Makalah Adat Profesi Hakim
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan negara yg merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan & keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yg tercantum pula dalam Pasal 1 Un&g-Un&g Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yg diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman / yudikatif dipegang oleh lembaga- forum yg telah ditentukan oleh Un&g-Un&g Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tiga forum negara yg termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), & Komisi Yudisial (KY). Namun, berdasarkan Pasal 24 ayat (2), hanya MA (& ba& peradilan di bawahnya) & MK yg merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, se&gkan KY tidak mempunyai kewenangan tersebut sehingga ba& ini sering disebut sebagai forum ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu salah satu unsur penting dalam sebuah negara yg berdasarkan aturan (rechtsstaat). Hanya pengadilan yg memenuhi kriteria sanggup berdiri diatas kaki sendiri (independen), netral (tidak berpihak), & kompeten yg sanggup menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh lantaran itu, posisi hakim sebagai pemain drama utama forum peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yg dimilikinya. Melalui putusannya, hakim sanggup mengubah, mengalihkan, / bahkan mencabut hak & kebebasan warga negara, & semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan aturan & keadilan. Besarnya kewenangan & tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yg selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1]
Setiap profesi di banyak sekali bi&g mempunyai nilai-nilai yg dijunjung untuk dijadikan anutan dalam kehidupan profesi yg bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu isyarat etik yg didasarkan pada nilai-nilai yg berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yg bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib & sikap hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[2] Seiring berjalannya waktu, perkembangan banyak sekali hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim & Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yg paling terkini yaitu ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yg disusun KY, sehingga tragedi ini menjadi belahan dari ketidaksepahaman antara MA & KY.
Berkaitan dengan fenomena yg tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA & KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pi&a Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya beropini bahwa suatu isyarat etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah isyarat etik harus disusun oleh profesi yg bersangkutan yg akan menjalankan isyarat etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila isyarat etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yg akan menjadikan isyarat etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah anutan untuk melaksanakan pekerjaan dibentuk sendiri oleh pihak yg akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, isyarat etik dibentuk untuk mengatur sikap & sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[3]
Penegakan supremasi aturan sebagai belahan dari aktivitas reformasi telah menjadi komitmen pemerintah semenjak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga ketika ini. Namun demikian, impian pencari keadilan terhadap forum peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya sanggup memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa forum peradilan belum ibarat yg diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yg mahal, manajemen yg berbelit-belit, perbuatan & tingkah laris pejabat peradilan yg dianggap tercela, hingga dugaan a&ya durjana peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap forum peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan semenjak awal reformasi hingga ketika ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di ba& peradilan cenderung menguat & merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan & kepercayaan ba& peradilan terhadap masyarakat & dunia internasional. Keadaan ba& peradilan yg demikian mendesak pihak- pihak yg berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melaksanakan upaya- upaya luar biasa yg berorientasi kepada terciptanya ba& peradilan & hakim yg sanggup menjamin masyarakat memperoleh keadilan, & diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perun&g-un&gan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di forum peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain yaitu tidak efektifnya pengawasan internal yg diterapkan di ba& peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai forum pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:[4]
1. kualitas & integritas pengawas yg tidak memadai;
2. proses investigasi disiplin yg tidak transparan;
3. belum a&ya fasilitas bagi masyarakat yg dirugikan untuk memberikan pengaduan, memantau proses serta alhasil (ketiadaan akses);
4. semangat membela sesama korps (esprit de corps) yg mengakibatkan penjatuhan eksekusi tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yg jelek niscaya akan mendapat reaksi dari pihak yg selama ini mendapatkan laba dari kondisi yg jelek itu; &
5. tidak terdapat kehendak yg berpengaruh dari pimpinan forum penegak aturan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
Hal-hal yg diuraikan di atas memperlihatkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal ba& peradilan intinya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu a&ya semangat membela sesama korps (esprit de corps) & tidak a&ya kehendak yg sungguh-sungguh dari pimpinan ba& peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yg terbukti melaksanakan pelanggaran aturan & isyarat etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan ba& peradilan yg bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh lantaran itu, kehadiran suatu forum khusus yg menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi duduk masalah dalam paper ini yaitu :
a. Bagaimanakah Profesi Hakim & Karakteristiknya..?
b. Bagaimanakah tangung jawab profesi Hakim...?
c. Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim...?
1.3 Tujuan Pembuatan Paper
Tujuan pembuatan paper yaitu untuk memenuhi salah satu kiprah mata perkuliahan Etika & Tanggung Jawab Profesi,& untuk menawarkan pengetahuan bagi pembaca khususnya untuk pembuat paper ini & umumnya untuk para mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2.1 Profesi Hakim & Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yg berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Un&g-Un&g Nomor 8 Tahun 1981 perihal Hukum Acara Pi&a / yg biasa disebut Kitab Un&g-Un&g Hukum Acara Pi&a (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim yaitu pejabat peradilan negara yg diberi wewenang oleh un&g-un&g untuk mengadili.[5]Se&gkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, & memutus masalah berdasarkan asas bebas, jujur, & tidak memihak di si&g pengadilan dalam hal & berdasarkan tata cara yg diatur dalam un&g-un&g.[6]
Hakim mempunyai kedudukan & peranan yg penting demi tegaknya negara hukum. Oleh lantaran itu, terdapat beberapa nilai yg dianut & wajib dihormati oleh penyan&g profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat / kualitas dari sesuatu yg berguna bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan lkamusan, alasan, / motivasi dalam bersikap & bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu yaitu sebagai berikut.[7]
1. Profesi hakim yaitu profesi yg merdeka guna menegakkan aturan & keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara aturan Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan & keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, & biaya ringan, biar keadilan tersebut sanggup dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang & wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk mengusut & mengadili suatu masalah yg diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada / kurang jelas. Apabila hakim melihat a&ya kekosongan aturan lantaran tidak ada / kurang jelasnya aturan yg mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai aturan yg hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kolaborasi & kewibawaan korps. Nilai kolaborasi ini tampak dari persi&gan yg berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melaksanakan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap & tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Se&gkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada forum peradilan yg lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Un&g- Un&g perihal Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan & dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perun&g-un&gan yg bersangkutan / sumber aturan tak tertulis yg dijadikan dasar untuk mengadili."[8]
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yg menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam investigasi suatu masalah apabila ia mempunyai hu.bungan darah dengan pihak-pihak yg terlibat dalam proses investigasi masalah tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9]
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi aturan sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh lantaran itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yg pada hakikatnya merupakan pelayanan pada insan & masyarakat. Setiap profesi mempunyai etika yg pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. [10]
1. Profesi harus dipan&g sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam membuatkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga sanggup menjamin mutu & peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bi&g aturan yg secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk mempunyai suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup kiprah & kewajibannya. Salah satu unsur yg membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya yaitu a&ya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yg diterapkan bagi setiap orang yg akan mengemban profesi ini.
2.2 Persyaratan Calon Hakim
Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Un&g-Un&g Nomor 8 Tahun 2004 perihal Perubahan2 atas Un&g-Un&g Nomor 2 Tahun 1986 perihal Peradilan Umum, seseorang hanya sanggup diangkat menjadi hakim kalau telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11]
a. Warga Negara Indonesia.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila & Un&g-Un&g Dasar 1945.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya / bukan seorang yg terlibat pribadi /pun tak pribadi dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI / organisasi terlarang lainnya.
e. Pegawai Negeri.
f. Sarjana hukum.
g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
h. Berwibawa, jujur, adil, & berkelakuan baik.
2.3 Pendidikan & Pelatihan Calon Hakim[12]
Proses pendidikan & training (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan & sangat dekat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain dipakai sebagai jadwal orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para penerima untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yg terarah belum terlihat pada tahap yg disebut Diklat Praktik I ini. Para penerima diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf manajemen pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan, yg merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
Setelah melalui proses pengangkatan & memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para penerima diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yg diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan & Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para penerima akan mendapatkan banyak sekali materi keahlian di bi&g hukum, & mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para penerima diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di banyak sekali pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yg disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yg sudah lebih mengarah pada pelaksanaan kiprah hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para penerima yg dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.
2.4 Pola Rekrutmen & Kualitas Hakim
Bagaimana prosedur perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan memilih kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yg semenjak awal memang mempunyai kapabilitas & wawasan aturan yg mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yg nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin si&g yaitu hakim-hakim yg berkualitas terbaik. Faktanya, banyak sekali putusan pengadilan yg kontroversial terus bermunculan sehingga banyak sekali pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan /pun cacat aturan pada putusan yg dikeluarkan oleh para hakim bisa, jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yg selama ini diterapkan di Indonesia.
Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada masalah Buloggate yg membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi aturan & amat mencederai perasaan aturan & keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yg memutus masalah tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, se&gkan sisanya yaitu hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan masalah korupsi &a non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan masalah ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan a&ya disparitas kualitas antara hakim karir & hakim non- karir.[13]
Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, spesialis perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yg lahir dari sistem Civil LaW) cenderung mempunyai mentalitas birokrat, kurang mempunyai kepercayaan diri & pemikiran yg mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu / takut untuk buat keputusan yg kontroversial & mempunyai dampak politik yg besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yg sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, / akademisi.[14]
Menurut Reza Indragiri Amriel, andal psikologi forensik lulusan The University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, harus menjadi fokus biar sumber daya insan (SDM) sanggup berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).[15] Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan kondisi yg ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim ibarat di bawah ini.[16]
1. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (& para pemangku otoritas aturan pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim semenjak usainya Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak a&ya model kompetensi yg menjadi pola mengenai huruf ideal yg sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.
2. Dalam survei yg dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, ketika ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yg menyebutkan bahwa penambahan2 jumlah hakim & staf pendukung sebagai prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas personel forum kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah abdnegara peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yg sanggup menjadi alternatif solusi untuk membuatkan integritas hakim sebagai berikut.[17]
1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, & berkesinam.bungan. Ini artinya, evaluasi ketat tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan evaluasi secara bersiklus pula. Prinsipnya, semakin sentral kiprah SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut.
2. Ke depan perlu dirumuskan pola kinerja (performance stkamurds / distinct job manual) & perangkat aturan organisasi lainnya sebagai anutan pengembangan karir para hakim.
2.5 Tanggung Jawab Profesi
Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yg harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi & bi&g apapun. Unsur-unsur tersebut yaitu sebagai berikut.[18]
1. Tugas, yaitu kewajiban & kewenangan / kekuasaan yg harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut perihal cara melaksanakannya.
2. Aparat, yaitu pelaksana kiprah tersebut yg terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, & penunjang.
3. Lembaga, yaitu wadah (struktur & organisasi) beserta sarana & prasarana kawasan para abdnegara melaksanakan tugasnya.
Bagi seorang aparat, mendapat suatu kiprah berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yg terkait tiga hal, yaitu:
1. mendapat kepercayaan untuk sanggup mengemban tugas;
2. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; &
3. merupakan suatu amanat yg harus dijaga & dijalankan.
Tanggung jawab sanggup dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab
moral, tanggung jawab hukum, & tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral yaitu tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai & norma-norma yg berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yg bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu forum yg merupakan wadah para abdnegara bersangkutan. Sementara tanggung jawab aturan diartikan sebagai tanggung jawab yg menjadi beban abdnegara untuk sanggup melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Se&gkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi abdnegara untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yg berlaku dalam bi&g profesi yg bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[19]
2.6 Tanggung Jawab Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan final profesi hakim yaitu ditegakkannya keadilan. Cita aturan keadilan yg terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus sanggup diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yg terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yg telah usang menjadi anutan profesi ini semenjak masa awal perkembangan aturan dalam peradaban insan yaitu The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20]
1. To hear corteously (mendengar dengan sopan & beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan berakal & bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Peradaban Islam pun mempunyai literatur sejarah di bi&g peradilan, salah satu yg masih tercatat yaitu risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yg selain mengungkapkan perihal pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, & pembuktian, juga menjelaskan perihal etika profesi. Dalam risalah dituliskan isyarat etik hakim antara lain di bawah ini.[21]
1. Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pan&gan, & putusan sehingga pihak yg merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yg lemah tidak berputus asa dalam perjuangan memperoleh keadilan hakim.
2. Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yg bersengketa kecuali perdamaian yg menghalalkan yg haram / mengharamkan yg halal.
Dalam bertingkah laku, sikap & sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:[22]
Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana / berwibawa;
Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur / tidak tercela; &
Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwuju& dari sikap & sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus mempunyai etika kepribadian, yakni:[23]
a. percaya & takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, & martabat hakim;
c. berkelakuan baik & tidak tercela;
d. menjadi tela& bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila & kelakuan yg dicela oleh masyarakat;
f. tidak melaksanakan perbuatan yg merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. sanggup dipercaya; &
k. berpan&gan luas.
2.7 Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, & etika kepribadian yg harus dimiliki oleh hakim ibarat telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persi&gan pada ketika hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yg ia terapkan dalam menjalankan tugasnya yaitu tidak mengikutsertakan istri ke ruang si&g di pengadilan ketika se&g memimpin persi&gan.[24] Secara umum, yg harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yg menjadi pencari keadilan dalam persi&gan ialah:[25]
1. bersikap & bertindak berdasarkan garis-garis yg ditentukan dalam aturan jadwal yg berlaku;
2. tidak dibenarkan bersikap yg memperlihatkan memihak / bersimpati / antipati terhadap pihak-piha yg berperkara;
3. harus bersikap sopan, tegas, & bijaksana dalam memimpin si&g, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4. harus menjaga kewibawaan & kekhidmatan persi&gan; &
5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran & keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:[26]
1. taat kepada pimpinan;
2. menjaankan tugas-tugas yg telah digariskan dengan jujur & ikhlas;
3. berusaha memberi saran-saran yg membangun;
4. mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; &
5. tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
Se&gkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:[27]
1. memelihara & memupuk hu.bungan kolaborasi yg baik antarsesama rekan;
2. mempunyai rasa setia kawan, tenggang rasa, & saling menghargai antarsesama rekan;
3. mempunyai kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; &
4. menjaga nama baik & martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:[28]
1. harus mempunyai sifat kepemimpinan;
2. membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
3. harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yg baik;
4. memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; &
5. memberi contoh kedisiplinan.
2.8 Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap & perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]
1. mempunyai kesehatan jasmani & rohani;
2. berkelakuan baik & tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila & kelakuan yg dicela oleh masyarakat; &
5. tidak melaksanakan perbuatan-perbuatan yg merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:[30]
1. menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik berdasarkan norma aturan maupun norma kesusilaan;
2. menjaga ketentraman & keutuhan keluarga & rumah tangga;
3. menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan & pan&gan masyarakat; &
4. tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan & mencolok.
Se&gkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:[31]
1. selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
2. dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; &
3. harus menjaga nama baik & martabat hakim.
2.9 Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa peraturan perun&g-un&gan yg mempunyai kaitan dengan hakim & peradilan mencantumkan & mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab aturan profesi hakim.
Un&g-Un&g Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yg harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, & memahami nilai-nilai aturan & rasa keadilan yg hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pi&a, hakim wajib memperhatikan pula sifat yg baik & jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); &
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persi&gan apabila terikat hu.bungan keluarga sedarah / semenda hingga derajat ketiga, / hu.bungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, / Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain peraturan perun&g-un&gan yg menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yg mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Un&g-Un&g Nomor 5 Tahun 2004 perihal Mahkamah Agung. Un&g-un&g ini mengatur ketentuan-ketentuan yg harus ditaati & menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
- pelaksana putusan Mahkamah Agung;
- wali, pengampu, & pejabat yg berkaitan dengan suatu masalah yg akan / se&g diperiksa olehnya;
- penasehat hukum; &
- pengusaha.
b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung sanggup diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
- dijatuhi pi&a penjara berdasarkan putusan pengadilan lantaran melaksanakan tindak pi&a yg diancam dengan pi&a penjara 5 (lima) tahun / lebih;
- melaksanakan perbuatan tercela;
- terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan kiprah pekerjaannya;
- melanggar sumpah / janji jabatan; &
- melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persi&gan apabila terikat hu.bungan keluarga sedarah / semenda hingga derajat ketiga, / hu.bungan suami / isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota / Panitera pada majelis hakim.
d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan kalau seorang hakim yg memutus masalah dalam tingkat pertama / tingkat banding, kemudian telah menjadi
Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dihentikan mengusut masalah yg sama.
e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu masalah yg ia sendiri berkepentingan, baik pribadi maupun tidak langsung. Di samping kedua un&g-un&g di atas, peraturan berbentuk un&g- un&g lainnya yg mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim ialah:
1. Un&g-Un&g Nomor 3 Tahun 2006 perihal Perubahan2 atas Un&g- Un&g Nomor 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama;
2. Un&g-Un&g Nomor 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hu.bungan Industrial;
3. Un&g-Un&g Nomor 8 Tahun 2004 perihal Perubahan2 atas Un&g- Un&g Nomor 2 Tahun 1986 perihal Peradilan Umum;
4. Un&g-Un&g Nomor 9 Tahun 2004 perihal Perubahan2 atas Un&g- Un&g Nomor 5 Tahun 1986 perihal Peradilan Tata Usaha Negara;
5. Un&g-Un&g Nomor 24 Tahun 2003 perihal Mahkamah Konstitusi;
6. Un&g-Un&g Nomor 14 Tahun 2002 perihal Pengadilan Pajak; &
7. Un&g-Un&g Nomor 31 Tahun 1997 perihal Peradilan Militer.
2.10 Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yg terakhir yaitu tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, evaluasi terhadap sesuai / tidaknya tindakan yg dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yg berlaku menjadi hal yg paling diutamakan. Selain itu, evaluasi terhadap kinerja & profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut bisa mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bi&g hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi & formil. Oleh lantaran itu, yaitu suatu hal yg mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai aturan jadwal di persi&gan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis / dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yg harus dijatuhi sanksi.
Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yg diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman / yudikatif dipegang oleh lembaga- forum yg telah ditentukan oleh Un&g-Un&g Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tiga forum negara yg termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), & Komisi Yudisial (KY). Namun, berdasarkan Pasal 24 ayat (2), hanya MA (& ba& peradilan di bawahnya) & MK yg merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, se&gkan KY tidak mempunyai kewenangan tersebut sehingga ba& ini sering disebut sebagai forum ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu salah satu unsur penting dalam sebuah negara yg berdasarkan aturan (rechtsstaat). Hanya pengadilan yg memenuhi kriteria sanggup berdiri diatas kaki sendiri (independen), netral (tidak berpihak), & kompeten yg sanggup menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh lantaran itu, posisi hakim sebagai pemain drama utama forum peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yg dimilikinya. Melalui putusannya, hakim sanggup mengubah, mengalihkan, / bahkan mencabut hak & kebebasan warga negara, & semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan aturan & keadilan. Besarnya kewenangan & tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yg selalu diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.[1]
Setiap profesi di banyak sekali bi&g mempunyai nilai-nilai yg dijunjung untuk dijadikan anutan dalam kehidupan profesi yg bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu isyarat etik yg didasarkan pada nilai-nilai yg berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yg bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib & sikap hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.[2] Seiring berjalannya waktu, perkembangan banyak sekali hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim & Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yg paling terkini yaitu ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yg disusun KY, sehingga tragedi ini menjadi belahan dari ketidaksepahaman antara MA & KY.
Berkaitan dengan fenomena yg tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA & KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pi&a Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya beropini bahwa suatu isyarat etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah isyarat etik harus disusun oleh profesi yg bersangkutan yg akan menjalankan isyarat etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila isyarat etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yg akan menjadikan isyarat etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah anutan untuk melaksanakan pekerjaan dibentuk sendiri oleh pihak yg akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, isyarat etik dibentuk untuk mengatur sikap & sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.[3]
Penegakan supremasi aturan sebagai belahan dari aktivitas reformasi telah menjadi komitmen pemerintah semenjak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga ketika ini. Namun demikian, impian pencari keadilan terhadap forum peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya sanggup memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa forum peradilan belum ibarat yg diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yg mahal, manajemen yg berbelit-belit, perbuatan & tingkah laris pejabat peradilan yg dianggap tercela, hingga dugaan a&ya durjana peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap forum peradilan.
Seiring berjalannya pemerintahan semenjak awal reformasi hingga ketika ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di ba& peradilan cenderung menguat & merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan & kepercayaan ba& peradilan terhadap masyarakat & dunia internasional. Keadaan ba& peradilan yg demikian mendesak pihak- pihak yg berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melaksanakan upaya- upaya luar biasa yg berorientasi kepada terciptanya ba& peradilan & hakim yg sanggup menjamin masyarakat memperoleh keadilan, & diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perun&g-un&gan.
Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di forum peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain yaitu tidak efektifnya pengawasan internal yg diterapkan di ba& peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai forum pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:[4]
1. kualitas & integritas pengawas yg tidak memadai;
2. proses investigasi disiplin yg tidak transparan;
3. belum a&ya fasilitas bagi masyarakat yg dirugikan untuk memberikan pengaduan, memantau proses serta alhasil (ketiadaan akses);
4. semangat membela sesama korps (esprit de corps) yg mengakibatkan penjatuhan eksekusi tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yg jelek niscaya akan mendapat reaksi dari pihak yg selama ini mendapatkan laba dari kondisi yg jelek itu; &
5. tidak terdapat kehendak yg berpengaruh dari pimpinan forum penegak aturan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
Hal-hal yg diuraikan di atas memperlihatkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal ba& peradilan intinya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu a&ya semangat membela sesama korps (esprit de corps) & tidak a&ya kehendak yg sungguh-sungguh dari pimpinan ba& peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yg terbukti melaksanakan pelanggaran aturan & isyarat etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan ba& peradilan yg bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh lantaran itu, kehadiran suatu forum khusus yg menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi duduk masalah dalam paper ini yaitu :
a. Bagaimanakah Profesi Hakim & Karakteristiknya..?
b. Bagaimanakah tangung jawab profesi Hakim...?
c. Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim...?
1.3 Tujuan Pembuatan Paper
Tujuan pembuatan paper yaitu untuk memenuhi salah satu kiprah mata perkuliahan Etika & Tanggung Jawab Profesi,& untuk menawarkan pengetahuan bagi pembaca khususnya untuk pembuat paper ini & umumnya untuk para mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Profesi Hakim & Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yg berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Un&g-Un&g Nomor 8 Tahun 1981 perihal Hukum Acara Pi&a / yg biasa disebut Kitab Un&g-Un&g Hukum Acara Pi&a (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim yaitu pejabat peradilan negara yg diberi wewenang oleh un&g-un&g untuk mengadili.[5]Se&gkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, & memutus masalah berdasarkan asas bebas, jujur, & tidak memihak di si&g pengadilan dalam hal & berdasarkan tata cara yg diatur dalam un&g-un&g.[6]
Hakim mempunyai kedudukan & peranan yg penting demi tegaknya negara hukum. Oleh lantaran itu, terdapat beberapa nilai yg dianut & wajib dihormati oleh penyan&g profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat / kualitas dari sesuatu yg berguna bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan lkamusan, alasan, / motivasi dalam bersikap & bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu yaitu sebagai berikut.[7]
1. Profesi hakim yaitu profesi yg merdeka guna menegakkan aturan & keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara aturan Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan & keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, & biaya ringan, biar keadilan tersebut sanggup dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang & wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk mengusut & mengadili suatu masalah yg diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada / kurang jelas. Apabila hakim melihat a&ya kekosongan aturan lantaran tidak ada / kurang jelasnya aturan yg mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai aturan yg hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kolaborasi & kewibawaan korps. Nilai kolaborasi ini tampak dari persi&gan yg berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melaksanakan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap & tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Se&gkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada forum peradilan yg lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Un&g- Un&g perihal Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan & dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perun&g-un&gan yg bersangkutan / sumber aturan tak tertulis yg dijadikan dasar untuk mengadili."[8]
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yg menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam investigasi suatu masalah apabila ia mempunyai hu.bungan darah dengan pihak-pihak yg terlibat dalam proses investigasi masalah tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.[9]
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi aturan sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh lantaran itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yg pada hakikatnya merupakan pelayanan pada insan & masyarakat. Setiap profesi mempunyai etika yg pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut. [10]
1. Profesi harus dipan&g sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam membuatkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga sanggup menjamin mutu & peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bi&g aturan yg secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk mempunyai suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup kiprah & kewajibannya. Salah satu unsur yg membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya yaitu a&ya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yg diterapkan bagi setiap orang yg akan mengemban profesi ini.
2.2 Persyaratan Calon Hakim
Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Un&g-Un&g Nomor 8 Tahun 2004 perihal Perubahan2 atas Un&g-Un&g Nomor 2 Tahun 1986 perihal Peradilan Umum, seseorang hanya sanggup diangkat menjadi hakim kalau telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.[11]
a. Warga Negara Indonesia.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila & Un&g-Un&g Dasar 1945.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya / bukan seorang yg terlibat pribadi /pun tak pribadi dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI / organisasi terlarang lainnya.
e. Pegawai Negeri.
f. Sarjana hukum.
g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.
h. Berwibawa, jujur, adil, & berkelakuan baik.
2.3 Pendidikan & Pelatihan Calon Hakim[12]
Proses pendidikan & training (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan & sangat dekat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain dipakai sebagai jadwal orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para penerima untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yg terarah belum terlihat pada tahap yg disebut Diklat Praktik I ini. Para penerima diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf manajemen pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan, yg merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
Setelah melalui proses pengangkatan & memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para penerima diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yg diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan & Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para penerima akan mendapatkan banyak sekali materi keahlian di bi&g hukum, & mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para penerima diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di banyak sekali pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yg disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yg sudah lebih mengarah pada pelaksanaan kiprah hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para penerima yg dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.
2.4 Pola Rekrutmen & Kualitas Hakim
Bagaimana prosedur perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan memilih kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yg semenjak awal memang mempunyai kapabilitas & wawasan aturan yg mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yg nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin si&g yaitu hakim-hakim yg berkualitas terbaik. Faktanya, banyak sekali putusan pengadilan yg kontroversial terus bermunculan sehingga banyak sekali pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan /pun cacat aturan pada putusan yg dikeluarkan oleh para hakim bisa, jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yg selama ini diterapkan di Indonesia.
Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada masalah Buloggate yg membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi aturan & amat mencederai perasaan aturan & keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yg memutus masalah tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, se&gkan sisanya yaitu hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan masalah korupsi &a non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan masalah ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan a&ya disparitas kualitas antara hakim karir & hakim non- karir.[13]
Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, spesialis perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yg lahir dari sistem Civil LaW) cenderung mempunyai mentalitas birokrat, kurang mempunyai kepercayaan diri & pemikiran yg mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu / takut untuk buat keputusan yg kontroversial & mempunyai dampak politik yg besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yg sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, / akademisi.[14]
Menurut Reza Indragiri Amriel, andal psikologi forensik lulusan The University of Melbourne, pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, harus menjadi fokus biar sumber daya insan (SDM) sanggup berkontribusi dalam meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan).[15] Dalam artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan kondisi yg ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim ibarat di bawah ini.[16]
1. Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (& para pemangku otoritas aturan pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim semenjak usainya Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini terutama bersumber dari tidak a&ya model kompetensi yg menjadi pola mengenai huruf ideal yg sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.
2. Dalam survei yg dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, ketika ditanyakan kepada para hakim, banyak hakim yg menyebutkan bahwa penambahan2 jumlah hakim & staf pendukung sebagai prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru menyimpulkan bahwa kualitas personel forum kehakiman tidak dipengaruhi oleh jumlah abdnegara peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya, Reza menguraikan dua hal yg sanggup menjadi alternatif solusi untuk membuatkan integritas hakim sebagai berikut.[17]
1. Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara terintegrasi, komprehensif, & berkesinam.bungan. Ini artinya, evaluasi ketat tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para kandidat terpilih harus diberikan evaluasi secara bersiklus pula. Prinsipnya, semakin sentral kiprah SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut.
2. Ke depan perlu dirumuskan pola kinerja (performance stkamurds / distinct job manual) & perangkat aturan organisasi lainnya sebagai anutan pengembangan karir para hakim.
2.5 Tanggung Jawab Profesi
Pada dasarnya, terdapat setidaknya tiga unsur pokok yg harus ada dalam pelaksanaan suatu fungsi dalam profesi & bi&g apapun. Unsur-unsur tersebut yaitu sebagai berikut.[18]
1. Tugas, yaitu kewajiban & kewenangan / kekuasaan yg harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut perihal cara melaksanakannya.
2. Aparat, yaitu pelaksana kiprah tersebut yg terdiri atas komponen pelaksana, pendukung, & penunjang.
3. Lembaga, yaitu wadah (struktur & organisasi) beserta sarana & prasarana kawasan para abdnegara melaksanakan tugasnya.
Bagi seorang aparat, mendapat suatu kiprah berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yg terkait tiga hal, yaitu:
1. mendapat kepercayaan untuk sanggup mengemban tugas;
2. merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas; &
3. merupakan suatu amanat yg harus dijaga & dijalankan.
Tanggung jawab sanggup dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab
moral, tanggung jawab hukum, & tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral yaitu tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai & norma-norma yg berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yg bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu forum yg merupakan wadah para abdnegara bersangkutan. Sementara tanggung jawab aturan diartikan sebagai tanggung jawab yg menjadi beban abdnegara untuk sanggup melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum. Se&gkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi abdnegara untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yg berlaku dalam bi&g profesi yg bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[19]
2.6 Tanggung Jawab Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan final profesi hakim yaitu ditegakkannya keadilan. Cita aturan keadilan yg terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus sanggup diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yg terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yg telah usang menjadi anutan profesi ini semenjak masa awal perkembangan aturan dalam peradaban insan yaitu The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini. [20]
1. To hear corteously (mendengar dengan sopan & beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan berakal & bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Peradaban Islam pun mempunyai literatur sejarah di bi&g peradilan, salah satu yg masih tercatat yaitu risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di Kufah, yg selain mengungkapkan perihal pentingnya peradilan, cara pemeriksaan, & pembuktian, juga menjelaskan perihal etika profesi. Dalam risalah dituliskan isyarat etik hakim antara lain di bawah ini.[21]
1. Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis, pan&gan, & putusan sehingga pihak yg merasa lebih mulia tidak mengharapkan kecurangan hakim, sementara pihak yg lemah tidak berputus asa dalam perjuangan memperoleh keadilan hakim.
2. Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara para pihak yg bersengketa kecuali perdamaian yg menghalalkan yg haram / mengharamkan yg halal.
Dalam bertingkah laku, sikap & sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:[22]
Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana / berwibawa;
Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur / tidak tercela; &
Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwuju& dari sikap & sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus mempunyai etika kepribadian, yakni:[23]
a. percaya & takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. menjunjung tinggi citra, wibawa, & martabat hakim;
c. berkelakuan baik & tidak tercela;
d. menjadi tela& bagi masyarakat;
e. menjauhkan diri dari perbuatan asusila & kelakuan yg dicela oleh masyarakat;
f. tidak melaksanakan perbuatan yg merendahkan martabat hakim;
g. bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h. berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i. bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan);
j. sanggup dipercaya; &
k. berpan&gan luas.
2.7 Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, & etika kepribadian yg harus dimiliki oleh hakim ibarat telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan di persi&gan pada ketika hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yg ia terapkan dalam menjalankan tugasnya yaitu tidak mengikutsertakan istri ke ruang si&g di pengadilan ketika se&g memimpin persi&gan.[24] Secara umum, yg harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yg menjadi pencari keadilan dalam persi&gan ialah:[25]
1. bersikap & bertindak berdasarkan garis-garis yg ditentukan dalam aturan jadwal yg berlaku;
2. tidak dibenarkan bersikap yg memperlihatkan memihak / bersimpati / antipati terhadap pihak-piha yg berperkara;
3. harus bersikap sopan, tegas, & bijaksana dalam memimpin si&g, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4. harus menjaga kewibawaan & kekhidmatan persi&gan; &
5. bersungguh-sungguh mencari kebenaran & keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:[26]
1. taat kepada pimpinan;
2. menjaankan tugas-tugas yg telah digariskan dengan jujur & ikhlas;
3. berusaha memberi saran-saran yg membangun;
4. mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; &
5. tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
Se&gkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:[27]
1. memelihara & memupuk hu.bungan kolaborasi yg baik antarsesama rekan;
2. mempunyai rasa setia kawan, tenggang rasa, & saling menghargai antarsesama rekan;
3. mempunyai kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; &
4. menjaga nama baik & martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:[28]
1. harus mempunyai sifat kepemimpinan;
2. membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
3. harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yg baik;
4. memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; &
5. memberi contoh kedisiplinan.
2.8 Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Di samping itu, di luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap & perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]
1. mempunyai kesehatan jasmani & rohani;
2. berkelakuan baik & tidak tercela;
3. tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4. menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila & kelakuan yg dicela oleh masyarakat; &
5. tidak melaksanakan perbuatan-perbuatan yg merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:[30]
1. menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik berdasarkan norma aturan maupun norma kesusilaan;
2. menjaga ketentraman & keutuhan keluarga & rumah tangga;
3. menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan & pan&gan masyarakat; &
4. tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan & mencolok.
Se&gkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:[31]
1. selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
2. dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; &
3. harus menjaga nama baik & martabat hakim.
2.9 Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa peraturan perun&g-un&gan yg mempunyai kaitan dengan hakim & peradilan mencantumkan & mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab aturan profesi hakim.
Un&g-Un&g Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yg harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, & memahami nilai-nilai aturan & rasa keadilan yg hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pi&a, hakim wajib memperhatikan pula sifat yg baik & jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); &
c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persi&gan apabila terikat hu.bungan keluarga sedarah / semenda hingga derajat ketiga, / hu.bungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, / Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain peraturan perun&g-un&gan yg menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yg mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Un&g-Un&g Nomor 5 Tahun 2004 perihal Mahkamah Agung. Un&g-un&g ini mengatur ketentuan-ketentuan yg harus ditaati & menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
- pelaksana putusan Mahkamah Agung;
- wali, pengampu, & pejabat yg berkaitan dengan suatu masalah yg akan / se&g diperiksa olehnya;
- penasehat hukum; &
- pengusaha.
b. Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung sanggup diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
- dijatuhi pi&a penjara berdasarkan putusan pengadilan lantaran melaksanakan tindak pi&a yg diancam dengan pi&a penjara 5 (lima) tahun / lebih;
- melaksanakan perbuatan tercela;
- terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan kiprah pekerjaannya;
- melanggar sumpah / janji jabatan; &
- melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persi&gan apabila terikat hu.bungan keluarga sedarah / semenda hingga derajat ketiga, / hu.bungan suami / isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota / Panitera pada majelis hakim.
d. Pasal 41 ayat (4) menyatakan kalau seorang hakim yg memutus masalah dalam tingkat pertama / tingkat banding, kemudian telah menjadi
Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dihentikan mengusut masalah yg sama.
e. Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu masalah yg ia sendiri berkepentingan, baik pribadi maupun tidak langsung. Di samping kedua un&g-un&g di atas, peraturan berbentuk un&g- un&g lainnya yg mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim ialah:
1. Un&g-Un&g Nomor 3 Tahun 2006 perihal Perubahan2 atas Un&g- Un&g Nomor 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama;
2. Un&g-Un&g Nomor 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian Perselisihan Hu.bungan Industrial;
3. Un&g-Un&g Nomor 8 Tahun 2004 perihal Perubahan2 atas Un&g- Un&g Nomor 2 Tahun 1986 perihal Peradilan Umum;
4. Un&g-Un&g Nomor 9 Tahun 2004 perihal Perubahan2 atas Un&g- Un&g Nomor 5 Tahun 1986 perihal Peradilan Tata Usaha Negara;
5. Un&g-Un&g Nomor 24 Tahun 2003 perihal Mahkamah Konstitusi;
6. Un&g-Un&g Nomor 14 Tahun 2002 perihal Pengadilan Pajak; &
7. Un&g-Un&g Nomor 31 Tahun 1997 perihal Peradilan Militer.
2.10 Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yg terakhir yaitu tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, evaluasi terhadap sesuai / tidaknya tindakan yg dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yg berlaku menjadi hal yg paling diutamakan. Selain itu, evaluasi terhadap kinerja & profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut bisa mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bi&g hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi & formil. Oleh lantaran itu, yaitu suatu hal yg mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai aturan jadwal di persi&gan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis / dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yg harus dijatuhi sanksi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
. Setiap hakim dituntut bisa mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bi&g hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi & formil. Oleh lantaran itu, yaitu suatu hal yg mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai aturan jadwal di persi&gan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis / dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yg harus dijatuhi sanksi.
DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Iskkamur. "Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim & Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
Kansil, C.S.T. & Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional & Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) & Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 1999.
Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman & Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman & Hak Asasi Manusia RI, 2002.
Mahkamah Agung RI. Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005. Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum. Cet. ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Suyuthi, Wil&. "Etika Profesi, Kode Etik, & Hakim dalam Pan&gan Agama" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim & Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
Tasrif, S. "Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Editor Paul S. Baut & Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Un&g-Un&g Nomor 14 Tahun 1985 perihal Mahkamah Agung. Un&g-Un&g Nomor 2 Tahun 2004 perihal Penyelesaian PerselisihanHu.bungan Industrial. Un&g-Un&g Nomor 24 Tahun 2003 perihal Mahkamah Konstitusi. Un&g-Un&g Nomor 3 Tahun 2006 perihal Perubahan2 atas Un&g-Un&g Nomor 7 Tahun 1989 perihal Peradilan Agama. Un&g-Un&g Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.
Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Profesi perihal Profesi Hukum. Semarang: CV Ananta, 1994.
Zakiah, Waingatu. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2002.