tertutup oleh aneka macam kesibukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam menyerupai ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka. Stereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang absolut tersebut.
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompok¬kelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-kata lain, dala konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing¬masing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang memperlihatkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar golongan yang mewakili oleh kelompok¬-kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya ialah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak Iawan mereka lihat sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan.
Dalain konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa yang berbeda yang semula ialah sahabat baik, akan menghapus hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila memiliki atribut-atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-cirii dari pihak lawan akan digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta klarifikasi mengenai jatidiri golongannya akan juga dihancurkan.
Diantara aneka macam konflik sosial yang yang terwujud sebagai konflik fisik, konflik antar suku bangsa ialah konflik yang tidak sanggup dengan gampang didamaikan. Karena, konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa aketidakadilan atau kesewenang-wenangan ataupun kekalahan telah dipahami sebagai dihancurkannya harga diri dan kehorrnatan.
Berbagai potensi konflik yang timbul dan dihadapi di Jakarta antara lain menyangkut :
a) Masalah Lalu lintas, baik kemacetan, rawan kecelakaan maupun pelanggaran yang kesemuanya diharapkan keterpaduan, baik petugas maupun para pemakai jalan serta keseimbangan sarana dan perasarana.
b) Masalah pembebasan tanah masih sering mengakibatkan protes dan tidak puasnya masyarakat terhadap ganti rugi dan timbulnya masalah penipuan/penggelapan surat-surat tanah yang sanggup mengakibatkan gangguan kamtibmas.
c) Faktor korelatif kriminogen kejadian-kejadian yang sanggup menjurus pada dilema SARA.
d) Masalah pengangguran merupakan dilema nasional yang menonjol, hal ini disebabkan lantaran krisis moneter yang berkepanjangan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja, sedangkan bawah umur putus sekolah tiap tahun meningkat jumlahnya.
e) Pengembangan tempat industri dan pemukiman, hal ini mengandung aneka macam imbas di dalam masyarakat, antara lain :
(1) Masalah pemilikan tanah
(a) Pemalsuan sertifikat.
(b) Penipuan dan penggelapan sertifikat.
(c) Masalah ganti rugi.
(d) Sengketa hak kepemilikan tanah.
(2) Masalah transportasi baik berupa sarana maupun prasarana yang belum seimbang dengan perkembangan penduduk.
(3) Meningkatnya masalah kriminalitas akhir berkembangnya tempat pemukiman khususnya di wilayah penyangga DKI Jakarta.
(4) Perkembangan tempat industri, hal ini memiliki imbas terhadap :
(a) Masalah tenaga kerja
(b) Masalah lingkungan (pencemaran udara dan air sekitarnya)
(5) Pengembangan tempat pariwisata memiliki imbas terhadap :
(a) Berkembangnya nilai budaya yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia.
(b) Timbulnya penyalahgunaan peruntukan sarana dan prasarana bidang wisata (hotel, penginapan/losmen dan sejenisnya) yang memerlukan pengawasan.
f) Sarana pelayanan umum antara lain :
(1) Tempat-tempat hiburan merupakan tempat dan lokasi FKK maupun PH yang sewaktu-waktu sanggup timbul menjadi AF.
(2) Sarana-sarana ibadah, disamping tempat melaksanakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, sanggup pula digunakan kelompok tertentu untuk acara yang bersifat politis simpel (ekstrim).
(3) Peningkatan sarana pendidikan akan menambah pula kerawanan terhadap gangguan Kamtibmas baik dalam bentuk :
(a) Kenakalan dewasa (Trektrekan Mobil/Motor dan penyalah-gunaan Narkotika).
(b) Perkelahian pelajar.
(c) Aksi corat-coret dan unjuk rasa.
(d) Tindakan lainnya.
(e) Pedagang asongan dan kaki lima merupakan imbas negatif dengan meningkatnya urbanisasi serta sulitnya mencari lapangan kerja sehingga menjadi titik rawan yang sanggup mengakibatkan gangguan Ka
Upaya penyelesaian konflik
Dalam konteks ini dilihat pemecahan konflik melalui kiprah dan fungsi polisi dalam masyarakat. Keberadaan Polisi dalam masyarakat salah satunya ialah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Mengapa demikian ? Suatu masyarakat sanggup hidup tumbuh dan berkembang bila ada produktifitas. Dalam masyarakat demokratis yang ditekankan ialah produktifitas, atau setidak-tidaknya sanggup menghidupi dirinya sendiri. Bagi yang tidak produktif akan menjadi parasit atau menjadi beban warga lainnya. Dalam proses produktifitas tersebut ada hambatan, gangguan, konflik yang sanggup mengganggu bahkan mengancurkan produktifitas tersebut. Untuk melindungi harkat dan martabat insan yang produktif tersebut diharapkan adanya atauran, hukum, nilai-nilai, moral dsb. Untuk menegakannya dan mengajak masyarakat mentaatinya diharapkan adanya institusi yang menanganinya salah satunya ialah polisi. Dengan demikian fungsi polisi dalam mendukung produktifitas masyarakat ialah memperlihatkan pelayanan keamanan. Dengan adanya rasa aman maka warga masyarakat akan sanggup melaksanakan aktifitas dan menghasilkan produksi yang mensejahterakan mereka.
Bagaimana seharusnya polisi memperlihatkan pelayanan keamanan di kota megapolitan ? ini merupakan pertanyaan dan pemikiran yang paling kritikal yang harus disiapkan, atau setidaknya disiapkan model polisi dan pemolisian dikota megapolitan Jakarta.
Upaya menuntaskan konflik ialah untuk mewujudkan keamanan dan rasa aman ini dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model sanggup dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat beragam dan secara sedikit demi sedikit memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia ialah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Upaya ini sanggup dimulai dengan pembuatan pemikiran etika dan pembakuannya sebagai contoh bertindak sesuai dengan budpekerti dan moral dalam aneka macam interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam aneka macam struktur acara dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin sanggup dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah tempat dalam aneka macam tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan aneka macam akomodasi dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal jalan masuk dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan honor dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melaksanakan KKN sanggup dibatasi atau ditiadakan.
Untuk mewujudkan hal itu juga diharapkan tata aturan yang wajar.Tata aturan berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde” ialah Hukum positif sebagai forum penata normatif di dalam kehidupan masyarakat. Fungsi aturan yang paling dasar ialah mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka artinya, semata-mata atas dasar kekuatan dan kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Dengan adanya aturan konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan berdasarkan siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif tidak membedakan antara yang besar lengan berkuasa dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan.
Menurut Coing yang dikutip Franz Magnis Suseno (1998: 78) dalam bukunya Etika Politik,: Ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum). Dari fungsi aturan sanggup ditarik kesimpulan bahwa yang hakiki dari aturan ialah harus niscaya dan adil lantaran pemikiran sikap itu menunjang suatu tatanan yang dinilai masuk akal dan sanggup dilaksanakan fungsinya dengan pasti.
• Kepastian hukum
Kepastian aturan berarti kepastian dalam pelaksanaannya ialah aturan yang yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan niscaya oleh negara. Kepastian aturan berarti bahwa setiap orang sanggup menuntut supaya aturan dilaksanakan dan tuntutan itu dipenuhi, dan setiap pelanggaran aturan akan ditindak dan dikenai hukuman berdasarkan aturan juga. Dalam hal ini termasuk bahwa alat-alat negara akan menjamin pelaksanaan aturan dan bertindak sesuai dengan norma dari aturan yang berlaku.
• Keadilan
Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa aturan berlaku umum. Dalam arti material dituntut supaya aturan sesuai mungkin dengan keinginan keadilan dalam masyarakat.
Keadilan menuntut supaya semua orang dalam situasi yang sama diperlakukan dengan sama. Dalam bidang aturan itu berarti bahwa aturan berlaku umum atau bahwa aturan tidak mengenal kekecualian. Kalau ada kekecualian itu maka kekecualian itu harus tercantum dalam aturan aturan itu. Makara dihadapan hukum, semua orang sama derajatnya, dan berhak mendapat proteksi aturan serta tidak ada yang kebal terhadap aturan Ini yang dimaksud asas kesamaan aturan (rechtsgleichheit ).
Keadilan aturan juga berarti material aturan (isi hukum) harus adil untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk tatanan aturan itu sendiri. Yang tentunya diakui dan dikehendaki oleh masyarakat, bukan sembarang tatanan normatif, tetapi juga menunjang kehidupan bersama berdasar apa yang dinilai baik dan wajar.
Yang juga tak kalah pentingnya ialah dengan membangun Kebuayaan institusi yang berkaitan dengan dilema keamanan dan rasa aman masyarakat hendaknya berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya dengan berpedoman :
1. Kebenaran, kebebasan, kejujuran.
2. Keadilan atau komunitas atau toleransi.
3. Cinta dan kasih.
4. Tanggung jawab dan
5. Penghargaan terhadap kehidupan.
Untuk menghadi krisis kepercayaan dan situasi yang kurang aman ketika ini perlu memperhatikan dan membangun sikap-sikap kepribadian yang besar lengan berkuasa sbb :
• Etika dan moral
Etika yang menjadi pokok bahasan di sini sanggup dipandang sebagai sarana orientasi bagi perjuangan insan untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat mendasar : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?Etika membantu kita untuk mengetahui bagaimana saya harus bertindak ,mengapa saya harus bertindak begini atau begitu serta kita sanggup mempertanggungjawabkan kehidupan kita tidak asal-asalan ataupun ikut-ikutan(franz magnis suseno 1985 :14).
Moral selalu mengacu pada baik buruknya insan saebagai manusia.Bidang moral ialah bidang kehidupan insan dilihat dari segi kebaikan manusia. Norma-norma moral ialah tolok ukur untuk memilih betul salahnya sikap dan tindakan insan dilihat dari segi baik buruknya sebagai insan dan bukan sebagai pelaku kiprah tertentu dan terbatas.
Ada banyak macam norma yang harus kita perhatikan ada norma – norma umum dan norma – norma khusus yang hanya belaku dalam bidang dan situasi yang khusus.
Norma umum ada tiga macam :
• Norma- norma sopan santun : menyangkut sikap lahiriah insan .Meskipun sikap lahiriah sanggup mengungkapkan sikap hati lantaran itu memiliki kualitas moral,namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.
• Norma- norma hukum ialah norma yang tidak dibiarkan bila dilanggar .Orang yang melanggar aturan niscaya dikenai eksekusi sebagai sangsi.Hukum tidak digunakan untuk mengukur baik buruknya seseorang sebagai insan ,melainkan untuk menjamin tertib umum.
• Norma-norma moral ialah tolok ukur yang digunakan masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.Maka dengan norma moral kita benar-benar dinilai.Itulah sebabnya penilian moral selalu berbobot.Kita tidak dilihat dari salah satu segi ,melainkan sebagai manusia.
Stake holders yang berkaitan dengan dilema keamanan ialah sebagai kepingan dari masyarakatnya yang memiliki kiprah danggung jawab memperlihatkan pelayanan keamanan hendaknya bisa menjawabpertanyaan untuk hidup dan menyikapi hal tersebut ?dan bagaimana kita harus mempertanggungjawabkannya ?serta bagaimana bunyi hati menyatakan diri?
Dasar setiap perjuangan untuk menjadi orang besar lengan berkuasa secara moral ialah kejujuran.Tanpa kejujuran kita sebagai insan tidak bisa maju selangkahpun lantaran kita belum bisa menjadi diri kita sendiri dan kita belum bisa untuk mengambil sikap yang lurus.Tanpa kejujuran nilai-nilai moral lainnya akan tidak berarti/bernilai.Sebagai contoh kita berbuat baik kepada orang lain tanpa kejujuran yang timbul ialah kemunafikan,sikap yang terpuji menyerupai “Sepi ing pamrih rame ing gawe (bahasa jawa )” akan menjadi kelicikan.Orang yang tidak jujur senantiasa dalam pelarian : ia lari dari orang lain lantaran takut atau merasa terancam, lari dari dirinya sendiri lantaran tidak berani menghadapi dirinya sendiri.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti adanya sikap terbuka dan fair:kita bersikap sesuai hati nurani dan bersikap wajar. Kita tidak menyembunyikan diri kita.kita bersperilaku sesuai standart-standart/norma –norma yang dilakukan orang lain kepada kita. Kita menyesuaikan bukan lantaran ketakutan atau kemunafikan , kebohongan, munafik melainkan sesuai hati nurani dan menghormati orang lain.
Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan bertanggung jawab, melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan dengan sebaik mungkin.Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap kiprah yang harus kita selesaikan dengan sebaik-baiknya dan juga mengatasi etika pertaturan, membuka wawasan secara luas, bersikap positif, kreatif, kritis dan obyektif.Kesediaan untuk bertanggung jawab membuktikan sikap batin yang besar lengan berkuasa dan mantap.
Sekarang ini Polisi Republik Indonesia menerapkan taktik Community policing melalui Polmas. Mengapa kita perlu mengadopsi community policing dalam penyelenggaraan kiprah Polri, sebagai alternatif pemolisiannya? Karena adanya perubahan sosial yang begitu cepat. Polisi menyadari akan kekurangan dan keterbatasannya dalam memelihara keteraturan sosial dan polisi tidak tahu kapan, dimana, siapa pelaku kejahatan. Untuk membuat dan memelihara keterturan sosial polisi memerlukan tunjangan atau kiprah serta warga masyarakat yang ikut berperan serta secara aktif. Dan untuk merespon kebutuhan masyarakat adanya rasa aman. Yang ditekankan dalam community policing ialah komunikasi dari hati-ke hati antar warga dalam lingkup kecil (komuniti).
Sejalan dengan pemikiran di atas untuk memahami community policing, ialah dengan memperhatikan hubungan fungsional antara masyarakat dan polisi. Karena, keberadaan polisi beserta fungsi-fungsinya ditentukan oleh corak masyarakat dan corak kebutuhan-kebutuhan akan pengayoman akan rasa aman.
Penutup
Sebagai epilog sanggup kita pikirkan bersama bahwa penyelesaian konflik tidak lagi dengan cara – cara kekerasan tetapi dengan obrolan atau komunikasi dan mencari solusi yang terbaik sebagai wujud masyarakat madani( civil society) .yang juga merupakan keinginan demokrasi dalam membangun insan Indonesia menuju tata kehidupan sodsial yang adil dan beradab. Penyelesaian konflik dalam mewujudkan keamanan dan rasa aman merupakan tanggung jawab kita bersama yang secara hakiki meliputi :
• Berdasarkan pada Supremasi Hukum.
• Memberikan jaminan dan proteksi HAM (hak asasi manusia).
• Adanya transparansi.
• Adanya pertanggung tanggapan publik (acountabilitas public).
• Pembatasan dan Pengawasan kewenangan kepolisian.
• Berorientasi pada masyarakat.
Dan bagi polisi dalam mengemberikan pelayanan keamanan dan rasa aman warga masyarakat Community policing merupakan salah satu model yang sanggup diacu sebagai model pemolisian yang proaktif dan problem solving dalam masyarakat yang demokratis. Yaitu (1) Polisi dan masyarakat bekerja sama untuk menuntaskan aneka macam dilema social yang terjadi di dalam masyarakat (2) Polisi berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan ganngguan kriminalitas atau dengan kata lain berupaya memperlihatkan jaminan keamanan, (3) lebih menekankan tindakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) berorientasi pada masyarakat dan (5) Senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Bayley Wiliiam G, 1995,
The Encyclopedia of Police Science ( second edition ), Newyork & London, Garland Publishing.
Bayley David H , 1994,
Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),jakarta, Cipta Manunggal.
---------------------, 1991,
Forces of Order Policing Modern Japan, University of california Press.
---------------------, 1998,
What Work in Policing, New York, Oxford University.
Beetham david dan Kevin Boyle, 2000,
Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius.
Chandra, Eka dkk, 2003,
Membangun Forum Warga, Emplementasi Partisipasi dan Penguatan Msyarakat Sipil, Bandung, Akatiga.
Cula Adi Suryadi, 1999,
Masyarakat madani, Jakarta, Rajawali Press.
Djamin,Awaloedin, 1999,
Menuju Polisi Republik Indonesia Mandiri yang profesional, Jakarta, Yayasan Tenaga Kerja.
Friedmann Robert, 1992,
Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Hikam Muhammad AS, 1998,
Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES.
Kuper Adam, & Jessica Kuper (2000),
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (terjemahan Rajawali Press, jakarta, Rajawali Press.
Mangun Wijaya YB, 1999,
Menuju Indonesia yang serba baru, Jakarta, Gramedia.
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia,1999,
Reformasi menuju Polisi Republik Indonesia yang Mandiri.
Meliala, Adrianus, 2002,
Problema reformasi Polri, Jakarta, Trio repro.
Niti Baskara / Tubagus Ronny Rahman, 2000,
Pembenahan Moralitas Sebagai Prasarat Perubahan Kinerja dan Perilaku Polri, Makalah yang disampaikan pada Sarasehan perihal Perubahan Pertahanan dan Kinerja Polisi Republik Indonesia Menghadapi Tantangan Tugas dan Harapan Masyarakat Dalam Era Demokratitasi, Jakarta, KIK UI-PTIK.
Rahardjo, Satjipto, , 2002,
Polisi Sipil,Jakarta, Gramedia
Sindhunata,2000,
Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius.
--------------------, Peregulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Yogyakarta, Kanisius.
Suparlan Parsudi, 1986,
Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar dalam Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat (Awijaya (editor), Jakarta, Akademika Presindo.
------------------------, 1996
Antropologi Perkotaan, Diktat Kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
------------------------, 1997,
Polisi dan Fungsinya Dalam Masyarakat, makalah Diskusi dengan Angkatan I KIK UI, jakarta, 6 Agustus 1997.
-------------------------, 2000,
Masyarakat beragam dan perawatannya, Jurnal Antropologi, Jakarta, Yayasan Obor.
---------------------------, 2004
Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta, YPKIK.
--------------------------, 2004 (ED),
Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Dami (Draft Persiapan Cetak), Jakarta, YPKIK
Suseno Frans Magniz, 1999,
Kuasa dan moral, Jakarta, Gramedia.
-----------------------------, 1999,
Etika Politik, Jakarta, Gramedia.
-----------------------------, 2000,
Mencari sosok Demokrasi,Jakarta, Gramedia .
Sutrisno Mudji ,2000,
Demokrasi semudah ucapankah ?, Yogyakarta,Kanisius.
Antara Fakta Dan Solusi
Pendahuluan
Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dari para warganya, yang peranan-peran tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya.
Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat sebagai : (1) pemikiran bagi kehidupan masyarakat, yang secara bahu-membahu berlaku, tetapi penggunaannya sebagai contoh ialah berbeda-beda berdasarkan konteks lingkungan kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang merupakan hasil interpretasi atau pemikiran bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa, dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui aneka macam pranata yang tercakup dalam sistem nasional.
Kebudayaan kedua, ialah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan sukubangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasana-suasana sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan dalam aneka macam hubungan sosial dan pribadi yang suasananya ialah suasana sukubangsa.
Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota ialah kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu secara impulsif untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial. Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pemikiran bagi para pelaku dalam bertindak di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.
Suatu masyarakat sanggup bertahan dan berkembang bila ada produktifitas. Yaitu warganya sanggup menghasilkan sesuatu produk atau setidak-tidaknya sanggup menghidupi dirinya sendiri. Dan bagi yang tidak produktif akan menjadi parasit yang sanggup menghambat bahkan mematikan produktifitas tersebut. Dalam proses produktivitas tersebut ada aneka macam ancaman, gangguan yang sanggup mengganggu jalannya perjuangan dan bahkan mematikan produktivitas. Untuk melindungi atau menjaga warga masyarakat dalam melaksanakan produktivitasnya diharapkan adanya aturan, aturan maupun norma-norma. Dan untuk menegakkannya serta mengajak warga masyarakat untuk mentaatinya diharapkan institusi/pranata yang menanganinya salah satunya ialah polisi.
Masalah-masalah perkotaan begitu kompleks antara lain : penggunaan kekuatan sosial untuk menduduki tanah-tanah dalam wilayah kota yang bukan miliknya atau fasilitas-fasilitas lainnya, dan muncul wilayah-wilayah pemukiman liar dan kumuh di tempat perkotaan yang berfungsi sebagai kantong-kantong kemiskinan dan pensosialisasian kriminalitas, pelacuran, kenakalan dan kejahatan remaja, alkoholisme, narkoba dan aneka macam permasalahan sosial lainya. Secara keseluruhan masalah-masalah tersebut juga turut mendorong terwujudnya lingkungan hidup perkotaan yang tidak aman bahkan sanggup meresahkan akan terus muncul, berkembang, dan menjadi laten dalam kehidupan masyarakat.
KEAMANAN UMUM DI JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta ialah sebuah provinsi sekaligus ibu kota Indonesia. Karena Jakarta merupakan sebuah kota yang amat besar dan sekaligus ibu kota Indonesia, maka kota ini memiliki status yang sama dengan sebuah provinsi. Jakarta terletak di kepingan barat maritim pulau Jawa. Koordinatnya ialah 6°11′ LS 106°50′ BT. Hari jadi kota Jakarta ialah tanggal 22 Juni 1527, yang diperingati setiap tahunnya. Sedangkan luasnya ialah 661,62 km2 . Dengan jumlah penduduk 8.603.776 dengan kepadatan16.667/km2. Wilayah DKI terdiri dari 1 Kabupaten, 5Kodya/Kota, 44 Kecamatan dan 267 Kelurahan/Desa. Suku-suku yang tinggal di DKI ialah hampir semua suku yang ada di Indonesia. Yang menonjol antara lain: Betawi , Suku Jawa, Suku Sunda, Tionghoa (10%). Agama yang dianut Islam (86%), Protestan (6%), Nasrani (4%), Buddha (4%), sisanya Hindu dan lain-lain.
Jumlah penduduk di Jakarta sekitar 8.603.776 namun pada siang hari, angka tersebut akan bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit menyerupai Bekasi, Tangerang dan Depok akan menjadi kurang lebih 12 juta. Kota/kabupaten yang paling padat penduduknya ialah Jakarta Timur dengan 2.131.341 penduduk, sementara Kepulauan Seribu ialah kabupaten dengan paling sedikit penduduk, yaitu 19.545 jiwa.
JUMLAH PENDUDUK DKI & SEKITARNYA
PROVINSI/
KOTA/KABUPATEN
JUMLAH PENDUDUK
(JUTA JIWA) LUAS WILAYAH
(KM2)
Dki Jakarta 8.603.776 661,62
Kab. Bogor 3.798.212 2.237,09
Kota Bogor 816.860 108,98
Kota Depok 1.324.452 312,24
Kab. Tangerang 3.186,690 1.110,38
Kota Tangerang 1.466.884 164,31
Kab. Bekasi 1.797.900 1.065,36
Kota Bekasi 1.814.316 209.55
Total 21.190980 5769,53
SUMBER BPS PROP. DKI JAKARTA & BPS PROP. JABAR
Kota Jakarta juga merupakan salah satu kota di Asia yang banyak dibangun sentra perbelanjaan. Begitu juga dengan dibangunnya hypermarket menyerupai Carrefour, Matahari, Goro dan Makro yang belakangan ini menjadi tren belanja kalangan menengah di Jakarta.
Posisi DKI Jakarta sebagai sentra perekonomian telah mendorong orang-orang di luar Jakarta dan luar pulau Jawa untuk berbondong-bondong mencari rezeki di ibu kota Indonesia ini. Banyak dari orang-orang yang tiba ke Jakarta tidak dibekali dengan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga beberapa imbas sosial yang sering muncul ialah dilema pengangguran yang berkaitan bersahabat dengan dilema kemiskinan dan kriminalitas.
Jumlah pendatang di Jakarta (2002-2005)
Tahun Eksodus Influks Perbedaan
2002
2.643.273 2.874.801 231.528
2003
2.816.384 3.021.214 204.830
2004
2.213.812 2.404.168 190.356
2005
? 200.000-250.000*
Catatan: * perkiraan
Sumber: Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta
Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia ialah sentra politik, ekonomi, sosial budaya. Jakarta sebagai kota metropolitan yang sarat dengan aneka macam dilema yang kompleks sanggup menjadi tempat yang subur tumbuh dan berkembangnya aneka macam kejahatan.
Masalah kamtibmas di wilayah DKI dan sekitarnya yang terjadi semakin kompleks dan semakin meningkat. Dan ada yang sanggup dikategorikan sebagai dilema kontijensi, yaitu masalah-masalah kamtibmas yang kejadiannya sanggup terjadi kapan saja dan di mana saja serta sanggup mengenai siapa saja. Di samping itu juga berdampak luas dan juga sanggup mengakibatkan keresahan dan ketakutan bagi warga masyarakat serta kerusakan sosial yang besar. Penyebab dilema kontijensi tersebut sanggup dikategorikan antara lain yang disebabkan ulah manusia, disebabkan alam maupun lantaran kerusakan infrastruktur. Dampak dari dilema kontijensi tersebut ialah menghambat bahkan sanggup mematikan produktifitas warga masyarakat. Dan tentunya juga sanggup berdampak luas atau menyebar ke daerah-daerah lainya. Terhambatnya produktifitas warga masyarakat DKI dan sekitarnya sanggup mengganggu stabilitas negara.
Salah satu penyebab timbulnya permasalahan yang begitu kompleks tersebut antara lain adanya konflik. Sejalan dengan hal tersebut apa yang harus dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang sifatnya rutin (daily case) maupun untuk menangani aneka macam dilema yang sifatnya kontijensi?
Konflik dan Potensi Konflik
Konflik sanggup dilihat sebagai sebuah pcrjuangan antar individu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran pihak Iawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai. Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama ialah pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dan yang bersaing, maka dalam konflik tujuannya ialah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan ekspansi dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau perang antar dua kelompok atau Iebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan berulang.
Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara lantaran harus istirahat supaya sanggup melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain sehabis itu.
Para jago sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-tindakan sosial manusia, ialah sebagai hasil dan konflik. Menurut para jago sosiologi konflik, kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau kelompok berada di atas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan-kepentingan itu didorong oleh konflik-konflik antar individu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang biasa ada dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan model lain yang bertentangan tetapi relevan dengan model konflik ialah model ketaraturan yang digunakan untuk melihat aneka macam bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai sebuah bentuk keteraturan.
Dahrendorf, salah seorang tokoh yang menyebarkan model konflik, melihat bahwa kehidupan rnanusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi lantaran aneka macam aspek yang ada dalam masyarakat; Yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada warganya secara tidak merata. Oleh lantaran itu warga sebuah masyara.kat akan tergolong dalam mereka yang memiliki dan yang miskin dalam kaitannya dengan kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi aneka macam tindakan insan maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya sanggup dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang memiliki kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang memiliki kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang selalu ada dalam kehidupan insan bermasyarakat.
Bila kita mengikuti model Dahrendorf diatas, maka secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-ootensi konflik lantaran setiap warga masyarakat akan memiliki kepentingan yang harus dipenuhi yang dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan kepentingan seseorang lainnya sanggup merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, aturan adat, adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab. Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam aneka macam bentuk persaingan. Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan adanya perlakuan absolut dan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lawannya.
Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh adanya perasaan tertekan lantaran perbuatan pihak Iawan, yang dalam keadaan mana si pelaku tidak bisa untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak bisa untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku menyebarkan perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak Iawan, yang perasaan kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang merugikan dari pihak Iawannya. Kebencian yang mendaiam dari si pelaku yang selalu kalah biasanya terw’ujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak sanggup menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang sanggup dilihat dalam bentuk konflik fisik dan ekspresi diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut.
Konflik fisik yang menimbulkan kekalahannya oleh lawan akan menghentikan tindakan perlawanannya. Tidak berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak lawannya. Kebencian yang mendalam masih disimpan dalam hatinya, yang akan merupakan landasan semangat untuk menghancurkan pihak lawan. Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan maka ia akan berusaha untuk menghancurkannya. Yaitu, supaya merasa telah menang atau setidak-tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan tersebut.
Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang bersangkutan dalam kaitannya dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat, dan komuniti atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan sanggup diterima oleh seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku daiam masyarakat setempat, atau memang seharusnya demikian. Tetapi tidak sanggup diterima oleh yang bersangkutan bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hubungan antar sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan mayoritas dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai contoh untuk memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bahu-membahu menempati sebuah wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.
Perlakuan absolut oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak bisa diatasi dalam bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan absolut akan membekas dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya tragedi tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, lantaran tidak berani atau tidak bisa untuk melawannya, atau lantaran tertutup oleh aneka macam kesibukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam menyerupai ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka. Stereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang absolut tersebut.
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompok¬kelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-kata lain, dala konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing¬masing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang memperlihatkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar golongan yang mewakili oleh kelompok¬-kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya ialah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak Iawan mereka lihat sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan.
Dalain konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa yang berbeda yang semula ialah sahabat baik, akan menghapus hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila memiliki atribut-atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-cirii dari pihak lawan akan digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta klarifikasi mengenai jatidiri golongannya akan juga dihancurkan.
Diantara aneka macam konflik sosial yang yang terwujud sebagai konflik fisik, konflik antar suku bangsa ialah konflik yang tidak sanggup dengan gampang didamaikan. Karena, konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa aketidakadilan atau kesewenang-wenangan ataupun kekalahan telah dipahami sebagai dihancurkannya harga diri dan kehorrnatan.
Berbagai potensi konflik yang timbul dan dihadapi di Jakarta antara lain menyangkut :
a) Masalah Lalu lintas, baik kemacetan, rawan kecelakaan maupun pelanggaran yang kesemuanya diharapkan keterpaduan, baik petugas maupun para pemakai jalan serta keseimbangan sarana dan perasarana.
b) Masalah pembebasan tanah masih sering mengakibatkan protes dan tidak puasnya masyarakat terhadap ganti rugi dan timbulnya masalah penipuan/penggelapan surat-surat tanah yang sanggup mengakibatkan gangguan kamtibmas.
c) Faktor korelatif kriminogen kejadian-kejadian yang sanggup menjurus pada dilema SARA.
d) Masalah pengangguran merupakan dilema nasional yang menonjol, hal ini disebabkan lantaran krisis moneter yang berkepanjangan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja, sedangkan bawah umur putus sekolah tiap tahun meningkat jumlahnya.
e) Pengembangan tempat industri dan pemukiman, hal ini mengandung aneka macam imbas di dalam masyarakat, antara lain :
(1) Masalah pemilikan tanah
(a) Pemalsuan sertifikat.
(b) Penipuan dan penggelapan sertifikat.
(c) Masalah ganti rugi.
(d) Sengketa hak kepemilikan tanah.
(2) Masalah transportasi baik berupa sarana maupun prasarana yang belum seimbang dengan perkembangan penduduk.
(3) Meningkatnya masalah kriminalitas akhir berkembangnya tempat pemukiman khususnya di wilayah penyangga DKI Jakarta.
(4) Perkembangan tempat industri, hal ini memiliki imbas terhadap :
(a) Masalah tenaga kerja
(b) Masalah lingkungan (pencemaran udara dan air sekitarnya)
(5) Pengembangan tempat pariwisata memiliki imbas terhadap :
(a) Berkembangnya nilai budaya yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia.
(b) Timbulnya penyalahgunaan peruntukan sarana dan prasarana bidang wisata (hotel, penginapan/losmen dan sejenisnya) yang memerlukan pengawasan.
f) Sarana pelayanan umum antara lain :
(1) Tempat-tempat hiburan merupakan tempat dan lokasi FKK maupun PH yang sewaktu-waktu sanggup timbul menjadi AF.
(2) Sarana-sarana ibadah, disamping tempat melaksanakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, sanggup pula digunakan kelompok tertentu untuk acara yang bersifat politis simpel (ekstrim).
(3) Peningkatan sarana pendidikan akan menambah pula kerawanan terhadap gangguan Kamtibmas baik dalam bentuk :
(a) Kenakalan dewasa (Trektrekan Mobil/Motor dan penyalah-gunaan Narkotika).
(b) Perkelahian pelajar.
(c) Aksi corat-coret dan unjuk rasa.
(d) Tindakan lainnya.
(e) Pedagang asongan dan kaki lima merupakan imbas negatif dengan meningkatnya urbanisasi serta sulitnya mencari lapangan kerja sehingga menjadi titik rawan yang sanggup mengakibatkan gangguan Ka
Upaya penyelesaian konflik
Dalam konteks ini dilihat pemecahan konflik melalui kiprah dan fungsi polisi dalam masyarakat. Keberadaan Polisi dalam masyarakat salah satunya ialah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Mengapa demikian ? Suatu masyarakat sanggup hidup tumbuh dan berkembang bila ada produktifitas. Dalam masyarakat demokratis yang ditekankan ialah produktifitas, atau setidak-tidaknya sanggup menghidupi dirinya sendiri. Bagi yang tidak produktif akan menjadi parasit atau menjadi beban warga lainnya. Dalam proses produktifitas tersebut ada hambatan, gangguan, konflik yang sanggup mengganggu bahkan mengancurkan produktifitas tersebut. Untuk melindungi harkat dan martabat insan yang produktif tersebut diharapkan adanya atauran, hukum, nilai-nilai, moral dsb. Untuk menegakannya dan mengajak masyarakat mentaatinya diharapkan adanya institusi yang menanganinya salah satunya ialah polisi. Dengan demikian fungsi polisi dalam mendukung produktifitas masyarakat ialah memperlihatkan pelayanan keamanan. Dengan adanya rasa aman maka warga masyarakat akan sanggup melaksanakan aktifitas dan menghasilkan produksi yang mensejahterakan mereka.
Bagaimana seharusnya polisi memperlihatkan pelayanan keamanan di kota megapolitan ? ini merupakan pertanyaan dan pemikiran yang paling kritikal yang harus disiapkan, atau setidaknya disiapkan model polisi dan pemolisian dikota megapolitan Jakarta.
Upaya menuntaskan konflik ialah untuk mewujudkan keamanan dan rasa aman ini dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model sanggup dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat beragam dan secara sedikit demi sedikit memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia ialah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Upaya ini sanggup dimulai dengan pembuatan pemikiran etika dan pembakuannya sebagai contoh bertindak sesuai dengan budpekerti dan moral dalam aneka macam interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam aneka macam struktur acara dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin sanggup dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah tempat dalam aneka macam tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan aneka macam akomodasi dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal jalan masuk dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan honor dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melaksanakan KKN sanggup dibatasi atau ditiadakan.
Untuk mewujudkan hal itu juga diharapkan tata aturan yang wajar.Tata aturan berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde” ialah Hukum positif sebagai forum penata normatif di dalam kehidupan masyarakat. Fungsi aturan yang paling dasar ialah mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka artinya, semata-mata atas dasar kekuatan dan kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Dengan adanya aturan konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan berdasarkan siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif tidak membedakan antara yang besar lengan berkuasa dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan.
Menurut Coing yang dikutip Franz Magnis Suseno (1998: 78) dalam bukunya Etika Politik,: Ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum). Dari fungsi aturan sanggup ditarik kesimpulan bahwa yang hakiki dari aturan ialah harus niscaya dan adil lantaran pemikiran sikap itu menunjang suatu tatanan yang dinilai masuk akal dan sanggup dilaksanakan fungsinya dengan pasti.
• Kepastian hukum
Kepastian aturan berarti kepastian dalam pelaksanaannya ialah aturan yang yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan niscaya oleh negara. Kepastian aturan berarti bahwa setiap orang sanggup menuntut supaya aturan dilaksanakan dan tuntutan itu dipenuhi, dan setiap pelanggaran aturan akan ditindak dan dikenai hukuman berdasarkan aturan juga. Dalam hal ini termasuk bahwa alat-alat negara akan menjamin pelaksanaan aturan dan bertindak sesuai dengan norma dari aturan yang berlaku.
• Keadilan
Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa aturan berlaku umum. Dalam arti material dituntut supaya aturan sesuai mungkin dengan keinginan keadilan dalam masyarakat.
Keadilan menuntut supaya semua orang dalam situasi yang sama diperlakukan dengan sama. Dalam bidang aturan itu berarti bahwa aturan berlaku umum atau bahwa aturan tidak mengenal kekecualian. Kalau ada kekecualian itu maka kekecualian itu harus tercantum dalam aturan aturan itu. Makara dihadapan hukum, semua orang sama derajatnya, dan berhak mendapat proteksi aturan serta tidak ada yang kebal terhadap aturan Ini yang dimaksud asas kesamaan aturan (rechtsgleichheit ).
Keadilan aturan juga berarti material aturan (isi hukum) harus adil untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk tatanan aturan itu sendiri. Yang tentunya diakui dan dikehendaki oleh masyarakat, bukan sembarang tatanan normatif, tetapi juga menunjang kehidupan bersama berdasar apa yang dinilai baik dan wajar.
Yang juga tak kalah pentingnya ialah dengan membangun Kebuayaan institusi yang berkaitan dengan dilema keamanan dan rasa aman masyarakat hendaknya berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya dengan berpedoman :
1. Kebenaran, kebebasan, kejujuran.
2. Keadilan atau komunitas atau toleransi.
3. Cinta dan kasih.
4. Tanggung jawab dan
5. Penghargaan terhadap kehidupan.
Untuk menghadi krisis kepercayaan dan situasi yang kurang aman ketika ini perlu memperhatikan dan membangun sikap-sikap kepribadian yang besar lengan berkuasa sbb :
• Etika dan moral
Etika yang menjadi pokok bahasan di sini sanggup dipandang sebagai sarana orientasi bagi perjuangan insan untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat mendasar : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?Etika membantu kita untuk mengetahui bagaimana saya harus bertindak ,mengapa saya harus bertindak begini atau begitu serta kita sanggup mempertanggungjawabkan kehidupan kita tidak asal-asalan ataupun ikut-ikutan(franz magnis suseno 1985 :14).
Moral selalu mengacu pada baik buruknya insan saebagai manusia.Bidang moral ialah bidang kehidupan insan dilihat dari segi kebaikan manusia. Norma-norma moral ialah tolok ukur untuk memilih betul salahnya sikap dan tindakan insan dilihat dari segi baik buruknya sebagai insan dan bukan sebagai pelaku kiprah tertentu dan terbatas.
Ada banyak macam norma yang harus kita perhatikan ada norma – norma umum dan norma – norma khusus yang hanya belaku dalam bidang dan situasi yang khusus.
Norma umum ada tiga macam :
• Norma- norma sopan santun : menyangkut sikap lahiriah insan .Meskipun sikap lahiriah sanggup mengungkapkan sikap hati lantaran itu memiliki kualitas moral,namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.
• Norma- norma hukum ialah norma yang tidak dibiarkan bila dilanggar .Orang yang melanggar aturan niscaya dikenai eksekusi sebagai sangsi.Hukum tidak digunakan untuk mengukur baik buruknya seseorang sebagai insan ,melainkan untuk menjamin tertib umum.
• Norma-norma moral ialah tolok ukur yang digunakan masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.Maka dengan norma moral kita benar-benar dinilai.Itulah sebabnya penilian moral selalu berbobot.Kita tidak dilihat dari salah satu segi ,melainkan sebagai manusia.
Stake holders yang berkaitan dengan dilema keamanan ialah sebagai kepingan dari masyarakatnya yang memiliki kiprah danggung jawab memperlihatkan pelayanan keamanan hendaknya bisa menjawabpertanyaan untuk hidup dan menyikapi hal tersebut ?dan bagaimana kita harus mempertanggungjawabkannya ?serta bagaimana bunyi hati menyatakan diri?
Dasar setiap perjuangan untuk menjadi orang besar lengan berkuasa secara moral ialah kejujuran.Tanpa kejujuran kita sebagai insan tidak bisa maju selangkahpun lantaran kita belum bisa menjadi diri kita sendiri dan kita belum bisa untuk mengambil sikap yang lurus.Tanpa kejujuran nilai-nilai moral lainnya akan tidak berarti/bernilai.Sebagai contoh kita berbuat baik kepada orang lain tanpa kejujuran yang timbul ialah kemunafikan,sikap yang terpuji menyerupai “Sepi ing pamrih rame ing gawe (bahasa jawa )” akan menjadi kelicikan.Orang yang tidak jujur senantiasa dalam pelarian : ia lari dari orang lain lantaran takut atau merasa terancam, lari dari dirinya sendiri lantaran tidak berani menghadapi dirinya sendiri.
Bersikap jujur terhadap orang lain berarti adanya sikap terbuka dan fair:kita bersikap sesuai hati nurani dan bersikap wajar. Kita tidak menyembunyikan diri kita.kita bersperilaku sesuai standart-standart/norma –norma yang dilakukan orang lain kepada kita. Kita menyesuaikan bukan lantaran ketakutan atau kemunafikan , kebohongan, munafik melainkan sesuai hati nurani dan menghormati orang lain.
Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan bertanggung jawab, melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan dengan sebaik mungkin.Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap kiprah yang harus kita selesaikan dengan sebaik-baiknya dan juga mengatasi etika pertaturan, membuka wawasan secara luas, bersikap positif, kreatif, kritis dan obyektif.Kesediaan untuk bertanggung jawab membuktikan sikap batin yang besar lengan berkuasa dan mantap.
Sekarang ini Polisi Republik Indonesia menerapkan taktik Community policing melalui Polmas. Mengapa kita perlu mengadopsi community policing dalam penyelenggaraan kiprah Polri, sebagai alternatif pemolisiannya? Karena adanya perubahan sosial yang begitu cepat. Polisi menyadari akan kekurangan dan keterbatasannya dalam memelihara keteraturan sosial dan polisi tidak tahu kapan, dimana, siapa pelaku kejahatan. Untuk membuat dan memelihara keterturan sosial polisi memerlukan tunjangan atau kiprah serta warga masyarakat yang ikut berperan serta secara aktif. Dan untuk merespon kebutuhan masyarakat adanya rasa aman. Yang ditekankan dalam community policing ialah komunikasi dari hati-ke hati antar warga dalam lingkup kecil (komuniti).
Sejalan dengan pemikiran di atas untuk memahami community policing, ialah dengan memperhatikan hubungan fungsional antara masyarakat dan polisi. Karena, keberadaan polisi beserta fungsi-fungsinya ditentukan oleh corak masyarakat dan corak kebutuhan-kebutuhan akan pengayoman akan rasa aman.
Penutup
Sebagai epilog sanggup kita pikirkan bersama bahwa penyelesaian konflik tidak lagi dengan cara – cara kekerasan tetapi dengan obrolan atau komunikasi dan mencari solusi yang terbaik sebagai wujud masyarakat madani( civil society) .yang juga merupakan keinginan demokrasi dalam membangun insan Indonesia menuju tata kehidupan sodsial yang adil dan beradab. Penyelesaian konflik dalam mewujudkan keamanan dan rasa aman merupakan tanggung jawab kita bersama yang secara hakiki meliputi :
• Berdasarkan pada Supremasi Hukum.
• Memberikan jaminan dan proteksi HAM (hak asasi manusia).
• Adanya transparansi.
• Adanya pertanggung tanggapan publik (acountabilitas public).
• Pembatasan dan Pengawasan kewenangan kepolisian.
• Berorientasi pada masyarakat.
Dan bagi polisi dalam mengemberikan pelayanan keamanan dan rasa aman warga masyarakat Community policing merupakan salah satu model yang sanggup diacu sebagai model pemolisian yang proaktif dan problem solving dalam masyarakat yang demokratis. Yaitu (1) Polisi dan masyarakat bekerja sama untuk menuntaskan aneka macam dilema social yang terjadi di dalam masyarakat (2) Polisi berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan ganngguan kriminalitas atau dengan kata lain berupaya memperlihatkan jaminan keamanan, (3) lebih menekankan tindakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) berorientasi pada masyarakat dan (5) Senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Bayley Wiliiam G, 1995,
The Encyclopedia of Police Science ( second edition ), Newyork & London, Garland Publishing.
Bayley David H , 1994,
Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),jakarta, Cipta Manunggal.
---------------------, 1991,
Forces of Order Policing Modern Japan, University of california Press.
---------------------, 1998,
What Work in Policing, New York, Oxford University.
Beetham david dan Kevin Boyle, 2000,
Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius.
Chandra, Eka dkk, 2003,
Membangun Forum Warga, Emplementasi Partisipasi dan Penguatan Msyarakat Sipil, Bandung, Akatiga.
Cula Adi Suryadi, 1999,
Masyarakat madani, Jakarta, Rajawali Press.
Djamin,Awaloedin, 1999,
Menuju Polisi Republik Indonesia Mandiri yang profesional, Jakarta, Yayasan Tenaga Kerja.
Friedmann Robert, 1992,
Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Hikam Muhammad AS, 1998,
Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES.
Kuper Adam, & Jessica Kuper (2000),
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (terjemahan Rajawali Press, jakarta, Rajawali Press.
Mangun Wijaya YB, 1999,
Menuju Indonesia yang serba baru, Jakarta, Gramedia.
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia,1999,
Reformasi menuju Polisi Republik Indonesia yang Mandiri.
Meliala, Adrianus, 2002,
Problema reformasi Polri, Jakarta, Trio repro.
Niti Baskara / Tubagus Ronny Rahman, 2000,
Pembenahan Moralitas Sebagai Prasarat Perubahan Kinerja dan Perilaku Polri, Makalah yang disampaikan pada Sarasehan perihal Perubahan Pertahanan dan Kinerja Polisi Republik Indonesia Menghadapi Tantangan Tugas dan Harapan Masyarakat Dalam Era Demokratitasi, Jakarta, KIK UI-PTIK.
Rahardjo, Satjipto, , 2002,
Polisi Sipil,Jakarta, Gramedia
Sindhunata,2000,
Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius.
--------------------, Peregulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Yogyakarta, Kanisius.
Suparlan Parsudi, 1986,
Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar dalam Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat (Awijaya (editor), Jakarta, Akademika Presindo.
------------------------, 1996
Antropologi Perkotaan, Diktat Kuliah, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
------------------------, 1997,
Polisi dan Fungsinya Dalam Masyarakat, makalah Diskusi dengan Angkatan I KIK UI, jakarta, 6 Agustus 1997.
-------------------------, 2000,
Masyarakat beragam dan perawatannya, Jurnal Antropologi, Jakarta, Yayasan Obor.
---------------------------, 2004
Hubungan Antar Suku Bangsa, Jakarta, YPKIK.
--------------------------, 2004 (ED),
Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Dami (Draft Persiapan Cetak), Jakarta, YPKIK
Suseno Frans Magniz, 1999,
Kuasa dan moral, Jakarta, Gramedia.
-----------------------------, 1999,
Etika Politik, Jakarta, Gramedia.
-----------------------------, 2000,
Mencari sosok Demokrasi,Jakarta, Gramedia .
Sutrisno Mudji ,2000,
Demokrasi semudah ucapankah ?, Yogyakarta,Kanisius.